PEMILIHAN umum memang masih dua tahun lagi. Namun, perangkat pelaksanaannya sudah disahkan 7 Agustus lalu, setelah ditandatangani Presiden. Peraturan Pemerintah (PP) 37/1990 yang dimaksud merupakan pegangan tata cara untuk melaksanakan pesta demokrasi atau pemilu, menggantikan PP 35/1985. Secara keseluruhan, tak terlihat ada perubahan mendasar antara kedua PP itu. Ada yang dihilangkan dari PP yang mengatur Pemilu 1987, yakni mengenai pemilu di Timor Timur, yang menetapkan jumlah anggota DPR untuk provinsi itu paling banyak empat orang. Dengan demikian, PP untuk Pemilu 1992 ini hanya 180 pasal atau empat pasal lebih sedikit dibanding PP sebelumnya. Memang, dalam PP Pemilu yang baru ini tercatat ada 34 butir perubahan. "Perubahan tersebut merupakan upaya untuk menyempurnakan kualitas pemilu sebaik-baiknya," kata Rudini dalam sambutan tertulis ketika pelantikan pejabat Sekretariat Umum Badan Perbekalan dan Perhubungan Lembaga Pemilihan Umum, Rabu pekan lalu. Dalam jumpa wartawan awal Agustus, Rudini juga menyebutkan dalam pemilu nanti diusahakan ada peningkatan keikut-sertaan organisasi politik yang ada. Salah satunya, meningkatkan partisipasi organisasi peserta pemilu untuk mengawasi pelaksanaannya. Misalnya soal saksi. Dulu, saksi harus berasal dari desa tempat pemungutan suara (TPS). PP 37/1990 menyebutkan, bila tak ada saksi di sana, bisa ditunjuk dari desa lain yang berbeda kecamatan. Asal, kecamatannya bersebelahan dengan kecamatan tempat saksi bertugas. Ini diatur dalam pasal 99 ayat 2a. Dengan ketentuan baru ini, ujar Rudini, tak akan terjadi TPS tanpa saksi yang mewakili ketiga kontestan. Hal lokasi TPS juga diatur dalam pemilu nanti. Intinya, agar pemilu diselenggarakan dengan bebas dan rahasia. Untuk itu, lokasi TPS tak akan ditempatkan di ruang gedung atau halaman pemerintah dan sekolah. Tata cara pelaksanaan kampanye yang dilangsungkan 25 hari dan berakhir 5 hari menjelang pemungutan suara itu diatur lebih praktis dalam Pemilu 1992 nanti. Misalnya, ketiga konstestan bisa mengadakan kesepakatan bersama mengenai jadwal waktu dan tempat kampanye. Namun, penguasa juga bisa menentukan tempat dan waktu kampanye bila dirasa keamanan bisa terganggu. Mengenai cara mengadakan kampanye, PP yang baru keluar itu tak mengatur larangan pengerahan massa atau pamer kekuatan. Anggota Badan Penyelenggara/Pelaksana (BPP) Pemilu yang ingin ikut kampanye harus mendapat izin Ketua BPP Pemilu. Di samping itu, selama kampanye, mereka juga dilarang menggunakan jabatan dan fasilitas dalam kampanye. Ternyata tak semua gembira dengan lahirnya PP 37 yang mengatur tata cara pemilu nanti. Namun tak semua setuju. Ketua FPDI Fatimah Achmad, misalnya. Ia mengusulkan agar para pemilih bisa menusuk di tempat tinggal masing-masing, bukan di sekitar sekolah atau tempat kerja. Senada dengan ucapan itu, salah seorang ketua DPP PPP, Mardinsyah, berpendapat bahwa TPS khusus untuk pegawai negeri seharusnya dihapus. Hal ini, katanya, bisa menimbulkan kecurigaan pada penyelenggaraan pemilu. Izin untuk mengikuti pemilu bagi anggota Badan Penyelenggara/Pelaksana Pemilu diatur dengan ketat (pasal 90a). Mereka dapat melaksanakan kampanye dengan terlebih dulu mendapat izin dari Ketua Badan Penyelenggara/Pelaksana Pemilu yang bersangkutan. Selama berkampanye, mereka tidak dibenarkan memakai jabatan, kekuasaan, kedudukan, dan fasilitas lainnya. Yang lega dengan PP 37 ini adalah Golkar. "Ini sesuai dengan keinginan Golkar untuk menang tidak dengan cara buto" kata Wakil Sekjen DPP Golkar, Usman Hassan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini