Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUMOR selalu berlebihan, bahkan tak masuk akal. Syahdan, dalam pesawat udara yang terbang tinggi, petinggi empat negeri saling memamerkan kekayaan. Dari angkasa, petinggi Arab Saudi membuang berbarel-barel minyak. Petinggi Amerika menebar berbilang ton gandum. Petinggi Prancis menyiramkan bergalon-galon parfum. Bingung mencari kekayaan yang membanggakan, tiba-tiba petinggi Indonesia menendang ke luar seorang pembantunya. "Kami masih punya berjuta-juta tenaga kerja."
Kendati tidak sepahit humor hitam itu, perlakuan terhadap buruh migran sering kali juga sulit diterima nalar. Mereka diagung-agungkan dengan sebutan "pahlawan devisa", tapi enam juta orang itu dibiarkan bekerja di negeri orang tanpa proteksi memadai. Dugaan penyelewengan program asuransi tenaga kerja Indonesia merupakan indikasi betapa rawan jaminan keselamatan kerja bagi mereka.
Di atas kertas, semua terencana baik. Sebelum berangkat, setiap tenaga kerja Indonesia wajib membeli polis asuransi dengan premi Rp 400 ribu. Setiap bulan sedikitnya 30 ribu buruh migran meninggalkan Tanah Air. Artinya, setiap bulan dana Rp 12 miliar dibayarkan buruh migran kepada konsorsium asuransi yang dipilih oleh Menteri Tenaga Kerja.
Biaya itu belum termasuk pungutan US$ 15, yang dimaksudkan untuk membayar pengacara bila terjadi kasus hukum, pemulangan tenaga kerja bermasalah, atau pengobatan TKI yang sakit di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Pungutan ini pun patut ditolak. Menimbang jasanya memasukkan devisa, pemerintah selayaknya menanggung semua biaya itu.
Apalagi, walaupun telah membayar dua jenis premi asuransi, TKI tak terlindungi maksimal. TKI atau ahli warisnya hampir selalu gagal mendapatkan seluruh klaim asuransi ketika terjadi kematian, kecelakaan, sakit, gagal berangkat, diperkosa, dipecat, mendapat masalah hukum, tidak dibayar gajinya, dipindahkan tanpa izin, atau dipulangkan.
Investigasi majalah ini menemukan pengurusan dokumen yang berbelit-belit. Buruh migran dipingpong ke sana-kemari. Kalaupun klaim bisa cair, jumlahnya sudah jauh susut. Selidik punya selidik, ternyata sumber masalahnya adalah "UUD"–ujung-ujungnya duit. Konsorsium penyedia jasa asuransi TKI diduga bermain mata dengan pejabat Kementerian Tenaga Kerja untuk menyesap uang premi.
Bayangkan, broker asuransi menikmati separuh dari total premi Rp 400 ribu yang dibayarkan setiap TKI. Benar bahwa peran broker diatur Undang-Undang Nomor 2/1992 tentang usaha perasuransian. Tapi semua fungsi broker—sebagai pihak yang menegosiasikan besaran premi, jenis program, dan biaya pertanggungan—dalam kasus ini telah diputuskan Peraturan Menteri Tenaga Kerja. Dalam pelaksanaan tiga fungsi itu, peran broker praktis tak ada.
Badan Pengawas Pasar Modal, yang mengatur praktek asuransi, menyatakan penggunaan broker di sini tak sesuai dengan rekomendasi mereka. Badan Pemeriksa Keuangan menilai aspek bisnis skema asuransi ini lebih kuat ketimbang aspek perlindungannya. Akibat biaya jasa broker setinggi langit itu, jelas saja perusahaan asuransi tak bisa memberikan manfaat optimal.
Komisi Pemberantasan Korupsi perlu turun tangan menelusuri kasus ini. Kepada majalah ini sejumlah broker mengatakan pernah dikontak orang yang mengaku staf khusus Menteri Tenaga Kerja. Dalam sejumlah pertemuan, baik di kementerian maupun di tempat-tempat yang tak terjangkau penghasilan buruh, misalnya coffee shop hotel berbintang, orang dekat menteri itu menawarkan jalur spesial agar bisa menang dalam seleksi calon konsorsium. Ada juga broker yang mengaku mengetahui upacara penyerahan miliaran rupiah untuk si wakil bos. Gratis? Jangan mimpi. "Orang dalam" itu minta setoran rutin sekian persen dari total premi asuransi yang diterima konsorsium.
Sesungguhnya "penghisapan" sudah berlangsung sejak tenaga kerja masih berada di kampung. Calo yang merekrut tenaga kerja minta jatah dua bulan gaji pertama. Untuk mendapatkan surat keterangan sehat, rekomendasi paspor di kota atau kabupaten, sertifikat pendidikan dan pelatihan, kartu tenaga kerja luar negeri, semua harus bayar, bayar, dan bayar.
Akibat belum ada nota kesepahaman dengan negara penerima TKI, misalnya Arab Saudi, kadang TKI "diperjualbelikan" dari tangan ke tangan. Selain diusir majikan, banyak pula yang terpaksa hidup di kolong jembatan atau dipulangkan paksa. Begitu menginjak Tanah Air, di bandara pun mereka sering menjadi korban penipuan. Gaji bertahun-tahun yang dikumpulkan di negeri orang sering lenyap dalam sehari di negeri sendiri.
Sebelum semua sistem jaminan keselamatan kerja bagi TKI dibenahi, lebih baik moratorium pengiriman TKI diteruskan. Dalam kasus asuransi ini, bila tak mau disebut ikut berperan menghisap keringat TKI, Menteri Tenaga Kerja kelak harus menyiapkan jawaban yang masuk akal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo