Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arya Fernandes
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah kisruh Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Pemberantasan Korupsi, belum terdengar pernyataan yang jelas dari Presiden Joko Widodo. Sikap Jokowi yang terkesan diam tersebut membuat kita bertanya: bagaimana sebenarnya posisi presiden terhadap revisi Undang-Undang KPK? Apa yang akan diwariskan Jokowi terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia? Mampukah Jokowi menolak keinginan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melemahkan KPK?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu perlu kita tanyakan untuk melihat bagaimana komitmen politik Jokowi dalam mendukung penguatan agenda pemberantasan korupsi. Komitmen politik Jokowi menjadi penting karena turut mempengaruhi kredibilitas yang selama ini ia bangun. Kredibilitas politik membuat Jokowi terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta dan presiden dalam dua periode.
Dulu, saat masuk kancah politik nasional, Jokowi menawarkan kebaruan dan inovasi. Ia bukan bagian dari elite lama dan bukan bagian dari jejaring bisnis politik yang sudah menggurita. Saat maju di Jakarta pada 2012, ia membawa harapan baru mengenai tata kelola pemerintahan yang bersih dan antikorupsi. Selama memimpin, sejak dari Solo, ia tidak melakukan deal-deal politik kotor, apalagi berurusan dengan lembaga penegak hukum. Ia dianggap satrio piningit yang akan memperbaiki keadaan politik yang sudah kotor.
Harapan publik dan masyarakat sipil begitu besar saat ia menantang calon Gubernur DKI inkumben, Fauzi Bowo, ketika itu. Dengan citra sebagai pemimpin bersih, Jokowi berhasil menggalang kekuatan massa akar rumput dan juga aktivis dari lembaga nonpemerintah serta masyarakat sipil. Begitu juga dukungan media dan kelompok bisnis serta profesional. Walhasil, Jokowi menang setelah melakoni dua putaran pemilihan kepala daerah yang ketat. Setelah menang di Jakarta, Jokowi diproyeksikan cocok untuk memimpin Indonesia dan ia berhasil menang sebagai presiden untuk dua periode.
Dengan beragam prestasi itu, lantas apa sumbangan Jokowi untuk penguatan KPK?Dari sisi alokasi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sejak 2015 sampai 2019, anggaran untuk KPK tidak pernah menyentuh angka di atas Rp 1 triliun. Alokasi APBN bagi KPK mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Pada 2015, KPK mendapat anggaran sebesar Rp 898,9 miliar, lalu naik pada 2016 sebesar 991,8 miliar, dan turun lagi pada 2017 sebesar
Rp 849,5 miliar. Pada 2018, KPK mendapat anggaran sebesar Rp 854,2 miliar dan turun lagi pada 2019 menjadi Rp 813,4 miliar.
Bila melihat tren peningkatan realisasi penyerapan anggaran, tak ada alasan untuk menurunkan alokasi anggaran bagi KPK. Bahkan Presiden sebaiknya perlu meningkatkan alokasi anggaran di atas Rp 1 triliun per tahun bagi KPK. Peningkatan anggaran itu dapat mendukung penguatan KPK dalam upaya pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi.
Saat ini, dalam merespons RUU KPK, Presiden masih belum jelas posisinya. Istana seperti bermain aman dan memilih mencari posisi yang abu-abu di tengah penolakan publik yang tinggi dan putusan rapat paripurna DPR.
Bagi publik, penting untuk mengetahui bagaimana komitmen politik Jokowi untuk merealisasi janji kampanye sejak pemilihan presiden 2014 dan 2019. Dalam visi-misi Jokowi, baik pada periode pertama maupun kedua, program pemberantasan korupsi disampaikan dalam Nawacita I dan II. Dua dari sembilan poin dalam misi itu memuat pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan tepercaya, serta penegakan sistem hukum yang bebas korupsi.
Misi tersebut diturunkan dalam beberapa program, seperti mencegah praktik korupsi di daerah melalui transparansi pengelolaan anggaran; membangun zona integritas, wilayah bebas korupsi, dan whistle blower system (WBS); melanjutkan langkah pemberantasan mafia peradilan dan korupsi di lingkungan peradilan; serta memperkuat KPK. Data Lembaga Survei Indonesia (2019) menunjukkan adanya hubungan antara kepuasan publik terhadap pemberantasan korupsi dan pilihan terhadap Jokowi. Artinya, pilihan Jokowi untuk menyelamatkan KPK akan mendapatkan apresiasi positif dari publik. Sebaliknya, bila ikut memperlemah KPK, ia akan mendapatkan kecaman dari publik.
Kini, seusai pemilihan umum, saatnya kita menanti langkah Jokowi untuk memperkuat KPK. Tapi Presiden masih membisu. Belum terdengar pernyataan tegas Jokowi mengenai posisi pemerintah terhadap RUU KPK. Kita berharap Jokowi mampu membendung keinginan DPR untuk melemahkan KPK. Tingginya penolakan publik terhadap rencana pelemahan KPK seharusnya bisa menjadi bekal Presiden untuk menolak keinginan DPR. Survei CSIS sejak 2015 sampai 2018 menunjukkan tingginya kepercayaan publik terhadap KPK, yaitu di atas 90 persen.
Keputusan Jokowi untuk menolak sejumlah pasal yang akan melemahkan kinerja KPK akan menentukan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Apalagi saat ini tantangan pemberantasan korupsi masih berat. Data Corruption Perception Index dari Transparency International menunjukkan tidak terjadi peningkatan yang tinggi. Dari 2015 sampai 2018, Indonesia belum mampu menyentuh skor di atas 40 (dari 100). Maka, kini kita menunggu warisan Jokowi untuk penguatan KPK.