IRAN, dalam gelombang anti-Shah, menjelang akhir 1978.
Ulama di kota Kermanshah di Iran itu berkata kepada wartawan
asing yang di hadapannya. "Kami ini seperti Kardinal dalam agama
tuan," katanya. Tetapi wartawan Belgia itu, Claude van Engeland,
tahu Ayatullah Jalili hanya mencoba memberi perbandingan
sederhana.
Sebab van Engeland mengerti seorang ayatullah tidak persis sama
dengan seorang imam Katolik. Ia pernah berkunjung ke rumah
Ayatullah Saduhi yang tinggal di tengah kampung rakyat yang
berbatasan dengan pasar Yazd. Ia menuliskan yang disaksikannya
dalam Le Monde Diplomatique yang terbit Desember 1978 yang lalu.
"Di rumah Ayatullah Sadughi," tulisnya, "para pemuda berjam-jam
mendiskusikan politik dan agama dengannya dan dengan para mullah
daerah itu." Seorang ayatullah bukan saja hidup dari pemberian
masyarakat di dekatnya, ia juga tidak akan mengambil keputusan
sebelum mendengar pendapat para ulama lain dan penduduk biasa.
Sekurang-kurangnya, ada rapport, ada kemanunggalan, yang
langsung dan lumrah antara para ayatullah dengan masyarakat
sekitar. Ada simbiose. Yang satu membutuhkan yang lain. Mungkin
dalam kemarahan terhadap Shah kini justru bukan ayatullah itulah
yang berperan sebagai penghasut. Mereka mungkin hanya pengeras
suara. Rakyat datang kepada mereka mengadu, dan para ayatullah
itu berseru.
Barangkali ada titik persamaan antara para ayatullah di Iran
kini dengan para imam Katolik di Amerika Latin, yang
mendengarkan -- dan menggemakan kembali -- jerit rakyat di
lapisan bawah yang tertindas. Tapi seperti ditulis Claude van
Engeland pula, ada kekuatan yang lebih pada para ayatullah itu
-- dan sekaligus kelemahannya.
Kekuatannya ialah tak terhambatnya suara protes oleh
jaring-jaring organisasi yang bertingkat. Kelemahannya justru
akibat tiadanya jaringan organisasi itu. Karena hirarki
keagamaan mereka tak jelas. suatu garis aksi tak pernah dapat
ditarik rapi. "Dari tiap desa," tulis van Engeland, "kaum
ayatullah mengumumkan pendapat mereka tanpa memperhitungkan apa
yang dikatakan rekan mereka di tempat lain."
Ayatullah Khomeny, yang membuang diri di Paris oleh pers Barat
hampir dianggap sebagai pemimpin tertinggi gerakan anti-Shah.
Tapi ia bukan semacam Paus. Ia yang lama hidup di Iraq itu
mencita-citakan berdirinya sebuah "Republik Islam". Namun tak
semua ayatullah penentang Shah sependirian dengannya. Ayatullah
Shariat Madari dari kota Qum, misalnya, lebih cenderung
mempertahankan monarki.
Apa boleh buat. Perbedaan itu adalah contoh klasik suatu gerakan
revolusioner yang spontan: tahu jelas apa yang ditolak, tapi
amat kabur tentang apa yang dimaui. Khomeny sendiri belum
menjelaskan persis yang dibayangkannya dengan "Republik Islam".
Mungkin itu hanya sebuah bendera bersama yang dipajang
tinggi-tinggi, bukan program yang terpadu ke masa depan.
Betapapun juga, gelombang oposisi di Iran kini, seperti halnya
ombak Laut Kaspia, bukanlah gelombang tunggal. Ada yang menuntut
demokratisasi politik dan kehidupan ekonomi yang bebas dari
monopoli pejabat. Dengan kata lain, semacam liberalisme. Tapi
ada pula yang berseru tentang keadilan sosial yang lebih merata.
Dengan kata lain, sosialisme. Bagaimana menyatukan itu ?
Mungkin itulah repotnya sebuah revolusi di hari ini. Banyak
model sudah mengecewakan Atau jika ada, terlalu jauh untuk
diterapkan. Sementara itu, menjelang kemenangan diperlukan
semacam blueprint, dan untuk blueprint diperlukan telaah serta
diskusi. Pada akhirnya, diperlukan waktu.
Tapi cukupkah waktu, dengan penderitaan dan protes yan sepuncak
itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini