Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KELELETAN pemerintah menuntaskan konflik di Papua harus dibayar mahal. Kekerasan yang melibatkan tentara atau polisi dengan Organisasi Papua Merdeka/Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Papua Barat tak pernah surut. Konflik tetap panas. Dalam sebulan terakhir, konflik berdarah mengakibatkan 23 orang tewas—sebagian besar penduduk sipil.
Pemerintah mestinya bisa menciptakan perdamaian di Papua. Harapan bukannya tak ada. Dialog damai Jakarta-Papua sudah dirintis. Pemerintah telah mengutus Farid Husain (mantan juru damai konflik Aceh) menjajaki dialog damai dengan kelompok bersenjata yang menginginkan kemerdekaan Papua. Panglima TPN Papua Barat, Brigadir Jenderal Richard H. Joweni, sudah mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Juli lalu. Mereka mau berunding mengakhiri konflik.
Sayangnya, pemerintah kurang serius merespons tawaran damai itu. Syarat yang diajukan TPN Papua Barat, agar pasukan TNI non-organik ditarik, pagi-pagi sudah ditolak Cilangkap. Walhasil, kelompok bersenjata dan TNI terus saja bentrok. Pemerintah seharusnya sadar, berulangnya kekerasan berdarah dan konflik menahun menunjukkan ada yang keliru pada kebijakan atas Papua. Dalam meredam konflik, pemerintah lebih mengedepankan pendekatan keamanan ketimbang pendekatan kesejahteraan atau kemanusiaan.
Dari anatominya, gerakan bersenjata di Papua tak semasif Gerakan Aceh Merdeka. Gerilyawannya tak lebih dari belasan ribu orang. Jadi, keliru bila menilai akar masalah di Papua adalah separatisme. Justru akar konflik di sana meliputi persoalan sejarah, politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, kesejahteraan, dan keadilan. Walhasil, tak tepat bila pemerintah memilih pendekatan militer, yang terbukti gagal mengatasi konflik.
Pemerintah atau Markas Besar TNI boleh saja mengklaim tak lagi memprioritaskan pendekatan keamanan. Tapi fakta di lapangan menunjukkan masih ada operasi militer. Ribuan tentara non-organik juga berseliweran. Bahkan pusat terkesan mencurigai orang Papua mendukung separatisme. Para intel kerap memata-matai mahasiswa, pegawai negeri, sampai agamawan.
Papua memang telah mendapat otonomi khusus sejak 2001. Tapi penerapannya gagal lantaran pemerintah setengah hati. Kendali masih ada di Jakarta. Restu pembentukan Provinsi Papua Barat, contohnya. Papua tetap tak leluasa mengelola dan menerima hasil kekayaan alamnya sendiri. Otonomi khusus juga membuat migrasi marak. Muncul ketidakadilan dan diskriminasi oleh pendatang terhadap penduduk setempat. Akibatnya, masyarakat asli Papua masih terpinggirkan.
Tak ada pilihan lain, pemerintah kudu bergegas mengatasi akar konflik yang sesungguhnya di Papua, dengan kebijakan komprehensif non-militeristik. Upaya itu bisa dirintis melalui dialog damai. Mumpung TPN Papua Barat akan menggelar konferensi di Vanuatu pada 10 September ini. Pemerintah tak bisa sendiri menyelesaikan konflik di Papua. Para tokoh nasional, lembaga swadaya masyarakat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, forum gereja atau ulama, dan cendekiawan mesti mendorong niat baik itu.
TNI juga perlu melakukan desekuritisasi, termasuk menarik pasukan non-organik dan menyerahkan penanganan ketertiban kepada polisi. TPN Papua/OPM juga harus punya iktikad menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Konflik hanya akan membuat masyarakat menderita, dan Papua juga tak akan pernah melaksanakan pembangunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo