ADA seorang nona di seberang samudera di bilangan Ohio yang
menulis: "Aduh mas, sampai nangis saya!"
Ini gara-gara si pelipur lara yang diterima nona dari
kampungnya: keroncong. Musik yang satu ini bagi banyak orang
memang baru terasa batunya bila didengar jauh dari tanah air.
Soalnya, di sana tak ada orang-orang awak yang tahu bahwa nona
menikmati irama kencrung-kencrung ini. Berani-berani begitu di
desa Jakarta kan bisa copot gensinya. Tapi kalau mengaku kepada
saya dia rupanya tidak khawatir. Ini barangkali karena pada
suatu Hari Ibu dia pernah melihat saya mendedau di depan para
ibu begini: "Kalau begiinii saya jadi buayaa . . !" Dengan gaya
Sam Saimun, tapi tentu lebih dramatis, dan rusak sekali.
Memang ketika masih bertakhta di Jakarta teman saya itu
menunjukkan suatu sikap gengsiwan yang terkenal terhadap
keroncong: cacat-cacat cempedak, cacat-cacat nak hendak.
Begitulah kalau menurut orang Melayu. Dan sekarang dia ini
seperti baru untuk pertama kalinya saja ketemu mutiara-mutiara
musik dunia yang berasal dari lumpur kampungnya sendiri.
Keroncong Purbakala, Stambul Burung Tekukur, Paripa Duka,
Stambul Kayu Api, Fatimah, Terkenang-Kenang, Sampul Surat, Air
Laut, Cakerawala dan banyak lagi. Great songs nona, great songs!
Purbakala yang tampan. Paripa Duka yang makin jaya saja. Fatimah
dengan ritenuto-nya yang masyhur. Cakerawala yang menyimpang ke
modulasi cantik. Rindu rawan Air Laut yang tak mungkin
dilupakan. Dan, ya, si nona saya minta carikan lagu di antara
masyrik dan magrib ini yang sanggup mengalahkan Stambul Burung
Tekukur. Si Tekukur ini pantaslah kita namakan paramalagu. Asal
dipilih biduannya yang betul. Misalnya Isnarti atau Masnun.
SOMBONG DAN SOK
Tapi si jiwa manis sudah tidak mau main banding-bandingan ini.
Keroncong jangan terlalu dikupas, katanya. Otak kita ini,
katanya, kalau terlalu sombong dan sok, kerjanya cuma akan
menutup hati saja. Padahal keroncong ini pukul rata bukan
bikinan orang-orang sok yang banyak muncul dalam seminar dan
majalah musik. Apalagi di zaman dulu. Banyak di antara mereka
itu dulu rupanya berstatus gelandangan dan sinyo dan buaya.
Ungkapan katanya boleh saja disebut kampungan atau mbeling. Tapi
bagi hatinya, tidak ada nona yang tidak manis, tidak ada jiwa
yang tidak manis, tidak ada indung yang tidak sayang, apapun
perbuatan makhluk-makhluk manis disayang itu. Bahasa mereka bisa
saja disingkirkan, tapi pesona melodi mereka tidak akan pernah
pudar. Pesona yang tidak pernah meninggalkan alam jelita kirana,
sungguhpun dirundung dukacita yang sangat.
Bagi orang-orang sederhana itu dunia mutakhir hanyalah apa yang
kebetulan lewat saja, dan itupun ditanggapinya dengan murah
hati. Vliegmachine nona manis kapallah udara Bangun mendusin
nona mendengar suara (Telemoyo, dan dengan ubahan pada
Muritsku). Selebihnya, pantun dan seloka mereka cukuplah
menggambarkan suka-duka dan isi lingkungan mereka sendiri. Ada
buah kedondong (Telemoyo), jeruk manis (Stambul Jampang),
ketupat (Muritsku), kitiran (Bayang-Bayang), sumur (Panjang
Umur), sarang tawon (Cenderawasih Terbang Tinggi), kayu api dan
sapu lidi. Anak kepiting dan rujak mangga dan kartu ceki
bersahutan dalam Ole-Ole Bandung. Semua itu tentu saja masih ada
dalam lingkungan kita, cuma tidak lagi dalam nyanyian model
sekarang. Kalaupun melodi lama yang diambil, maka naskahnya
dipermak begitu rupa sehingga sesuai dengan selera 'orang
baik-baik' di dalam villa. Tapi itu biasa denan mutiara yang
diangkat dari bale-bale dan pindah ke sofa. Ya ya, Ibaratnya
dunia berputar seperti roda. Apalagi yang naskahnya mbeling.
Coba dengar "Batavia Stamboul" ini yang berasal dari nenek
moyang kita: Kuda kecil kuda kereta, kuda besar ya punya
tunggangan. Masih kecil bermain mata, sudah besar ya jadi
tunggangan. Dalam bentuk begini pasti akan dilarang masuk TV,
bukan? Untung lah kemarin ini nona-nona manis dari Lingga
Binangkit cuma bunyi a-a-a-a saja. Kalau naskah dulunya dipakai,
bunyinya bakal begini: Saya kira anaknya pangran. Tidak tahunya
nona manis anaknya papih. Saya kirain si nona manis main-mainan.
Tidak tahunya si nona manis sakitlah hati. Demikianlah lagu
"Bintang Surabaya" yang kata nona manis di TVRI ke marin ini
"lagu zaman perjuangan". Iya deh . . . !
MAS HUGENG
Perkara cinta-salah-wesel di atas juga ada dalam "Keroncong
Selendang Mayang". Na, ini onak-duri buat Mas Antor Moeliono,
tapi mestinya santapan buat gerombolan Mas Hu geng: Ular naga is
een grote slang een anjelier is een mooi plant. Sudah lama dat
ik naar jou verlang. Sayang sedikit hi is mijn bloedverwant.
Jadi sama rancunya dengan bahasa segala tuan besar sekarang.
Gado-gado berikut berasal dari "Keroncong Melayang": Ai! Sampai
bayangan tuan kusangkalah dia Sanatogen obatlah panasnya! Hij
heeft mij bedrogen tuan selama-lamanya! Kalau tengku Bram Aceh
kurang berani menyanyikannya, bisalah diundang grand old man
kita, Oom Tan Ceng Bok. Jangan lupa, oom Tan ini buaya asli, the
las of the great buayas. Paling tidak beliaukan boleh nyanyi
"Keroncong Maneschijn", dan yang paling hebat, "Stambul Nasib
Penyanyi".
Nasib penyanyi keroncong? Nasib keroncong? Saat ini sedang
gawat. Musik-musik lain sedang menggebu-gebu di udara, baik
udara Pemerintah maupun udara khalayak. Apalagi kalau acara
musik diserahkan kepada buaya-buaya baru: perusahaan kaset. Di
situ kaum belia yang mampu berkeroncong pun disuruh berdangdut
semua. Kita ingat bahwa kedudukan keroncong tidak selamanya
demikian. Pada masa jaya jayanya - ialah zaman Jepang--musik pop
('langgam') tidak pernah mampu menindih keroncong Di antara yang
paling berjasa ialah Orkes Keroncong Studio Jakarta. Di bawah
pemimpinnya, M. Sagi, keroncong menjadi rancak, merangsan dan
berwibawa. Bisa bernyanyi bersama orkes Sagi dianggap sebagai
kehormatan oleh segala biduan tenar, termasuk yang bukan juru
keroncong: Netty, Kustiyati, Rum, Annie Landouw, Ribut Rawit,
Lily Marie, Heriyati, Mardjo Kahar, Sal Saulius, Rowetty,
Mathovani dan lainnya.
Kemudian keroncong menurun, dan sedihnya, Sagi sendirilah yang
mengawalinya. Tidak ada 'keroncqng pop' yang dapat menghilangkan
kesan bahwa keroncong sedang mengidap lesu darah. Orkes
keroncong yang baik--misalnya "Dian Irama" dengan pimpinan
Wiromo - tidak dikenal dan tidak mendapat pengakuan. Kesan umum
ialah bahwa keroncong sekarang menjadi sarang kaum pengisap
darah yang tidak punya semangat, daya cipta, kesegaran dan
keterampilan. Di situ misalnya berkumpul para pembiola malas
yang hanya bisa mimpi kecemerlangan Sagi Pemusik-pemusik kita
yang terbaik menjauhinya, dan hanya mengurusinya kalau sedang
iseng kepingin nyeleweng sebentar.
Keroncong tentu tidak bisa mati dengan sendirinya. Tak ada musik
yang begitu. Dia hanya bisa dibunuh. Keroncong juga bukan
manikam yang sudah menjadi sekam. Kalau disuruh jadi sekam dan
masuk liang lahad, bisa. Dan kalau dibangkitkan kembali, ya
tentu bisa juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini