Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Cas-cis-cus di Sekolah Negeri

Semakin banyak sekolah negeri membuka kelas internasional. Kurikulum dari Cambridge, buku dari Malaysia.

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nadia Zahra mengecap peng—alaman baru dalam menimba ilmu. Gadis 15 tahun bertubuh mungil itu Kamis pekan lalu mulai menjalani masa orientasi siswa di SMA Negeri 68, Salemba, Jakarta Pusat. Di sekolah itu, ia masuk kelas internasional yang baru dibuka.

Ruang kelasnya nyaman berkat pen-di-ngin udara. Suasananya pun tenang lan-taran jumlah siswa hanya 24 orang, separuh dari jumlah siswa di kelas biasa. ”Saya akan lebih berkonsentrasi me--nerima pelajaran,” kata lulusan SMP Al Hikmah, Mampang, Jakarta Selatan itu.

Kelas internasional itu menggunakan kurikulum standar dari Cambridge University di Inggris. ”Tes masuk Juni lalu juga ditetapkan berdasar kualifikasi Cambridge University,” kata Nurhawati Siagian, Wakil Kepala SMA Negeri 68 Bidang Kurikulum.

Membuka kelas internasional, kata Nur-hawati, sudah menjadi kebutuhan- du-nia pendidikan pada era global. Ma-ka, SMA Negeri 68 tak menampik keti-ka Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DKI Jakarta menunjuknya sebagai sa-lah satu sekolah yang diberi kesempat-an membuka kelas internasional.

Sekolah pun harus menata diri. La-boratorium kimia, fisika, biologi, dan komputer memang sudah tersedia, tapi masih perlu penyempurnaan. Laboratorium bahasa Inggris bahkan memerlu-kan perbaikan. ”Peralatannya masih kuno,” kata Nurhawati. Fasilitas lain yang sudah dimiliki: komputer yang di-lengkapi perangkat multimedia.

Guru yang bersertifikat Cambridge University juga belum tersedia. Sambil menyiapkan guru sendiri, untuk se-men-tara mereka menggunakan lima guru dari Universitas Al-Azhar yang memang sudah diakui Cambridge.

Mereka mengajar bahasa Inggris, ma-tematika, fisika, kimia, serta biologi, yang jadi mata pelajaran utama kurikulum Cambridge. ”Mulai 29 Juli 2005, kami mengirim guru-guru dari sekolah kami sendiri ke Cambridge,” kata Nurhawati. Ia optimistis tahun depan proses belajar-mengajar sudah ditangani sendiri.

Menata seluruh fasilitas, termasuk me-latih guru, butuh biaya besar. Sumber dananya, dari mana lagi kalau bukan dari biaya pendidikan Rp 20 juta setiap siswa per tahun. Itu pun ternyata belum cukup. ”Sekolah justru masih disubsidi,” kata Nurhawati.

SMA Negeri 68 cuma satu di antara enam sekolah di Jakarta yang mengadopsi kurikulum Cambridge University. Di Indonesia, pengelolaannya di-lakukan Center for International Edu-cation of Universitas Al-Azhar Indo-nesia (CIE of UAI).

Sesuai dengan kurikulum Cambridge, kegiatan belajar-mengajar bersifat interaktif. Fasilitas kelas harus modern, di-lengkapi proyektor, komputer layar datar, dan TV. Sesekali diadakan jalan-jalan untuk pengenalan lingku-ng-an dan analisis proyek.

Kegiatan belajar-mengajar berlangsung Senin hingga Kamis, pukul 07.00-16.15. Selain kurikulum impor dari Cam-bridge, kurikulum nasional juga di-pakai untuk pelajaran pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, agama, dan olahraga.

Di SMA 70 Jakarta, yang juga membuka kelas internasional, pelajaran berdasar kurikulum nasional disampaikan guru setempat. Sedangkan kurikulum Cambridge diajarkan oleh guru khusus. ”Saat ini, dari 11 guru yang mengajar kelas internasional, se-orang di antara-nya guru SMA 70,” kata Kenny Iwani Surya Putri, yang bekerja di Sekretariat CIE of UAI SMA 70 Jakarta.

Dibandingkan dengan kelas reguler, biaya untuk mengecap kelas internasional tergolong supermahal. Uang masuk saja Rp 5 juta. Uang buku dan iuran pendidikan Rp 24,5 juta per tahun. Buku sesuai dengan kurikulum Cam-bridge didatangkan dari Malaysia. ”Di Indonesia belum ada,” kata Kenny. Masih ada biaya untuk membeli soal ujian 350 poundsterling. Setahun berlangsung dua kali ujian.

Nun jauh di Yogyakarta, SMA Ne-geri 1 juga tak mau kalah membuka kelas internasional. Tenaga guru, selain guru lokal, direkrut dari para alumni yang sudah punya pengalaman pendidikan di luar negeri. Guru asing baru se---orang, dari Amerika, mengajar bah-asa Inggris.

Siswa yang lulus dari kelas internasional memegang sertifikat dari Cambridge International Examination. ”Pemegang sertifikat ini berhak melanjutkan studi di luar negeri yang masih dalam jaringan Cambridge,” kata -An-dar Rujito, Ketua Program Inter-nasional SMA Negeri 1 Yogyakarta.

Di sekolah itu, bahasa pengantar pe-lajaran adalah bahasa Inggris. Tapi ada ketentuan, setiap Sabtu, komunikasi antar-teman maupun dengan guru harus memakai bahasa Jawa. ”Agar siswa tidak tercerabut dari akar budayanya sesuai dengan visi SMA ini,” ujar Andar.

Hebatnya, biaya kelas internasional- di sana bisa ditekan murah. Uang se-kolah Rp 225 ribu per bulan, serta uang gedung Rp 2 juta, dipungut saat men-daftar. ”Peluang melanjutkan pendidikan di luar negeri jauh lebih besar melalui kelas internasional,” kata Mutia Sani, yang kini sudah di tahun kedua kelas internasional SMA Negeri 1 Yogyakarta.

SMA Negeri 5 Surabaya tahun ini juga membuka kelas internasional de-ngan nama Sekolah Nasional Berta-raf Internasional (SNBI). Lulusannya men-dapat dua ijazah bertaraf nasional dan internasional. ”Bagi mereka yang me—lanjutkan sekolah di luar negeri, tak perlu lagi mengikuti matrikulasi (kelas pra-universitas),” kata Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Clara Sri Sudarmi.

Siswa yang masuk sebanyak 24 orang merupakan hasil saringan dari 100 peminat, dengan persyaratan skor bahasa Inggris (TOEFL) minimum 400. ”Semua siswa, skor TOEFL-nya di atas 450. Bahkan ada delapan siswa yang TOEFL-nya 500 hingga 543,” kata Clara kepada Sunudyantoro dari Tempo.

Tenaga guru yang dibutuhkan 10 orang. Dua di antaranya direkrut dari Institut Teknologi Bandung sebagai peng-ajar kimia. Sisanya diisi sendiri setelah mendapat pelatihan di berbagai negara. ”Guru matematika mendapat pendidikan di Filipina,” ujar Clara.

Dua sekolah unggulan di Denpasar, SMA Negeri 1 dan SMA Negeri 4, juga siap membuka kelas internasional. ”Ruangan sudah kami siapkan untuk 25 orang murid,” kata Made Tumbuh, Kepala SMA Negeri 1, kepada Rilla Nugraheni dari Tempo. Ia optimistis Ok-tober mendatang kelas ini sudah bisa jalan. Fasilitas sudah disiapkan sejak tahun lalu. Tenaga guru diperkira-kan tak akan jadi hambatan karena semua guru di sekolah ini memang diwajibkan bisa berbahasa Inggris.

Serupa tapi tak sama, di Jawa Tengah ada yang disebut kelas imersi (immersion class). SMA Negeri 2 Semarang adalah satu di antara sembilan SMA negeri yang menjalankan program ini dan sudah memasuki tahun kedua.

Namun, di sekolah ini tak semua pelajaran disampaikan dalam bahasa Inggris. Hanya matematika, fisika, kimia, ekonomi, sejarah, biologi, geografi, dan tentunya pelajaran bahasa Inggris. ”Kendala utama kelas imersi terletak pada penguasaan bahasa Inggris,” kata Sutji Aryani, Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Semarang, kepada Sohirin dari Tempo.

Demam kelas internasional agaknya akan meluas. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional sudah menampung proposal dari 87 SMA negeri di 17 provinsi yang juga ingin mem-buka kelas internasional.

Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional, Dodi Nandika, me-ngatakan maraknya sekolah membuka kelas internasional merupakan langkah memacu kompetisi di dunia interna-sional. ”Agar bisa berkompetisi secara global, mutlak diperlukan networking. Sebab, di era kompetisi, termasuk dalam dunia pendidikan, (hal itu) tidak bisa dilakukan sendirian,” ujarnya.

Dibukanya kelas internasional juga merupakan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Berafiliasi dengan lembaga pendidikan yang ber-kualitas di luar negeri diharapkan membuka peluang kesetaraan, termasuk pengakuan terhadap lulusan sekolah Indonesia. ”Melalui kemitraan, tercipta kurikulum yang bersifat kolaboratif,” kata Dodi.

Bagaimana kualitas kelas internasional di sekolah negeri dibandingkan de-ngan di sekolah swasta? Masih perlu di-uji, karena kelas serupa di swasta sudah berjalan lebih dulu. Saat ini ada 16 sekolah swasta yang disebut sekolah nasional plus. Mereka tersebar di ber--bagai daerah, mulai Jakarta hingga Bali.

Di Pulau Dewata, misalnya, ada Taman Rama School. Sekolah ini dikelola Yayasan Taman Mahatma Gandhi. Sama-sama mengacu pada kurikulum Cambridge, sekolah ini menjadi re-butan siswa berotak encer. Program pendidi-kannya tertata rapi. Fasilitas serba lengkap. Didukung guru berkuali-tas, karena memiliki latar belakang sesuai dengan subyek yang diajarkan. Mereka berasal dari Kanada, Australia, Selandia Baru, India, dan Inggris.

Taman Rama menyediakan pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas. Jumlah siswa seluruhnya 1.200 orang. ”Agar anak kita benar-benar matang dan ber-kualitas, pendidikannya harus bagus sejak tingkat terendah. Tak cukup kalau baru dimulai di tingkat SMA,” kata Venerdi Tanaya, salah seorang wali murid.

Itu sebabnya, tak mudah bagi siswa pindahan masuk ke sekolah ini pada level setingkat SMP atau SMA. ”Siswa pindahan dari luar kami batasi lewat tes. Orang tuanya pun kita ajak bicara,” kata Rajeev Sing, Direktur O Level Section.

Jalil Hakim, Mawar Kusuma (Jakarta), Heru C.N. (Yogyakarta), Rofiqi Hasan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus