MESKI terlambat dari rencana, jalan-jalan raya di kawasan
Kalimantan Selatan telah ditunggu rambu-rambu yang tampak
mulus-mulus. Tak kurang dari 612 berjejer sepanjang jalan raya
Banjarmasin-Hulu Sungai dan Banjarmasin-Pelaihari. Ini merupakan
usaha pihak LLAJR tentu untuk memperkecil jumlah kecelakaan
lalu-lintas yang belakangan semakin meningkat. Tapi tidak cuma
rambu-rambu saja. Pertengahan Nopember lalu drs Herdjan Kenasin
yang mewakili Dirjen Perhubungan Darat meresmikan pemakaian
kantor baru LLAJR wilayah Kalsel dan jembatan timbang. Kantor
itu cukup bagus, terletak di Km 3,5 jalan A. Yani Banjarmasin.
Sedangkan jembatan timbang bukan saja mulus dan permanen,
letaknya pun amat tampan. Yaitu di Km 19 dekat simpang Liang
Anggang. Jadi baik mobil muatan yang datang dari jurusan Hulu
Sungai maupun Pelaihari pasti terjebak ke situ. Tak kurang dari
Rp 50.011.000 biaya terguyur untuk tiga proyek di atas. Alhasil
petugas-petugas LLAJR yang berseragam putih dan berpet hitam
hari itu tampak bergairah dan berseri-seri juga.
Lapik
Tapi tak semudah itu mewujudkannya. Untuk tanah tempat
bercokolnya kantor misalnya. Di dalam DIP memang tertera luas
tanah 1000 meter persegi. Tapi justru biayanya ternyata tidak
tercantum. Gelagapan juga jadinya Iskandar Hoed, kepala LLAJR
Kalsel, yang merangkap pimpinan proyek, memecahkannya. Beruntung
gubernur Subarjo turun tangan, menunjuk tanah di Km 3,5 untuk
tempat berdirinya kantor. Malah luasnya melebihi dari yang
diharapkan. Tentu saja pemda propinsi sibuk menggusur 40 buah
rumah liar hingga memerlukan waktu 6 bulan. "Seharusnya proyek
selesai 6 Maret, tapi baru 6 Mei terwujud", lapor Iskandar Hoed.
Begitupun jembatan timbang menemui biang kesulitan, berupa
pembebasan tanah dari penduduk dan penentuan garis sempadan.
Yang terasa penting seperti apa yang dikatakan Herdjan:
"Jembatan timbang bukan hanya berfungsi untuk menimbang
kendaraan dan muatan bagi pemakai jalan raya, tetapi juga
berfungsi mendidik para pemakai jalan agar selalu jujur dan
berdisiplin". Melirik kepada petugas-petugas LLAJR di dekatnya,
Herdjan melanjutkan: "tetapi disiplin tidak mungkin bisa
ditrapkan dan berhasil dilaksanakan, kalau petugas-petugas LLAJR
yang menjaga dan menanganinya tidak jujur dan berdisiplin".
Menurut Herdjan jalan raya di Kalsel baru 22,06 persen yang
ditatar dan direhabilitir. Selebihnya masih dalam keadaan rusak.
Jalan-jalan yang dibangun sejak zaman penjajahan kondisinya jauh
tidak sesuai dengan arus lalu lintas yang terus membaik. Tambal
sulam antara perbaikan dan kerusakan saling berlomba saja
tampaknya. Truk-truk dengan muatan yang tak jarang jauh di batas
maksimum turut mempercepat dan menjadi biang kerusakan. "Untuk
itulah diperlukan jembatan timbang", ucap Herdjan.
Sekarang Herdjan telah kembali ke Jakarta, sementara kesibukan
bertimbang-timbang berlangsung di Km 19. Lalu bagaimana, apakah
harapan Herdjan sudah terpenuhi? Beberapa sopir yang sempat
dibiisiki menjawab dengan nada apatis: "Petugas itu tambah
streng memang. Tapi perkara itu tetap saja. Lapik masih perlu
diselipkan, kalau kita mau lancar". Yang seorang lagi memberi
komentar: "Malah bertambah parah. Lebih-lebih kalau mobil
pribadi, habis diganyang tak ampun-ampun". Salah sendiri,
mengapa para sopir memuati melebihi timbangan yang ditentukan.
"Mana bisa. Kalau dimuat pas atau kurang, toh ada cegatan juga.
Tiap cegatan berarti uang. Dari pada dicegat-cegat dan uang
juga, baik dilebihi sama sekali", jawab si sopir.
Cerita klassik yang sudah membudaya begini kenyataannya masih
bertahan dengan langgengnya. Cobalah dengar deru truk-truk Hulu
Sungai yang tengah malam bertolak dari Hulu Sungai, menjelang
subuh tiba di Banjarmasin. Selain dari menghindari arus lalu
lintas yang padat, adalah juga menghindari banyaknya cegatan
itu. Suatu masa memang pos liar itu sepi karena ada
tegoran-tegoran, tapi sebentar kemudian kambuh lagi. Jadinya
sarana-sarana yang mulus-mulus itu rada-rada buram juga. Persis
seperti wanti-wahti Herdjan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini