Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada sebuah cerita—fiktif tentu—dari sebuah kerajaan di tanah tinggi Dakkhana, di barat daya India, di abad pertama Masehi, tentang Subhrata. Ia anak lelaki berumur 15 tahun yang merawat seekor kuda putih berbintik-bintik hitam, yang, sebagaimana keharusan agama, dipersiapkan untuk upacara korban Aśvamedha. Kuda itu diberi nama Agnisakha, “angin api”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun Baginda Satakarni I, raja ke-3 dari dinasti Satavahana, berniat menyelenggarakan upacara korban besar itu seperti Yudhistira melakukannya menurut kitab Aswamedha Parwa. Dan ketika bintang-bintang menentukan saatnya, para pendeta pun melepas Agnisakha ke luar batas kerajaan, untuk berjalan ke arah mana saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi di tiap tempat ia berhenti akan ditegakkan batas wilayah baru kerajaan. Dan Rg Veda dikutip:
Dengan tangan Indra dan semua dewa
Akan kita buat dunia yang terbentang ini hamba-sahaya
Upacara korban ini bukan hanya upacara agama, tentu. Beberapa pal di belakang Agnisakha berbaris pasukan terpilih yang siap memaksakan klaim Baginda Satakarni atas negeri yang didatangi kuda itu, dan akan mengalahkan siapa pun yang menampik.
Syahdan, selama itu, Subhrata mengiringi Agnisakha. Itu tugas kerajaan yang menyenangkan hatinya, sebab ia dan kuda yang selama 23 bulan dirawatnya itu telah menjadi sahabat yang akrab. Anak itu akan membisikkan kalimat yang manis bila Agnisakha lelah, dan menenteramkannya bila resah. Ia akan membasuh tubuhnya yang berkeringat dan menyiramkan air sungai yang sejuk. Bila terjadi pertempuran, ia akan melindunginya dari panah yang sesat dengan perisai dan timbunan ranting pohon. Di malam hari, Subhrata akan tidur di samping tempat Agnisakha ditambatkan. Sebelum mata terpejam, pelan-pelan ia akan mengulang ke kuping sahabatnya kata-kata dalam Śatapatha Brāhmaņa:
Musim panas adalah musim ksatria,
Dan Aśvamedha adalah upacaranya
Beberapa bulan lamanya Agnisakha berjalan, beberapa puluh wilayah ditaklukkan. Pada bulan ke-18, datanglah titah Raja agar rombongan pulang. Para peramal bintang melihat, telah tiba saat tahap penutup upacara Aśvamedha dimulai di ibu kota kerajaan.
Subhrata bersukacita. Ia akan kembali ke desanya dan bisa berkisah tentang negeri-negeri yang dilihatnya selama mengikuti pengembaraan Agnisakha, menjumpai buah dan makanan yang berbeda, nyanyian lokal dari tempat ke tempat yang direbut pasukan Baginda Satakarni. Ia merasa kaya dengan kenangan; ia telah bersua dengan manusia dan bahasa yang berlainan, telah mendengar jerit kesakitan dan tawa bangga dari perang dan kemenangan.
Tapi Subhrata, dalam usia remaja itu, belum tahu apa yang digariskan dalam teks lengkap Aswamedha Parwa.
Ia tak tahu bahwa ketika Agnisakha kembali ke ibu kota, akan ada enam tiang pancang yang ditutup kain kerajaan yang cemerlang, didasari bata-bata emas. Ke sanalah kuda itu akan ditambatkan di antara ratusan hewan lain. Di sanalah upacara berpusat.
Upacara itu khidmat, dan buas. Hewan-hewan yang diikat itu dibantai segera. Kecuali Agnisakha. Sebab sebuah pembunuhan yang lebih spektakuler menanti sahabat Subhrata itu.
Pada saat yang ditentukan Baginda Ratu datang. Dengan cat merah ia memberi tanda ke tubuh kuda yang gagah itu di tiga tempat. Di sanalah pedang yang tajam kemudian ditetakkan. Agnisakha dipotong. Dan para bangsawan dan pendeta yang hadir membayangkan mereka tengah mengikuti sebuah peristiwa Mahabharata: seakan-akan pelbagai suku Apshara menari dan para Gandarva menyanyi.
Dan tentu saja Agnisakha tak ada lagi.
Yang kelihatan: Sri Ratu duduk di dekat mayat kuda yang telah jadi tiga potong itu, di antara darah yang masih mengalir. Tak lama lagi daging hewan itu pun dimasak dan disiapkan untuk disantap. Hadirin bergembira.
Akhirnya tulang-belulang Agnisakha dilontarkan ke api unggun oleh 16 pendeta dengan wajah penuh kearifan. Raja pun berdiri dari takhta. Ia menghidu bau dari asap yang menjulang itu—dan itulah akhir upacara: kata kitab suci, di saat itu baginda mendapatkan kekuatan Sakra yang sejati.
Subhrata tak menyaksikan semua itu. Ia terenyak ketika para brahmana memotong Agnisakha. Ia menahan tangis. Akhirnya ia lari dari lapangan yang penuh sesak itu. Ia bahkan tak mau membayangkan tatapan mata yang kesakitan dari teman seperjalanannya.
Apa yang bisa ia lakukan? Ia tak bisa mengalahkan kata-kata suci.
Esok harinya, sebelum orang tuanya terjaga, anak itu meninggalkan rumah, berjalan ke arah yang berlawanan dari arah perjalanan Agnisakha setahun yang lalu. Ia masuk ke hutan di utara gunung.
Orang tua dan teman-teman sedusunnya tak akan pernah menemukannya kembali.
Bertahun-tahun kemudian di tempat itu dijumpai seorang petapa yang menulis sebuah kitab yang nyaris tak bisa dibaca. Hanya ada empat kalimat yang bisa ditebak—yang dalam kata-kata sekarang bisa diartikan seperti ini:
“Dari saat ke saat, manusia menyembunyikan keserakahannya dengan eufemisme. Ia membunuh untuk mendapatkan karunia dewa-dewa. Ia memisahkan diri dari Agnisakha, dari alam dan dongeng, dan meneruskan hidup dengan akal yang cerdik, kalkulasi, dan penaklukan. Dan ia menang—seraya lupa ada yang cedera dalam hidup.
Itulah yang membuatnya sanggup melakukan kekejaman dan tak canggung dalam ketamakan. Di dunia, di surga.”
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo