Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ungkapan bahwa Islam adalah agama yang damai sudah sering terdengar. Selain diutarakan oleh Majelis Ulama Indonesia, juga disuarakan oleh banyak pakar dan pemuka agama serta para pembesar negeri ini. Sayangnya, paduan suara merdu ini sekarang dibuat sumbang oleh ulah sekumpulan orang yang menamakan dirinya Umat Islam Indonesia. Terutama ketika, dengan menggunakan kekerasan, ratusan anggota kelompok ini menggeruduk kampus Ahmadiyah di Parung, Bogor, Jumat dua pekan lalu. Akibatnya, sejumlah orang luka-luka, sebagian bangunan rusak bahkan terbakar, dan polisi harus mengevakuasi para pengikut Ahmadiyah.
Para pemimpin penyerbuan berdalih melakukan tindakan kriminal ini karena MUI telah menyatakan kelompok Ahmadiyah sebagai ajaran sesat melalui sebuah fatwa pada 1980. Jika itu alasannya, mengapa seruan MUI yang menyatakan tidak membenarkan tindakan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah tak dihiraukan? Jelaslah nama umat Islam telah dinodai dan disalahgunakan oleh kelompok penyerbu ini. Karena itu, selain perlu diproses secara hukum karena telah melakukan tindak pidana kekerasan, para pelaku perusakan ini juga perlu dikenai tambahan pasal penodaan terhadap agama.
Perlunya tindakan hukum ini bukan untuk membela ajaran Ahmadiyah. Bahkan fatwa Majelis Ulama Indonesia pada 1980 yang menyatakan ajaran ini sesat pun tak perlu terlalu dipersoalkan. Penafsiran ajaran agama adalah bagian dari dinamika kehidupan umat manusia, dan perbedaan serta keragaman dalam penafsiran adalah sebuah keniscayaan. Yang penting semua olah pikiran dan pendapat itu tetap berada dalam kerangka saling menghormati keyakinan masing-masing. Sebab, hanya dalam iklim seperti ini adu pendapat dapat berjalan sehat dan kebenaran lebih mudah terlihat.
Adapun dalam menghadapi silang sengketa keyakinan beragama ini, polisi disarankan bersandar saja pada hukum yang berlaku. Perbedaan keyakinan bukan masalah hukum, namun tindakan kekerasan terhadap orang lain jelas sebuah perbuatan kriminal. Karena itu, proses hukum harus diterapkan kepada para pelaku kekerasan semata-mata karena tindakannya dan bukan karena keyakinannya.
Di negara demokratis, mereka yang merasa terganggu oleh keyakinan orang lain memang harus mampu menahan diri. Jika merasa orang lain tersesat, silakan menawarkan bantuan untuk kembali ke jalan yang benar, tapi jangan sakit hati jika ditolak. Sebab, kebebasan memeluk keyakinan masing-masing adalah hak konstitusional setiap warga di negeri ini. Jika merasa keadaan ini tak sesuai dengan aspirasi, silakan masuk jalur politik untuk memperjuangkan keadaan yang lebih diinginkan.
Apa boleh buat, demokrasi memang menuntut setiap warga mampu bersikap seperti Voltaire. Pemikir Prancis ini pernah mengatakan, "Aku sama sekali tak setuju dengan pendapatmu, tapi hak kamu untuk berpendapat akan saya bela mati-matian." Maka, silakan saja menganggap Ahmadiyah atau siapa pun tersesat, tapi hak konstitusional mereka untuk secara bebas memilih keyakinannya sendiri tetaplah harus dihormati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo