Harga minyak mentah dunia naik, harga dolar Amerika juga naik, siapa mesti menanggung bebannya? Bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia lebih banyak berasal dari impor, yang harus dibeli dengan dolar. Jika harga jual BBM disesuaikan, yang berarti harga-harga lain bisa ikut naik, maka beban bagi konsumen bertambah berat. Jika tidak, berarti pemerintah harus menombok subsidi lebih besar, sehingga anggaran belanja negaralah yang dirongrong. Akhirnya efek kedua pilihan itu pasti ditanggung rakyat juga. Betapapun halnya, keputusan harus segera diambil. Mungkin pemecahan terbaik ialah dengan menempuh sebuah jalan tengah.
Patokan harga minyak mentah dunia yang digunakan dalam anggaran negara (APBN) adalah US$ 22 setiap barel, dan subsidi BBM dianggarkan Rp 14,5 triliun satu tahun. Sekarang harga minyak melambung sampai US$ 40. Bayangkan besarnya tambahan subsidi yang harus dikeluarkan bila harga jual BBM akan dipertahankan. Defisit anggaran bisa jadi makin besar. Akibatnya akan menimpa seluruh perekonomian, dan rakyat banyak akan terkena imbasnya lebih dulu.
Memang, dengan naiknya harga, pendapatan pemerintah juga meningkat dari hasil ekspor. Namun subsidi harus tetap dikeluarkan, padahal pemerintah sudah berencana meniadakan subsidi BBM itu pada akhir 2004, kecuali untuk minyak tanah. Jika pemerintah dan DPR sepakat mengubah patokan harga minyak mentah dari US$ 22 menjadi US$ 30 per barel?walau sebenarnya harga rata-rata tahun ini US$ 34-35?subsidi harus ditambah sehingga menjadi sekitar Rp 30 triliun. Ini merupakan tekanan berat bagi anggaran negara, sementara manfaat subsidi BBM untuk mengurangi dampak kemiskinan tidak terlalu berarti benar.
Sudah lama diketahui, dalam praktek ternyata tujuan subsidi BBM tidak tercapai, yaitu terutama untuk meringankan beban kebutuhan energi bagi rumah tangga berpenghasilan rendah. Pada kenyataannya, tidak lebih dari 5 persen rumah tangga miskin menggunakan bensin, dan tidak ada yang langsung membutuhkan minyak solar. Minyak tanahlah yang terutama dipakai oleh lebih dari 80 persen rumah tangga miskin. Hanya, subsidi besar untuk minyak tanah rumah tangga membawa problem lain. Harga minyak tanah untuk rumah tangga adalah Rp 700 per liter, dibedakan dengan harga untuk industri Rp 1.800, dan harga di luar negeri lebih tinggi lagi. Diferensiasi harga itu menyebabkan minyak tanah harga murah diborong dan diselewengkan untuk industri, atau diselundupkan ke luar negeri. Akibatnya, distribusi minyak tanah terganggu, harga eceran naik. Rakyat tetap susah, pemerintah menanggung beban subsidi, yang untung para pedagang dan pejabat yang korup.
Kebijakan ekonomi yang baik mengharuskan hapusnya subsidi BBM. Agar tidak membebani rakyat miskin, subsidi BBM dikurangi secara bertahap, ditambah kompensasi memberikan subsidi beras dan biaya pendidikan, misalnya. Konsekuensinya ialah harga bensin dan solar disesuaikan dengan harga internasional, sedangkan minyak tanah dijaga agar harganya relatif lebih stabil. Inilah jalan tengah yang memungkinkan, dan harus ditempuh. Namun kebijakan seperti ini?yang memang tampak kurang populis sifatnya?sulit diambil oleh pemerintah sekarang, karena sedang menghadapi pemilihan umum presiden.
Kalau pemerintah Megawati mengorbankan kebijakan ekonomi yang sehat demi politik pemilihan presiden, tak bisa lain itu menunjukkan kepemimpinan yang kurang bertanggung jawab, yang patut disesalkan, termasuk oleh rakyat pemilih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini