YANG wanita memakai jilbab. Sedang para pemudanya melilitkan kain hijau bertuliskan "Allahu Akbar" di kepala mereka. Dari kerongkongan mereka, sekitar 1.500 orang, pekan lalu, keluar raungan "Siap!" tatkala seorang pembicara mengajukan pertanyaan "Apakah kalian siap berjuang membela Haramain". Lalu takbir "Allahu Akbar" pun berkumandang di halaman Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tempat "Apel Siaga Umat Islam" itu diselenggarakan. Sementara itu, di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, di Kedutaan Besar Irak, sejak dua pekan lalu berdatangan puluhan orang, mendaftarkan diri buat menjadi sukarelawan "untuk berperang bersama pasukan Saddam Hussein". Di beberapa tempat lain, di Jakarta, Bogor, dan Bandung, dibuka juga tempat pendaftaran menjadi sukarelawan. Di sini tujuan berbeda: untuk membela kota suci Mekah dan Madinah, dari kemungkinan serbuan Irak. Krisis di Teluk Persia, akibat serbuan Irak ke Kuwait awal bulan ini, memang terjadi puluhan ribu kilometer dari Indonesia. Tetapi gaungnya keras di sini. Di banyak masjid atau pengajian, para dai berbicara tentang "tanah suci yang terancam". Dan umat Islam di sini pun diimbau supaya siap berjihad. Ancaman siapa? Ada yang mengatakan "Ancaman dari orang kafir". Yang lain menjawab "Dari kaum Zionis". Sedang seorang calon sukarelawan mengatakan "Tanah Suci terancam oleh pasukan Irak yang komunis". Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Serbuan Irak ke Kuwait memang membuat banyak umat Islam waswas. Mereka khawatir Saddam Hussein -- yang nampaknya diketahui bukan sebagai tokoh Islam, apalagi ia pernah dimusuhi Ayatullah Khomeini -- akan menyerbu Arab Saudi, hingga nantinya akan mengancam Haramain Asyarifain, kota suci Mekah dan Madinah. Ada juga kemarahan karena pasukan AS (jelas bukan muslim) sampai menginjak Tanah Suci itu. Meskipun, seperti ditunjukkan di halaman 30, cukup jauh masih jarak mereka dengan Kaabah dan Masjidil Haram di Mekah dan makam Rasullulah di Madinah. Kekhawatiran seperti ini bukan baru. Perasaan itu pernah pula muncul di kalangan umat Islam Indonesia pada 1924, setelah Ibnu Saud berkuasa di Arab, dan kemudian melakukan "pembersihan" beragama sesuai dengan ajaran Wahabi. Sebagian ulama Indonesia, yang khawatir bahwa penguasa baru Hijaz itu akan melarang kebiasaan bermazhab di Mekah, mendirikan Komite Hijaz pada 1926, yang kemudian melahirkan organisasi Nahdlatul Ulama. Yang menarik, kali ini opini umat Islam Indonesia jelas sangat terpecah. Ada yang bisa mengerti serbuan Irak atas Kuwait. Banyak pula yang mengecam, bahkan mengutuknya. Cukup banyak pula yang menyesalkan pemerintah Arab Saudi yang "mengundang" pasukan Amerika untuk membantu pertahanannya. Sehubungan dengan itu, penting diperhatikan satu gejala perubahan sikap muslimin Indonesia terhadap Amerika Serikat, satu hal 25 tahun yang lalu tak nampak (lihat boks halaman 32). Sementara itu, tak sedikit umat Islam Indonesia yang bingung. Mengapa Irak yang Islam menyerbu Kuwait yang juga Islam? Mengapa dua negara Arab bisa berperang? Tampak bahwa banyak di antara kita yang sulit memisahkan antara "Arab" dan "Islam" (satu hal yang dibahas Kolumnis M. Dawam Raharjo di halaman 26). Sikap para tokoh Islam yang juga terbelah opininya agaknya tambah membingungkan umat. Lebih lagi, masing-masing punya argumen yang kuat. Jelas, pelbagai kombinasi perasaan berbicara kali ini. Ada sikap antimonarki, ada kebencian pada Zionis dan imperialis, ada simpati buat Palestina. Dan di atas semuanya, ada kekhawatiran bahwa geger di Teluk ini akan mengakibatkan kemunduran pada perjuangan Islam, pada ukhuwah Islamiah. Bagaimana terbelahnya umat Islam di sini bisa dibaca dalam halaman-halaman berikut Laporan Utama nomor ini. Perbedaan pendapat para tokoh Islam, umpamanya bisa jelas terlihat dalam gallery pendapat yang bisa dijumpai di halaman 33 sampai 36. Tetapi bagaimana sesungguhnya pendapat kalangan awam Islam terhadap krisis di Teluk? Pekan lalu, kami menyebar hampir 900 kuesioner di beberapa kota besar. Daftar pertanyaan itu juga kami layangkan ke beberapa pesantren di Jawa Timur, juga pada sejumlah peserta Munas Majelis Ulama Indonesia, yang pekan lalu bersidang di Jakarta. Lewat poll itu kami ingin mengukur kadar sikap umat Islam terhadap beberapa hal. Misalnya, negara mana yang kini dianggap mewakili "semangat Islam". Suatu hal telah nyata. Krisis Teluk sekarang ini telah membuat umat Islam di sini merasa terlibat. Ada keinginan untuk tidak hanya menjadi penonton -- yang selama ini lebih sering diperagakan -- dalam suatu peristiwa yang "mengan-cam" Islam. Keterlibatan itu, oleh sebagian kalangan, tidak hanya ingin diwujudkan dalam sekadar pernyataan. Tapi juga dalam perbuatan, antara lain dengan mendaftar menjadi sukarelawan. Meski semua tahu, saat ini tak akan mungkin ada sukarelawan Islam yang diberangkatkan, setidaknya niat dan isyarat telah ditunjukkan. Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini