Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEMA pekik "Allahu Akbar" terdengar bertalu-talu dari mulut ribuan orang yang menyesaki Masjid Al Barkah, Jakarta Selatan, Minggu siang lalu. Dari atas mimbar masjid, Husein Umar, 50-an tahun, sang mubalig, terus menggelegar dengan suara keras melengking, penuh retorika. Hadis dan ayat-ayat suci Quran. Sesekali Husein memperlembut nada suaranya, ketika bercerita betapa terpojoknya kini umat Islam, betapa anak-anak Palestina hidup di tenda-tenda tanpa negara. Suasana jadi hening mencekam. Sejumlah orang menangis. Beberapa wanita tampak sampai sesenggukan. Setelah membongkar kejahatan Saddam Hussein menjarah Kuwait, Husein Umar, bekas tokoh utama PII (Pelajar Islam Indonesia) itu, kemudian berteriak keras, "Irak mencaplok Kuwait. Senjata-senjata ultra digelar di Timur Tengah dan siap meledak. Suasana makin kompleks. Sekarang saya mengimbau Anda menjadi sukarelawan.... Jangan berpikir mampu atau tidak, karena Allah selalu akan membantu umatnya. Jadi, soalnya ada pada hati dan nurani Anda semua...." Langsung hadirin memekik, memuja Tuhan dan Nabi, sembari mengacung- -acungkan tangan terkepal, "Allahu Akbar ... Allahu Akbar ... Allhumma Shalli Ala Muhammad.... Sekitar 3.000 hadirin -- separuhnya adalah anak-anak muda, mahasiswa, dan pelajar -- yang memenuhi masjid bertingkat dua di kompleks Pesantren Assyafiiyah, Kelurahan Bali Matraman, Jakarta, itu memang tampak amat bersemangat. Di tengah riuh-rendahnya suara yel-yel itu, Husein Umar turun dari podium, lalu K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafii, pemilik pesantren itu, naik mimbar menggantikannya. Mula-mula ia membaca doa dan semua hadirin berdiri. Seusai itu, ia berkata, "Saya menyediakan dua buku untuk pendaftaran sukarelawan ke Haramain. Silakan mendaftar." Para hadirin pun antre berdesakan mendaftarkan diri pada beberapa petugas yang siap dengan dua buku besar ukuran folio. Buku itu sudah diberi kolom-kolom untuk nama, usia, dan alamat para calon sukarelawan. Sampai Senin pekan ini, sudah terdaftar 487 sukarelawan, enam di antaranya wanita, yang bersedia dikirim ke Arab Saudi untuk mempertahankan Harmain Asysyarifain, tanah suci Mekah dan Madinah. "Saya pokoknya siap perang karena Lillahitaala (demi Allah). Itu saja. Anda kan tahu, saat ini Kaabah benar-benar terancam oleh ulah Saddam Hussein," ujar Kadarisman, siswa sebuah balai latihan milik pemerintah, salah seorang sukarelawan itu. Temannya, Dedy A.S., mahasiswa Universitas Indonesia, juga sudah nekat. "Saya mendaftar atas kemauan sendiri, belum ngomong pada orangtua. Tapi kalau orangtua tak mengizinkan, saya nekat untuk tetap pergi. Ini bukan soal takut atau tidak, tapi kemauan untuk berjuang," katanya Senin pekan ini kepada wartawan TEMPO Iwan Qodar Himawan. Irak menyerbu Kuwait, 2 Agustus yang lalu, dan Amerika Serikat dengan cepat mengirimkan pasukan dilengkapi peralatan perang modern dan sejumlah kapal induk ke Teluk Persia. Suasana kawasan kaya minyak itu kini bagaikan bisul yang siap pecah. Dan suasana itu bersipongang sampai kemari. Lihatlah tablig akbar di Pesantren Assyafiiyah tadi, yang sengaja diadakan dengan tema khusus: Berdoa untuk keselamatan tanah suci Haramain Asysyarifain. Kegiatan di Assyafiiyah ini tampaknya sebagai lanjutan pertemuan 70-an ulama di tempat yang sama, 18 Agustus lalu. Hadir sejumlah ulama dan pemuka Islam seperti Mohammad Natsir, M. Junan Nasution, dan Anwar Haryono. Forum ini memutuskan sebuah resolusi yang antara lain mendesak Irak supaya keluar dari Kuwait, dan agar pihak-pihak yang bersengketa itu menyelesaikan perselisihan mereka dengan berlandaskan Quran dan hadis. Mereka mendesak Pemerintah untuk mengirimkan tentara ke Arab Saudi untuk menjaga kehormatan Haramain, dan terakhir mengimbau umat Islam Indonesia supaya bersedia menjadi sukarelawan ke Arab Saudi. Forum ulama itu menyerahkan tindak lanjut pernyataan mereka kepada KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam), organisasi yang dibentuk dua tahun lalu untuk menggalang solidaritas muslimin Indonesia terhadap perjuangan Palestina. KISDI diketuai oleh K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafii, pimpinan Pesantren Assyafiiyah. Sejalan dengan keputusan forum tadi, Senin pekan lalu, Pusat Pimpinan Persis (Persatuan Islam) -- dulu dikenal sebagai partai Islam dengan Mohammad Natsir sebagai tokoh pentingnya -- mengeluarkan pernyataan mengecam Irak. Ormas ini menyatakan siap mengkoordinasikan kaum muslimin Indonesia untuk menjadi sukarelawan pembela Haramain. Untuk itu, Persis siap menerima pendaftaran calon sukarelawan di kantor pusatnya, di Jalan Pajagalan, Bandung. "Tujuannya untuk menjaga Haramain, bukan Arab Saudi. Hanya kebetulan saja Mekah dan Madinah itu berada di Arab Saudi," kata K.H. A. Latief Muchtar, Ketua Umum Persis. Latief tak percaya bahwa Irak -- juga berpenduduk mayoritas Islam -- akan menjaga Haramain, sebab Saddam Hussein dengan partai sosialis Baath itu tak berjuang untuk Islam. "Saddam itu kan sering mengagung-agungkan Nebuchadnezar," katanya. Nebuchadnezar adalah penguasa Babylonia yang per-nah menjarah bangsa Yahudi, ratusan tahun sebelum Masehi. Sekalipun para emir yang menguasai ladang-ladang minyak di Kuwait atau Arab Saudi sering dituduh bermewah-mewah dengan uang minyak, dan memerintah turun-temurun tanpa demokrasi, Latief melihat mereka lebih baik dibanding Saddam. Irak, menurut Latief, adalah agresor, dan harus diperangi sesuai dengan perintah Quran. Ia menunjuk Surat Al-Hujarat ayat 9, yang memerintahkan umat beriman agar memerangi kaum agresor yang zalim, sampai mereka kembali ke jalan Allah. Sampai Sabtu pekan lalu, berarti telah lima hari Persis membuka pendaftaran itu, suasana di sana terlihat biasa-biasa saja. Tak ada orang antrean atau rebut-rebutan mendaftarkan diri. "Yang mendaftar sih sudah ratusan orang, tapi sampai hari ini baru 15 orang yang memenuhi syarat," kata Deddy Rachman, pengurus pemuda Persis yang tampak aktif di kantor itu. Pekik "Allahu Akbar" bukan cuma meletus di Assyafiiyah, pesantren terbesar di Jakarta itu. Pekik yang sama riuh-rendah di halaman Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu. Pagi itu, sekitar 1.500 demonstran yang menyebut dirinya sebagai Komite Pembela Tanah Suci Islam memenuhi halaman masjid itu. Beberapa peserta melambaikan bendera hijau dengan tulisan "La Ilaha Ilallah. Muhammad Rasulullah". Mereka mengacung-acungkan sejumlah poster yang bernada mengutuk agresi Irak. Tapi berbeda dengan kelompok Assyafiiyah, KISDI, atau Persis, mereka juga menyerang Amerika Serikat. Misalnya ada poster yang bertuliskan, "Amerika Dalang Kerusuhan di Timur Tengah", "Nyahkan Pasukan Kafir dari Tanah Suci", "Yahudi Amerika Caplok Haramain". Pidato-pidato yang disampaikan para tokoh mereka dengan bersemangat menuding Israel ada di balik suasana runcing di Timur Tengah. "Saudara-saudaraku. Tanah Suci saat ini terancam, dan ancaman ini masih dalam rencana kaum Zionis. Apakah kamu rela? Apakah kamu siap berjuang?" teriak seorang pembicara, dan segera dijawab dengan pekik "Allahu Akbar" oleh massa. Salah seorang pembicara mengaku ide itu mereka siapkan spontan bersama beberapa temannya melihat keadaan kritis di Timur Tengah. Lalu, beberapa hari sebelumnya, mereka membuat selebaran mengundang massa, dan sukses. Setelah berteriak-teriak sekitar dua jam, massa itu bubar sendiri. Kedubes Arab Saudi di Jakarta juga banyak menerima surat dukungan dari pesantren-pesantren dan kelompok masyarakat. Rektor Universitas Muslim Indonesia Ujungpandang, Abdurrohman Abdullah Basalamah, sebagai contoh, 22 Agustus lalu, mengirim surat kepada Raja Fahd Abdul Aziz, menyatakan 20.000 mahasiswa dan 1.200 pengajar di universitas itu siap untuk membantu Raja Fahd untuk menjaga Mekah dan Madinah dari ancaman semua musuh, termasuk Irak. Sebuah kawat bernada sama, 19 Agustus lalu, diterima Kedubes Arab Saudi dari Pesantren Darul Ikhlas yang terletak di Desa Kerato, Kabupaten Sumbawa Besar, NTB. Pimpinan pesantren itu menyatakan siap mengumpulkan sekitar 10.000 santri dan penduduk di sekitarnya untuk membantu Arab Saudi, bila disetujui Pemerintah, untuk membentengi Kaabah. Tampaknya, simpati cukup banyak ditujukan ke Kuwait yang kini terjajah, atau Arab Saudi yang merasa terancam. Tapi suara yang sama juga diterima Irak. Atau setidaknya, cukup keras terdengar suara-suara mengecam Amerika Serikat yang atas permintaan penguasa Arab Saudi mengirimkan pasukannya ke negeri itu. Kedubes Irak di Jalan Teuku Umar Jakarta, misalnya, sampai Senin pekan ini terus menerima pernyataan simpati dari masyarakat, baik lewat telepon maupun kunjungan langsung. Rabu pekan lalu, misalnya, Dubes Irak Zaky Abdul Hamid Al-Habba menerima kunjungan sejumlah ulama dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Pekan lalu, sukarelawan yang mendaftar di sana sudah mencapai dua ratusan orang. Konon, menurut sebuah sumber di kantor itu, jumlahnya terus bertambah. "Mereka kebanyakan mendaftar melalui telepon," kata sumber itu. Kepada Yudhi Soerjoatmodjo dan Ivan Haris dari TEMPO, Zaky Abdul Hamid Al-Habba mengaku tak membutuhkan sukarelawan itu, sebab di Irak sendiri masih banyak rakyat yang bersedia mati menghadapi Amerika Serikat. Tapi ia menyampaikan penghargaan yang tinggi pada sukarelawan itu. "Kami gembira sekali melihat banyak orang Indonesia yang mau jadi sukarelawan dan turut berjuang bersama Irak. Sebab, hal ini mencerminkan adilnya perjuangan kami," katanya. Ada sukarelawan untuk Arah Saudi ada untuk Irak. Apa yang menimpa umat Islam di sini? Emha Ainun Nadjib, budayawan muda itu, melihat bagaimana miskinnya pengetahuan umat Islam Indonesia pada apa yang terjadi di Timur Tengah. Lihat saja pernyataan MUI yang menyebelah Arab Saudi, tapi Ketua NU Abdurrahman Wahid miring ke Irak, sedangkan Muhammadiyah mencoba netral dengan amat hati-hati. "Pada level umum, sikap umat Islam lebih tak menentu lagi," katanya. Inilah contohnya: Pujo Waluyo, 29 tahun, mahasiswa Unisba Bandung, tercatat dalam nomor urut satu dalam daftar sukarelawan yang dibuka Persis di Bandung, yang tampak miring pada Arab Saudi. Padahal, Pujo berkata, "Banyak orang Islam di Teluk, khususnya di Arab Saudi, sudah terpola oleh pemikiran kafir. Jadi, saya ingin pergi ke sana untuk mengislamkan mereka." Ia juga menganggap umat Islam perlu dipimpin seorang tokoh yang mampu mempersatukan umat yang terpecah-pecah. Apakah Saddam Hussein? "Bisa jadi. Tokoh yang saya maksud itu diciptakan Allah, bukan oleh kita," katanya. Pekik Allahu Akbar sudah diperdengarkan, semangat berjihad lalu dikobar-kobarkan, karena Haramain terancam. Padahal tentara Saddam Hussein masih ribuan kilometer dari Mekah dan Madinah. Begitu pula tentara Amerika yang kini dikonsentrasikan di sekitar Dahran, di perbatasan Arab Saudi-Kuwait, terpaut ribuan mil dari Haramain. Mereka yang terlibat di sana, Irak, Arab Saudi, apalagi Amerika, jelas demi kepentingan nasional masing-masing: demi suplai minyak, memperluas pengaruh atau daerah, atau karena ambisi para pemimpin, seperti Saddam Hussein itu. Menurut cendekiawan Islam Jalaluddin Rakhmat, selain Baath itu partai sosialis, Saddam Hussein, penguasa Irak itu, selalu menindas pengaruh Islam di negerinya. "Organisasi Islam Ad-Dakwah ditumpasnya dengan kejam," kata Jalal. Tapi Kuwait juga melakukan hal yang mirip. Setengah bulan sebelum Irak menyerbu, kata Jalal, sejumlah tokoh Islam fundamentalis di negeri itu telah dikirim ke tiang gantungan. Ada yang menganggap, dukungan terhadap Arab Saudi dan Kuwait di sini sedikit banyak berkat bantuan dana yang mereka berikan kepada sejumlah lembaga. Memang, sulit dibantah bahwa selama ini Arab Saudi, terutama Kuwait, cukup membantu kalangan Islam di Indonesia. Menteri Perminyakan Kuwait Rasheed S. Al-Ameeri, yang Minggu lalu menemui Presiden Soeharto di Jakarta, mengatakan bahwa di negerinya banyak komite yang berusaha membantu penduduk Muslim di dunia. "Nah, invasi Saddam Hussein itu memaksa kami menyetop bantuan itu untuk sementara karena semua dana dan aset Kuwait dibekukan," katanya kepada TEMPO. Yang menarik, terasa keras kekhawatiran di sini, bila Amerika menghancurkan Irak yang punya kekuatan militer paling besar di Timur Tengah, Israel akan lega, dan perjuangan Palestina semakin redup. Mungkin itu sebabnya kuat sekali rasa antipati terhadap Amerika Serikat yang disebut-sebut "imperialis" dan bersekongkol dengan kekuatan "Zionis". Dari pengumpulan pendapat yang disebarkan TEMPO pekan lalu, hiruk-pikuk ingin jadi sukarelawan ke Arab itu ternyata cuma suara minoritas (baca Siapa Mewakili Semangat Islam). Itu pun ada pula yang kesungguhannya diragukan. Misalnya, Bupati Sumbawa Yakub Koswara kesal pada kawat pimpinan Pesantren Darul Ikhlas ke Kedubes Arab Saudi yang katanya siap mengirimkan 10.000 sukarelawan ke Arab Saudi itu. "Lo, wong di sini untuk mengerahkan 1.000 orang saja untuk kerja bakti sulit," katanya. Apalagi murid pesantren itu sendiri cuma 170 orang. Yang diketahui bupati itu, pimpinan Darul Ikhlas sedang memohon dana ke Kedubes Arab Saudi, untuk membangun pesantrennya yang memang tampak reyot. Apalagi Pemerintah tegas telah menyatakan akan mencabut kewarganegaraan orang yang bertempur atas nama negara asing, sekalipun namanya sukarelawan. "Kalau mereka jadi tentara negara lain, ya, kewarganegaraannya hilang," kata Kepala Puspen ABRI Brigjen. Nurhadi Purwosaputro. Menurut Nurhadi, Indonesia memang pernah mengirim sukarelawan ke Irian Barat dan Malaysia. "Tapi itu kan dibentuk Pemerintah, untuk kepentingan negara," katanya. Nurhadi tampaknya benar, ketika menanggapi ramai-ramai sukarelawan ini. "Tanah suci itu tak apa-apa, jadi mereka itu cuma emosional saja. Ini kan perang Irak dengan Kuwait, perang politik," katanya. Bahwa kemudian kedua pihak meneriakkan "Allahu Akbar", tentulah untuk kepentingan politik pula. Amran Nasution, Leila S. Chudori, Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo