Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAHASA daerah kadang-kadang mengejutkan karena kekayaan perbendaharaan katanya. Salah satunya suwangan. Saya mendengarnya pertama kali ketika menapak tilas jejak sejarah kekerasan di wilayah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada akhir September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu belasan simbah korban pelanggaran hak asasi manusia berat setelah peristiwa 1965 menengok kembali tempat dulu mereka ditahan dan menjalani kerja paksa di sana. Sepanjang perjalanan, mereka selalu menyebut kata suwangan, terutama ketika membahas Kali Opak, sungai yang membentang dari Gunung Merapi, melintasi Kabupaten Sleman dan Bantul, dan berakhir di Pantai Samas di tepi Samudra Hindia. Saya tak memahami istilah itu dan tidak menemukan lemanya baik di Kamus Bahasa Jawa maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu titik terang muncul dari keterangan di situs web Pemerintah Kabupaten Bantul, yang menyamakan suwangan dengan muara. “Sudah sepekan lebih suwangan (muara Kali Opak) yang ada di selatan Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS)—tepatnya di perbatasan Desa Srigading, Sanden, dengan Desa Tirtohargo, Kretek, Bantul—belum nembus ke laut. Apabila tidak segera dilakukan pembedahan Kali Opak dan dibuat lubang saluran, air sungai akan semakin tinggi,” demikian bunyi salah satu berita mereka pada 3 Agustus 2018.
Lantas, muara macam apa suwangan itu sebenarnya? Kok, muara tidak menembus ke laut? KBBI Daring hanya memberi penjelasan singkat bahwa muara merupakan tempat berakhirnya aliran sungai di laut, danau, atau sungai lain.
Penjelasan lebih rinci diuraikan Emily Caffrey di blog Ocean Blue, yang menyebut muara (estuary) sebagai pertemuan sungai dengan laut. Dia membaginya dalam empat jenis, yakni muara dataran pantai, yang terbentuk akibat air laut yang naik dan mengisi lembah sungai; muara tektonik, yang terbentuk akibat gempa bumi; muara fyord, yang terbentuk oleh gletser yang mencair; dan muara akibat palang (bar-built estuary), yang terbentuk ketika laguna atau teluk dilindungi oleh pulau penghalang, misalnya gundukan pasir.
Bila Pemerintah Kabupaten Bantul menyebut suwangan Kali Opak belum menembus ke laut, berarti “muara” yang mereka maksud adalah bar-built estuary. Ada penghalang yang membuat Kali Opak tidak tersambung ke Samudra Hindia. Cerita Mbah Par, salah satu korban kerja paksa di Bantul, memperjelasnya.
Menurut Mbah Par, pada musim hujan di awal 1966, daerah itu diguyur hujan berhari-hari yang membuat bendungan jebol. Air sungai pun meluap dan merendam rumah-rumah penduduk dan persawahan. “Setidaknya tiga pintu saluran pengatur air hanyut. Suwangan pun tak kuasa menahan amukan alam. Tapi, bagi kami, ini suatu mukjizat,” katanya.
Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bantul kemudian mengerahkan para tahanan politik 1965 di kamp Bantul untuk memperbaiki tanggul-tanggul yang rusak. Mbah Pur dan rekan-rekannya menganyam blarak (daun kelapa) yang diisi bebatuan untuk membuat tanggul baru. Daun kelapa dipilih karena wulet (liat) sehingga bisa tahan lama. Mereka juga menanami tanggul-tanggul ini dengan pandan supaya kuat.
Mereka menjalani kerja paksa ini selama delapan bulan lamanya. Inilah “mukjizat” itu: karena dipekerjakan dalam proyek ini, mereka tidak ikut dibuang ke Pulau Buru, Maluku, atau bahkan dibunuh seperti yang dialami korban-korban lain. Suwangan Kali Opak karya mereka itu masih ada sampai sekarang.
Saat ini leksikon geologi masih bertabur dengan kata asing atau kata serapan dari bahasa asing, meskipun ada usaha beberapa penulis untuk mengindonesiakan sejumlah istilah. Kosakata di bidang keilmuan lain bernasib tak jauh berbeda. Penggalian perbendaharaan bahasa daerah seperti suwangan mungkin dapat mengisinya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Suwangan"