Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Media sosial memicu turunnya demokrasi.
Presiden tak lagi sowan ke kantor media, tapi mengundang pegiat medsos.
Politik tak bekerja dalam ranah kebenaran.
KITA memasuki era kemerosotan besar. Era ini ditandai pertama-tama oleh digantikannya peran pengalaman sosial oleh performa dan citra mediatik. Era ketika relasi antarmanusia, kedalaman pengetahuan, dan refleksi intelektual sudah tidak dianggap berguna lagi. Orang kini lebih memandang penting keterlibatan instan di dalam simpul-simpul algoritma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uniknya, gelombang kemerosotan ini menyelinap secara paradoksal dalam kemewahan dan kerumitan teknologi informasi, digitalisasi, dan politik media baru. Diam-diam mereka pula yang memberikan jalan lapang bagi melenggangnya populisme, baik di Barat maupun di Timur. Bukan kebetulan pula jika menguatnya populisme di dunia juga berbarengan dengan membesarnya media sosial (Sven Engesser dkk, 2017).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekstremitasnya mengkristal dalam figur seperti Donald Trump, Presiden Amerika Serikat pertama yang memecat menteri sekretaris negaranya via percakapan di Twitter. Sementara itu, di Asia, era ini bersemi bersama rontoknya kosmopolitanisme, menipisnya kebebasan sipil, merangkak naiknya rezim-rezim otoritarian baru, anti-elitisme, dan serangan kepada media publik.
Era kemerosotan ini diantisipasi secara lugas pertama kali oleh Adolfo Nicolas, ahli pendidikan Jesuit. Dia menyebut gejala ini dengan istilah “globalisasi kedangkalan”. Menurut dia, kita memasuki sebuah era ketika relasi antarmanusia kini secara perlahan makin dibasiskan oleh kombinasi maut teknologi informasi dan budaya materialistis. Membeludaknya alternatif dan kemudahan dalam keterlibatan di dalam teknologi informasi justru telah membuat kita gagap dalam membangun relasi berkomunitas yang sejati.
Relasi ini menghasilkan suatu keadaan ketika yang berpengalaman paling banyak justru mendapat yang paling sedikit. Ironi ini ditunjukkan dalam perkara ketika kita demikian mudah “berteman” (friend) dengan orang yang sama sekali baru kita kenal, tapi pada saat yang sama kita bisa dengan mudah memutus (unfriend) dan berseberangan dengan teman yang punya relasi sosial panjang. Persahabatan dan permusuhan terjadi tanpa relasi dan konfrontasi langsung. Basis pengalaman dan relasi sosial kita disandarkan pada percakapan dan interaksi avataristik.
Globalisasi kedangkalan menggarisbawahi kecurigaan yang selama ini telah tumbuh dan membesar mengenai peran media sosial. Media sosial dulu—setidaknya setelah Musim Semi Arab, gelombang revolusi di dunia Arab—digadang-gadang sebagai tiang baru pemberdayaan politik, demokratisasi, dan medium untuk mengaktifkan warga dalam keterlibatan sosial. Namun kini bukti-bukti makin menunjukkan melebarnya destruksi yang subtil dari media sosial. Di tangan para sponsor politik, media sosial justru menunda partisipasi. Ia pengganti dan menyamarkan fungsi politik warga dengan trolls dan bots. Ia melahirkan politikus narsis yang kesengsem oleh puja-puji pasukan di media sosialnya sendiri. Dengan itu, media sosial mengaburkan prinsip-prinsip dasar politik: ia mementahkan fungsi kritik yang sebenarnya diperlukan dalam setiap sistem demokratis (Pierre Omidyar, 2018). Media sosial telah menggantikan konfrontasi ide dalam demokrasi dengan status-status pendek narsistik, menjauhkan para politikus dan pengambil kebijakan dari realitas.
Media sosial telanjur dianggap bintang penjurunya kebebasan informasi. Akibatnya, ia diterima dan dipraktikkan secara terberi (taken for granted). Banyak orang menganggap di sanalah tempatnya kebebasan diekspresikan, termasuk mengkritik dan mencemooh kekuasaan. Banyak yang juga berilusi bahwa perubahan sosial politik bisa didorong dari media sosial. Di aras yang lain, para aktivis hak asasi di media sosial bisa mendadak jadi tersangka. Data pribadinya tiba-tiba diumbar oleh akun-akun-akun anonim di media sosial. Di era kini, hubungan sosial di dalam masyarakat makin bersifat superfisial tapi sekaligus makin lebih berisiko.
Media sosial dianggap mendemokratiskan hubungan-hubungan sosial, menghapus hierarki dan sekat sosial serta ekonomi antarmanusia. Warga biasa bisa menyapa para elite dan selebritas serta mendebat langsung orang-orang hebat melalui percakapan-percakapan pendek. Dari sini, muncul semacam bangunan kesetaraan. Namun kesetaraan diskursif ini pada dasarnya palsu dan ilusif karena: pertama, posisi asali pelaku percakapan tidak pernah setara. Untuk membuktikan ketaksetaraan asali ini caranya mudah: tanya saja orang-orang awam yang belakangan ini banyak dipidana dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik karena menyinggung perasaan elite-elite lokal. Dalam soal-soal serius seperti demokrasi dan hak asasi manusia, realitas sosial tidak seramah chat di media sosial.
Kedua, kesamaan percakapan tidak selalu bisa menyamarkan perbedaan dalam kualitas kebenaran: rentetan panjang kuliah-Twitter (kultwit) bermodal Wikipedia tidak pernah bisa menggantikan kualitas sebuah naskah ilmiah. Parahnya, banyak pengambil keputusan kini lebih suka ditimang-timang dengan justifikasi kelas Wikipedia ketimbang menanggapi kritik publik yang serius dan berbobot.
Kesetaraan palsu ini telanjur menghasilkan penyakit baru dalam kehidupan intelektual suatu masyarakat: makin banyak orang yang merasa memiliki otoritas besar dalam bidang-bidang yang sama sekali di luar pengetahuannya. Kebenaran tidak lagi ditentukan oleh pengalaman atau kualitas argumen karena semua orang bisa nimbrung mengatakan apa pun.
Media sosial kini menjadi gudang para “pakar” abal-abal aneka bidang dan aneka cabang ilmu. Di titik ini, praktik media jenis ini memang cocok dengan mental populis karena sama-sama menggerus hierarki dan elitisme dalam percakapan umum. Implikasinya adalah kebenaran ilmiah makin diisolasi dan terpencil dari politik dan kebijakan publik. Politik media sosial merelatifkan semua prosedur kebenaran dan fondasi etis dari politik, tapi diam-diam memutlakkan kekuasaan.
Media sosial jelas bukan sarana yang netral. Seorang filsuf pernah mengatakan mereka yang menguasai alat produksi di suatu zaman akan menguasai gagasan di zaman itu. Adagium lama itu kini makin berlaku di zaman kita. Mereka yang menguasai alat produksi informasi akan menguasai jalannya politik di zaman kita. Pasukan siber, patroli medsos, buzzer, dan media-media anonim tak hanya mengambil alih percakapan publik, merekayasa isu, serta menjustifikasi dan mengecoh pikiran banyak orang, tapi juga menggeser peran institusi dan posisi media publik.
Pada periode awal reformasi, pers sebagai tiang penyangga demokrasi terasa relevansinya. Ada zaman ketika para pejabat, dari menteri hingga presiden, secara rutin sowan ke pemimpin-pemimpin media besar untuk sekadar memperkenalkan kebijakannya. Pada masa kini, presiden dan para pejabat lebih rutin menggelar rapat dengan para “pegiat medsos”. Pergeseran modus dasar industri media secara paralel diikuti dengan perubahan dalam relasi kekuasaan negara dan media. Pada akhirnya, politik kekuasaan menjadi lebih identik dengan propaganda ketimbang berurusan dengan pertanggungjawaban nalar publik.
Sisi positif dari pergeseran ini adalah ia pada akhirnya memprovokasi perubahan dalam relasi antara media dan kekuasaan. Satu-satunya cara agar media publik relevan, terbedakan dengan buzzer, dan bertahan sebagai institusi demokrasi adalah dengan mengambil jarak yang lebih lebar serta kritis terhadap kekuasaan. Kontras antara media publik dan politik media sosial itu jelas dan rigid: yang satu bekerja di dalam prosedur kebenaran, satunya lagi bekerja dalam operasi “pasca-kebenaran”. Karena itu, makin melekat suatu sistem kekuasaan dengan mesin media sosial, makin jauh ia dari prosedur kebenaran.
Tentu tidak semua aktivitas di media sosial sepenuhnya buruk. Seperti namanya, fungsi dasar media sosial (semestinya) membangun relasi sosial. Dengan itu, ia mensyaratkan trust dan ketulusan. Namun industri politik telah mengubah karakter dasarnya, para juragan politik menyelewengkan fungsinya. Ia kini bukan lagi tempat yang sehat dan aman. Lebih jauh, ia justru menghadirkan kemerosotan besar dalam akal budi publik kita.
Kita mesti keluar dari arus kemerosotan ini dengan mengambil sedikit jalan ortodoksi: para aktivis dan kaum intelektual mesti berhenti menjadi aktivis medsos dan kembali menjadi “aktivis lama”, ketika demokrasi diperjuangkan pertama-tama di dalam teori dan tindakan kolektif. Yang kedua, lembaga pers publik mesti memperkuat diri. Di bawah kediktatoran digitalisasi, pers yang kredibel mau tak mau memang mesti bisa hidup dan bergerak dalam arus teknologi sambil memilin aliansi baru dengan dunia privat dan civil society.
Selain itu, salah satu korban lain dari era kemerosotan sebenarnya adalah universitas dan dunia pendidikan. Relativisme kebenaran yang disebar politik media sosial merongrong dan mengencerkan fondasi dasar universitas sebagai rezim pengetahuan dan kebenaran ilmiah. Di titik ini, kaum akademikus mesti lebih ambil peran: memperkuat asosiasi-asosiasi independen dan meningkatkan produksi pengetahuan untuk mempertahankan nalar publik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo