Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA benar Presiden Joko Widodo akan mengangkat kembali Arcandra Tahar sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, inilah kisah ajaib tentang pembentukan kabinet di Indonesia selama 50 tahun terakhir. Pada 1966, Presiden Sukarno pernah mengangkat Letkol Imam Syafii, yang dikenal sebagai ”raja copet Senen”, menjadi Menteri Negara Urusan Keamanan Khusus. Untungnya, ”Kabinet 100 hari” itu lebih pandak usianya ketimbang umur jagung.
Pengangkatan menteri memang hak prerogatif presiden. Tapi, sesuai dengan sistem demokrasi yang kita anut, hak itu tidak absolut dan tidak bisa digunakan semau-maunya. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, misalnya, menyebutkan seorang menteri haruslah pertama-tama seorang warga negara Indonesia. Ketika Joko Widodo mengangkat Arcandra, bulan lalu, ia ternyata memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat. Kalau tidak, mengapa ia dipecat 20 hari kemudian?
Pemecatan Arcandra—meskipun ”dengan hormat”—menjelaskan bahwa ada yang salah dalam pengangkatannya. Untuk sementara ini, yang bersalah dalam pengangkatan itu tentulah bukan Presiden, melainkan orang yang diangkat. Kalau Presiden yang bersalah, tentu ia layak dimintai pertanggungjawaban di depan hukum. Kalau yang bersalah adalah orang yang diangkat, bisakah dijelaskan tingkat kesalahannya? Sampai saat ini, kesalahannya yang nyata adalah tidak memberi keterangan yang benar sepanjang proses pengangkatan.
Tidak memberi keterangan yang benar, terutama dalam kaitannya dengan masalah kenegaraan, identik dengan dusta. Kenyataan ini memang pahit, tapi begitulah adanya. Kepada majalah ini pun Arcandra berdusta dengan mengatakan ia mengambil kewarganegaraan Amerika karena demikianlah yang disyaratkan negara itu bagi orang yang ingin mengambil paten. Ternyata syarat pengambilan paten di sana tidak demikian. Artinya, Arcandra punya kekuatan untuk berdusta.
Inilah yang mengkhawatirkan. Dalam kasus Arcandra, kita tidak hanya berhadapan dengan masalah prosedur dan teknis, tapi dengan sesuatu yang lebih mendasar, yakni standar moral yang dipertaruhkan. Jika standar moral—dusta adalah salah satunya—sudah direlatifkan, kita bisa kehilangan pegangan tentang apa yang benar dan tidak benar. Ukuran yang baik dan yang jahat menjadi absurd, dan korbannya adalah seluruh karakter ketatanegaraan.
Jika benar proses ”naturalisasi” Arcandra akan menempuh jalan pintas supaya ia bisa segera dilantik sebagai menteri, cerita ini pun menusuk hati. Dalam proses yang wajar, seseorang membutuhkan lima tahun tinggal di Indonesia sebelum mendapatkan naturalisasi. Arcandra mendapat keistimewaan, dan kita ingin tahu: apa yang istimewa dari orang ini? Yang kita tahu, di masa lalu ada seorang pebulu tangkis, Ivanna Lie—yang ikut memenangi berbagai kejuaraan untuk Indonesia di gelanggang internasional—yang proses naturalisasinya memakan waktu belasan tahun. Memang ada pemimpin Gerakan Aceh Merdeka di Swedia yang mendapat status warga negara Indonesia selepas perdamaian Aceh diteken. Tapi apakah urusan Arcandra ini lebih hebat ketimbang persoalan menghentikan perang di Serambi Mekah?
Mungkin Arcandra berhasil mengambil hati Presiden dengan presentasinya di sekitar masalah energi dan sumber daya mineral. Tapi itu tidak harus membuat pemerintah melanggar aturan. ”Kampanye” tentang kehebatan Arcandra itu hendaknya tidak membuat kita membeli kucing dalam karung. Lebih jauh lagi: Presiden selayaknya tidak bermain-main dengan standar moral yang makin gawat—dan dalam tingkat kenegaraan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo