Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Yang Mulus Dan Buram

Kantor baru llajr wilayah kalimantan selatan dan jembatan timbang dibangun di banjarmasin. Kondisi jalan tidak seimbang dengan arus lalu lintas. Kehadiran llajr belum dirasa memecahkan masalah. (dh)

18 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI terlambat dari rencana, jalan-jalan raya di kawasan Kalimantan Selatan telah ditunggu rambu-rambu yang tampak mulus-mulus. Tak kurang dari 612 berjejer sepanjang jalan raya Banjarmasin-Hulu Sungai dan Banjarmasin-Pelaihari. Ini merupakan usaha pihak LLAJR tentu untuk memperkecil jumlah kecelakaan lalu-lintas yang belakangan semakin meningkat. Tapi tidak cuma rambu-rambu saja. Pertengahan Nopember lalu drs Herdjan Kenasin yang mewakili Dirjen Perhubungan Darat meresmikan pemakaian kantor baru LLAJR wilayah Kalsel dan jembatan timbang. Kantor itu cukup bagus, terletak di Km 3,5 jalan A. Yani Banjarmasin. Sedangkan jembatan timbang bukan saja mulus dan permanen, letaknya pun amat tampan. Yaitu di Km 19 dekat simpang Liang Anggang. Jadi baik mobil muatan yang datang dari jurusan Hulu Sungai maupun Pelaihari pasti terjebak ke situ. Tak kurang dari Rp 50.011.000 biaya terguyur untuk tiga proyek di atas. Alhasil petugas-petugas LLAJR yang berseragam putih dan berpet hitam hari itu tampak bergairah dan berseri-seri juga. Lapik Tapi tak semudah itu mewujudkannya. Untuk tanah tempat bercokolnya kantor misalnya. Di dalam DIP memang tertera luas tanah 1000 meter persegi. Tapi justru biayanya ternyata tidak tercantum. Gelagapan juga jadinya Iskandar Hoed, kepala LLAJR Kalsel, yang merangkap pimpinan proyek, memecahkannya. Beruntung gubernur Subarjo turun tangan, menunjuk tanah di Km 3,5 untuk tempat berdirinya kantor. Malah luasnya melebihi dari yang diharapkan. Tentu saja pemda propinsi sibuk menggusur 40 buah rumah liar hingga memerlukan waktu 6 bulan. "Seharusnya proyek selesai 6 Maret, tapi baru 6 Mei terwujud", lapor Iskandar Hoed. Begitupun jembatan timbang menemui biang kesulitan, berupa pembebasan tanah dari penduduk dan penentuan garis sempadan. Yang terasa penting seperti apa yang dikatakan Herdjan: "Jembatan timbang bukan hanya berfungsi untuk menimbang kendaraan dan muatan bagi pemakai jalan raya, tetapi juga berfungsi mendidik para pemakai jalan agar selalu jujur dan berdisiplin". Melirik kepada petugas-petugas LLAJR di dekatnya, Herdjan melanjutkan: "tetapi disiplin tidak mungkin bisa ditrapkan dan berhasil dilaksanakan, kalau petugas-petugas LLAJR yang menjaga dan menanganinya tidak jujur dan berdisiplin". Menurut Herdjan jalan raya di Kalsel baru 22,06 persen yang ditatar dan direhabilitir. Selebihnya masih dalam keadaan rusak. Jalan-jalan yang dibangun sejak zaman penjajahan kondisinya jauh tidak sesuai dengan arus lalu lintas yang terus membaik. Tambal sulam antara perbaikan dan kerusakan saling berlomba saja tampaknya. Truk-truk dengan muatan yang tak jarang jauh di batas maksimum turut mempercepat dan menjadi biang kerusakan. "Untuk itulah diperlukan jembatan timbang", ucap Herdjan. Sekarang Herdjan telah kembali ke Jakarta, sementara kesibukan bertimbang-timbang berlangsung di Km 19. Lalu bagaimana, apakah harapan Herdjan sudah terpenuhi? Beberapa sopir yang sempat dibiisiki menjawab dengan nada apatis: "Petugas itu tambah streng memang. Tapi perkara itu tetap saja. Lapik masih perlu diselipkan, kalau kita mau lancar". Yang seorang lagi memberi komentar: "Malah bertambah parah. Lebih-lebih kalau mobil pribadi, habis diganyang tak ampun-ampun". Salah sendiri, mengapa para sopir memuati melebihi timbangan yang ditentukan. "Mana bisa. Kalau dimuat pas atau kurang, toh ada cegatan juga. Tiap cegatan berarti uang. Dari pada dicegat-cegat dan uang juga, baik dilebihi sama sekali", jawab si sopir. Cerita klassik yang sudah membudaya begini kenyataannya masih bertahan dengan langgengnya. Cobalah dengar deru truk-truk Hulu Sungai yang tengah malam bertolak dari Hulu Sungai, menjelang subuh tiba di Banjarmasin. Selain dari menghindari arus lalu lintas yang padat, adalah juga menghindari banyaknya cegatan itu. Suatu masa memang pos liar itu sepi karena ada tegoran-tegoran, tapi sebentar kemudian kambuh lagi. Jadinya sarana-sarana yang mulus-mulus itu rada-rada buram juga. Persis seperti wanti-wahti Herdjan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus