Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAGU keroncong, bila langgam Jawa, serta-merta akan disebut sebagai buah budaya abangan. Malah lirik berbagai lagunya bisa diasosiasikan dengan sub-budaya Jawa, walau "buaya-buaya keroncong" tak sedikit yang orang Makassar, Manado, atau bahkan Maluku yang Kristen. Sebaliknya, lagu-lagu dangdut, biarpun iramanya sebenarnya India, orang akan bilang itu kebudayaan Islam. Pasalnya, ia kedengaran Arab. Kebanyakan penyanyinya memang orang Islam yang fasih melafalkan Allah. Dan tentu musik dangdut banyak disukai oleh kaum muslimin umumnya. Jarang orang Kristen atau Islam-abangan yang menyukainya walaupun akhir-akhir ini beberapa penyanyi Kristen sudah mulai ikut menyanyikannya. Tapi tetap sulit pula menyebut irama keroncong sebagai kebudayaan Islam. Padahal, lirik-liriknya sungguh bersih dari kata-kata jorok. Kebanyakan lagu keroncong mendendangkan keindahan alam, ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Kritik sosialnya sangat tajam walau selalu diungkapkan dalam sindiran halus atau humor tinggi. Tentu pula banyak lagu cinta. Tapi, karena sifat ke-Jawa-annya, ia tetap sopan. Lagu-lagu keroncong hampir identik dengan lirik-lirik budi pekerti. Apalagi lagu Jawa klenengan atau laras-madyo. Tak banyak yang tahu bahwa syairnya berisikan renungan-renungan tasawuf. Tapi hasil budaya itu tak pernah disebut Islami. Beda halnya dengan irama dangdut, walaupun menyanyikan "Salome, satu lubang rame-rame" yang bikin bulu kuduk merinding, ia tetap disangka bagian dari keluarga budaya Islam. Pabila kita mendengar irama Fairuz yang mendayu itu, kebanyakan kaum muslim Indonesia akan menerimanya sebagai budaya Islam. Buktinya, beberapa lagunya dibuat sebagai pengantar acara pengajian atau nasihat-nasihat agama di siaran radio amatir. Padahal, Fairuz adalah penyanyi Kristen Libanon. Beberapa lagunya membawakan lirik Jibran Khalil Gibran yang religius. Penyair dan budayawan muslim tahun 1950-an, Bahrum Rangkuti, pernah menyalin sebuah karya puisinya yang diberinya judul an-Nabi. Tentu mengherankan mengapa seorang seniman muslim menyiarkan karya seorang Kristen Maronit walaupun, kalau dibaca sulit ditebak bahwa itu adalah karya Kristiani. Pasalnya, Gibran adalah seorang Arab. Memang sulit membedakan Arab dan Islam. Maklum, Islam lahir di tanah Arab dan Quran ditulis dalam huruf dan bahasa Arab. Arab telah mewarnai Islam. Dan Islam pun juga mewarnai Arab. Dengan mudah orang akan menyebut sebagai Islam semata-mata karena warna Arabnya. Kristen pun di tanah Arab diwarnai oleh budaya Arab. Kitab Injil yang diterjemahkan dalam bahasa Arab, jika dibaca dan didengarkan oleh orang Indonesia, kemungkinan besar akan kedengaran seperti ayat Quran atau hadis. Maka, geger Irak-Kuwait menggema dalam perasaan bangsa Indonesia. Ketika Irak dan Iran berperang, kebanyakan orang Indonesia memihak Irak. Bukan hanya karena Iran itu menganut Syiah, tetapi karena Irak itu tetap diasosiasikan dengan Islam. Padahal, siapa tahu, Iran lebih Islam dari Irak, yang resminya menganut ideologi sosialis Baath, yang partainya dibentuk oleh orang-orang Kristen nasionalis Arab. Dan orang Arab di Irak atau Syria menerima Baathisme karena aspirasi nasionalisme Arabnya. Sementara itu, di Indonesia, Baathisme Saddam Hussein oleh kaum awam akan disangka sebagai bagian dari pemikiran Islam (walaupun tentu ada unsur-unsurnya yang sesuai dengan Islam atau memang diambil dari Islam). Yang jelas, retorika dan jargon Baathisme yang diucapkan (tentunya) dalam bahasa Arab bisa kedengaran seperti bersumber atau diambil dari Quran dan hadis. Kerumitan timbul apabila kaum muslimin melihat Arab berperang dengan Arab. Karena sama-sama Arab, sulit melihat mana yang lebih Islam. Sekarang, banyak yang berpihak kepada Kuwail karena Irak melakukan agresi. Ini masih bisa dipahami. Apalagi ketika Irak mengirimkan tentaranya ke perbatasan Arab Saudi. Kebetulan Tanah Suci Haramain terletak di kerajaan semenanjung tersebut. Ini mempermudah pemihakan. Sentimen itu ternyata dipakai oleh negara-negara Arab yang memusuhi Irak, dengan menyerukan solidaritas guna "menyelamatkan tanah suci umat Islam". Padahal, sulit untuk memahami bahwa Irak akan membuat langkah-langkah apa pun yang bisa membahayakan keselamatan pusat spiritual kebanyakan orang Arab itu. Negara-negara yang menentang langkah Irak, terutama Arab Saudi, terpaksa mempergunakan sentimen keagamaan ketika nasionalisme tidak bisa lagi dipakai seperti waktu melawan Iran. Tapi Irak bisa membangkitkan sentimen nasionalisme maupun keagamaan dengan kehadiran pasukan adidaya asing non-muslim. Masalahnya, apakah kedua sentimen itu bisa dipakai untuk menghimpun solidaritas. Soalnya bukan karena kedua faktor itu sudah melemah pengaruhnya. Tapi karena orang melihat bahwa yang melatarbelakangi sengketa Teluk Persia itu sebenarnya adalah perebutan kepentingan ekonomi. Kehadiran AS dan sekutunya juga dilihat dari sudut ini. Cara memahami perilaku politik luar negeri AS dan sekutunya yang paling tepat adalah dengan melihat peta global dan gerak kapital mereka. Tapi, sebagaimana orang bisa salah menilai dengan menyangka lagu dangdut yang jorok tapi komersial itu Islami hanya karena berirama Arab, orang pun bisa melihat perang di tanah Arab sebagai perang suci. Irama lagu yang dimainkan oleh negara-negara yang terlibat dalam konflik mungkin kedengaran seperti bersifat keagamaan, tapi liriknya, kalau didengarkan, sebenarnya mempersengketakan kepentingan ekonomi. Karena kepentingan ekonomi, agama bisa diperalat dan perang bisa berkobar. Dalam kedudukan Arab Saudi, nasionalisme tidak akan menolongnya. Iraklah yang bisa pegang bendera nasionalisme tapi agak sulit memakai alasan agama karena Baathisme pun diungkit-ungkit kembali sebagai Kristen dan sosialis. Kuwait, negara-negara Emirat Arab dan Arab Saudi, disebut Irak tidak solider terhadap bangsa Arab secara keseluruhan, karena memonopoli anugerah minyak dan ingin kaya sendiri, dengan menanamkan milyaran dolar di negara-negara yang telah makmur, padahal sangat dibutuhkan oleh dunia Arab sendiri. Apalagi bangsawan negeri-negeri itu terkenal dengan foya-foyanya di kota-kota maksiat di Eropa Barat atau AS dan kalangan yang lebih rendah di Muangthai. Seperti sebuah lirik dangdut, joroknya bukan main, tapi kedengarannya Arab dan Islam. Dan kemungkinan perang kuman yang strateginya diatur di lapangan golf Woodlands Country Club, Maine, diungkapkan sebagai perang suci dalam rangka membela Tanah Haramain. Sedangkan lirik Zaman Edan Ronggowarsito tak mampu membuat kaum muslimin Indonesia eling melihat keedanan sedang mengan-cam kemanusiaan dan agama. Syukur masih ada orang bijak yang menolak pengiriman tentara, sekalipun atas imbauan perang jihad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo