Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANPA menunggu detik-detik deadline, hampir seluruh awak Kedutaan RI di Kuwait telah mengungsi ke Amman, lewat Baghdad. Mereka telah tiba di ibu kota Yordania itu, Sabtu 26 Agustus lalu, dan berjejal-jejal di KBRI setempat. Nyaris tak berpetugas, "Namun secara resmi, yuridis, Kedutaan Besar RI dinyatakan masih dibuka," ujar Menteri Luar Negeri Ali Alatas. Yang masih tersisa di Kedubes RI di Kuwait kini tinggal dua orang staf lokal, dan seorang home staff. Ketiga orang inilah yang terus dipasang untuk mengurusi sejumlah WNI yang masih tersekap di Kuwait. "Mereka tak cuma bertugas memonitor, tapi juga mengumpulkan orang Indonesia yang masih di sana untuk diungsikan," Menteri Alatas menambahkan. Penarikan awak kedutaan itu dilakukan sebagai akibat ancaman Saddam Hussein, yang memaksa semua kantor kedutaan asing di Kuwait hijrah ke Baghdad. Batas waktu (deadline) yang ditetapkan adalah Jumat tengah malam, 24 Agustus lalu. Namun, tersiar pula kabar bahwa batas waktu penutupan kantor-kantor kedutaan itu diundur sampai Sabtu pagi. Terhadap para diplomat yang berani melanggar ultimatum itu, Saddam mengancam akan mencabut hak-hak diplomatiknya, dan akan memperlakukan mereka seperti warga asing biasa. Pemerintah RI tak mau ambil risiko. Maka, 19 Agustus lalu, pejabat dan staf kedutaan langsung berangkat ke Baghdad, menginap beberapa hari, dan kemudian hijrah ke Amman. Saddam menyuruh tutup semua kedutaan asing di Kuwait dan menyuruh para diplomatnya pindah ke Baghdad. Kalau perintah tadi dituruti, secara implisit, itu seperti memberi pengesahan atas pendudukan Irak atas Kuwait. Tapi Menteri Ali Alatas secara tegas menampik keinginan Saddam Hussein. "Indonesia menghormati resolusi Dewan Keamanan PPB, dan menolak penyatuan Irak-Kuwait," ujarnya kepada Diah Purnomowati dari TEMPO. Tapi kalau situasi benar-benar makin gawat, "Kami minta mereka bersiap-siap untuk berangkat ke Amman," ia menambahkan. Pada kenyataannya, ancaman Saddam Hussein itu tak digubris oleh sejumlah kedutaan asing. Para diplomat Jepang, Amerika, Inggris, Italia, Prancis, Jerman Barat, Hungaria, misalnya, tetap bertahan di Kuwait, yang dibalas oleh serdadu Irak dengan memutuskan saluran air, telepon, dan listrik. Salah satu kedutaan asing di Kuwait yang terpaksa dikosongkan adalah Kedubes Uni Soviet. Namun, pemerintah Uni Soviet mengatakan bahwa secara teknis kedutaannya masih beroperasi di Kuwait. Bila kebijaksanaan itu diambil, konsekuensinya Indonesia akan mengakui pemerintahan Kuwait yang ada di pengasingan, di Arab Saudi. Namun, langkah seperti itu pernah diambil oleh Indonesia. Contohnya, pengakuan RI terhadap pemerintahan koalisi Kamboja. Arus pengungsian diplomat dan warga negara RI itu terjadi pula dari Baghdad. Dari 92 orang yang tiba di Amman pada Sabtu lalu itu, misalnya, 64 orang asal Baghdad dan sisanya dari Kuwait. Boleh jadi, Baghdad dan Kuwait sama-sama dianggap tak aman. Selain pegawai di KBRI (dan keluarganya), di antara para pengungsi itu terdapat TKI/TKW dan pelajar/mahasiswa. Sementara itu, menurut kabar yang dipantau dari Riyadh, Arab Saudi, disebutkan bahwa orang Indonesia yang berada di Kuwait masih lebih dari 200 orang. "Mereka berkumpul di KBRI, pada menangis, dan minta untuk dipulangkan," ujar Irawan Abidin, Wakil Dubes RI untuk Riyadh. Sebagian besar dari mereka adalah TKI dan TKW yang ditinggalkan majikannya. "Persedian makanan di KBRI amat terbatas," ujar Irawan lewat saluran telepon internasional kepada TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo