Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Batavia stamboul

Orkes keroncong studio jakarta di bawah pimpinan m. sagi menjadi rancak, merangsang dan berwibawa. kini tidak bersemangat, tidak punya daya cipta, kesegaran dan keterampilan. sagi sendiri yang mengawalinya.

18 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA seorang nona di seberang samudera di bilangan Ohio yang menulis: "Aduh mas, sampai nangis saya!" Ini gara-gara si pelipur lara yang diterima nona dari kampungnya: keroncong. Musik yang satu ini bagi banyak orang memang baru terasa batunya bila didengar jauh dari tanah air. Soalnya, di sana tak ada orang-orang awak yang tahu bahwa nona menikmati irama kencrung-kencrung ini. Berani-berani begitu di desa Jakarta kan bisa copot gensinya. Tapi kalau mengaku kepada saya dia rupanya tidak khawatir. Ini barangkali karena pada suatu Hari Ibu dia pernah melihat saya mendedau di depan para ibu begini: "Kalau begiinii saya jadi buayaa . . !" Dengan gaya Sam Saimun, tapi tentu lebih dramatis, dan rusak sekali. Memang ketika masih bertakhta di Jakarta teman saya itu menunjukkan suatu sikap gengsiwan yang terkenal terhadap keroncong: cacat-cacat cempedak, cacat-cacat nak hendak. Begitulah kalau menurut orang Melayu. Dan sekarang dia ini seperti baru untuk pertama kalinya saja ketemu mutiara-mutiara musik dunia yang berasal dari lumpur kampungnya sendiri. Keroncong Purbakala, Stambul Burung Tekukur, Paripa Duka, Stambul Kayu Api, Fatimah, Terkenang-Kenang, Sampul Surat, Air Laut, Cakerawala dan banyak lagi. Great songs nona, great songs! Purbakala yang tampan. Paripa Duka yang makin jaya saja. Fatimah dengan ritenuto-nya yang masyhur. Cakerawala yang menyimpang ke modulasi cantik. Rindu rawan Air Laut yang tak mungkin dilupakan. Dan, ya, si nona saya minta carikan lagu di antara masyrik dan magrib ini yang sanggup mengalahkan Stambul Burung Tekukur. Si Tekukur ini pantaslah kita namakan paramalagu. Asal dipilih biduannya yang betul. Misalnya Isnarti atau Masnun. SOMBONG DAN SOK Tapi si jiwa manis sudah tidak mau main banding-bandingan ini. Keroncong jangan terlalu dikupas, katanya. Otak kita ini, katanya, kalau terlalu sombong dan sok, kerjanya cuma akan menutup hati saja. Padahal keroncong ini pukul rata bukan bikinan orang-orang sok yang banyak muncul dalam seminar dan majalah musik. Apalagi di zaman dulu. Banyak di antara mereka itu dulu rupanya berstatus gelandangan dan sinyo dan buaya. Ungkapan katanya boleh saja disebut kampungan atau mbeling. Tapi bagi hatinya, tidak ada nona yang tidak manis, tidak ada jiwa yang tidak manis, tidak ada indung yang tidak sayang, apapun perbuatan makhluk-makhluk manis disayang itu. Bahasa mereka bisa saja disingkirkan, tapi pesona melodi mereka tidak akan pernah pudar. Pesona yang tidak pernah meninggalkan alam jelita kirana, sungguhpun dirundung dukacita yang sangat. Bagi orang-orang sederhana itu dunia mutakhir hanyalah apa yang kebetulan lewat saja, dan itupun ditanggapinya dengan murah hati. Vliegmachine nona manis kapallah udara Bangun mendusin nona mendengar suara (Telemoyo, dan dengan ubahan pada Muritsku). Selebihnya, pantun dan seloka mereka cukuplah menggambarkan suka-duka dan isi lingkungan mereka sendiri. Ada buah kedondong (Telemoyo), jeruk manis (Stambul Jampang), ketupat (Muritsku), kitiran (Bayang-Bayang), sumur (Panjang Umur), sarang tawon (Cenderawasih Terbang Tinggi), kayu api dan sapu lidi. Anak kepiting dan rujak mangga dan kartu ceki bersahutan dalam Ole-Ole Bandung. Semua itu tentu saja masih ada dalam lingkungan kita, cuma tidak lagi dalam nyanyian model sekarang. Kalaupun melodi lama yang diambil, maka naskahnya dipermak begitu rupa sehingga sesuai dengan selera 'orang baik-baik' di dalam villa. Tapi itu biasa denan mutiara yang diangkat dari bale-bale dan pindah ke sofa. Ya ya, Ibaratnya dunia berputar seperti roda. Apalagi yang naskahnya mbeling. Coba dengar "Batavia Stamboul" ini yang berasal dari nenek moyang kita: Kuda kecil kuda kereta, kuda besar ya punya tunggangan. Masih kecil bermain mata, sudah besar ya jadi tunggangan. Dalam bentuk begini pasti akan dilarang masuk TV, bukan? Untung lah kemarin ini nona-nona manis dari Lingga Binangkit cuma bunyi a-a-a-a saja. Kalau naskah dulunya dipakai, bunyinya bakal begini: Saya kira anaknya pangran. Tidak tahunya nona manis anaknya papih. Saya kirain si nona manis main-mainan. Tidak tahunya si nona manis sakitlah hati. Demikianlah lagu "Bintang Surabaya" yang kata nona manis di TVRI ke marin ini "lagu zaman perjuangan". Iya deh . . . ! MAS HUGENG Perkara cinta-salah-wesel di atas juga ada dalam "Keroncong Selendang Mayang". Na, ini onak-duri buat Mas Antor Moeliono, tapi mestinya santapan buat gerombolan Mas Hu geng: Ular naga is een grote slang een anjelier is een mooi plant. Sudah lama dat ik naar jou verlang. Sayang sedikit hi is mijn bloedverwant. Jadi sama rancunya dengan bahasa segala tuan besar sekarang. Gado-gado berikut berasal dari "Keroncong Melayang": Ai! Sampai bayangan tuan kusangkalah dia Sanatogen obatlah panasnya! Hij heeft mij bedrogen tuan selama-lamanya! Kalau tengku Bram Aceh kurang berani menyanyikannya, bisalah diundang grand old man kita, Oom Tan Ceng Bok. Jangan lupa, oom Tan ini buaya asli, the las of the great buayas. Paling tidak beliaukan boleh nyanyi "Keroncong Maneschijn", dan yang paling hebat, "Stambul Nasib Penyanyi". Nasib penyanyi keroncong? Nasib keroncong? Saat ini sedang gawat. Musik-musik lain sedang menggebu-gebu di udara, baik udara Pemerintah maupun udara khalayak. Apalagi kalau acara musik diserahkan kepada buaya-buaya baru: perusahaan kaset. Di situ kaum belia yang mampu berkeroncong pun disuruh berdangdut semua. Kita ingat bahwa kedudukan keroncong tidak selamanya demikian. Pada masa jaya jayanya - ialah zaman Jepang--musik pop ('langgam') tidak pernah mampu menindih keroncong Di antara yang paling berjasa ialah Orkes Keroncong Studio Jakarta. Di bawah pemimpinnya, M. Sagi, keroncong menjadi rancak, merangsan dan berwibawa. Bisa bernyanyi bersama orkes Sagi dianggap sebagai kehormatan oleh segala biduan tenar, termasuk yang bukan juru keroncong: Netty, Kustiyati, Rum, Annie Landouw, Ribut Rawit, Lily Marie, Heriyati, Mardjo Kahar, Sal Saulius, Rowetty, Mathovani dan lainnya. Kemudian keroncong menurun, dan sedihnya, Sagi sendirilah yang mengawalinya. Tidak ada 'keroncqng pop' yang dapat menghilangkan kesan bahwa keroncong sedang mengidap lesu darah. Orkes keroncong yang baik--misalnya "Dian Irama" dengan pimpinan Wiromo - tidak dikenal dan tidak mendapat pengakuan. Kesan umum ialah bahwa keroncong sekarang menjadi sarang kaum pengisap darah yang tidak punya semangat, daya cipta, kesegaran dan keterampilan. Di situ misalnya berkumpul para pembiola malas yang hanya bisa mimpi kecemerlangan Sagi Pemusik-pemusik kita yang terbaik menjauhinya, dan hanya mengurusinya kalau sedang iseng kepingin nyeleweng sebentar. Keroncong tentu tidak bisa mati dengan sendirinya. Tak ada musik yang begitu. Dia hanya bisa dibunuh. Keroncong juga bukan manikam yang sudah menjadi sekam. Kalau disuruh jadi sekam dan masuk liang lahad, bisa. Dan kalau dibangkitkan kembali, ya tentu bisa juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus