PINTU gerbang Bali di ujung barat ini perkembangannya cukup
pesat juga. Sebelum tahun 1975 statusnya sebagai Banjar Dinas,
artinya merupakan wilayah dari Desa Melaya yang jaraknya 17 km.
Jadi kalau penduduk di kota pelabuhan yang agak ramai ini
mencari tanda tangan kepala desa, harus ke tempat sepi lagi yang
jaraknya sepanjang itu. Padahal di Gilimanuk sudah ada sub-sub
dinas tertentu, seperti Kejaksaan, Polisi, Pos dan lainnya.
Artinya satu-satunya Banjar Dinas yang begitu banyak ada kantor
pemerintah.
DPRD Bali tahun 1975 melibatkan Banjar ini ke meja sidang yang
cukup berbelit-belit dan lama. Toh, keputusannya sudah seperti
diduga orang. Gilimanuk secara resmi dinaikkan statusnya menjadi
Desa Dinas. Dan sekarang Desa Dinas di ujung barat itu tambah
cerah, tambah ramai, maka orang menyebut-nyebut Gilimanuk
sebagai "kota ke sembilan di Bali". "Untuk itu perlu
perkembangan Gilimanuk diatur matang-matang", kata drs Wedagama
Ketua BAPPEDA Bali yang meninjau desa itu belum lama ini.
Perkembangan Gilimanuk sebenarnya sudah diatur sejak lama oleh
Pemda Kabupaten Jemberan .Tugas ini tidak sulit benar, karena
tanah-tanah di Gilimanuk statusnya tanah negara. Tinggal
mengumumkan kepada rakyat yang banyaknya 4.700 jiwa itu untuk
siap-siap membuat kapling di atas tanah negara 150 Ha.
"Masing-masing kapling luasnya 3,6 are dan sekarang ada 330 buah
kapling", ujar drs Ida Bgs Ardana Sekwilda Jemberana. Pengaturan
yang pagi-pagi ini telah dipersiapkan matang-matang untuk
menghindari perkembangan semerawut seperti kota Denpasar. Namun
celakanya ada 500 orang lebih yang mengajukan tanah perumahan
(kapling) hingga drs Ardana yang sebelumnya menjabat Kasubdit
Pembangunan Kantor Bupati Jemberana menutup permohonan kapling
sejak September tahun lalu. Karena banyaknya pemohon, tentu saja
seleksi diperketat. Maklum tanah negara yang gratis--cuma bayar
uang administrasi. Prioritas diberikan buat warga masyarakat
yang sudah 6 bulan menetap di Gilimanuk. Dan punya pekerjaan
tetap.
Candi Bentar
PJKA di Gilimanuk memang telah membuat Candi Bentar yang
bermotif Bali untuk mengartikan pada pendatang "kamu telah
sampai di Bali". Namun orang Bali sendiri tak merasakan nafas
Bali melihat bangunan besar tinggi yang konon melempas dari
aturan itu. Karena itu pula tugas Kepala Desa Gilimanuk I Gst
Made Berata agaknya cukup berat. Yakni, 'Gilimanuk harus dibuat
bernafaskan Bali'. Bagaimana itu? "Akan kami kerjakan. Rumah
yang akan dibangun dalam kap]ing nanti akan ada ukiran, candi
bentar", kata Made Berata. Kalau ukuran Bali, cuma ukiran atau
candi bentar, barangkali tidak sulit membuatnya. Tapi --dan ini
ternyata penting -- ukiran yang bagaimana dan struktur rumah
yang bagaimana. Apakah diterapkan arsitektur tradisionil Bali
yang dikenal dengan sikut asta bhumi dan asta kosala kosali?
"Tergantung kemampuan masyarakat", ujar Berata.
Nafas Bali sebenarnya telah tercermin dari 725 KK penduduk
Gilimanuk yang beragama Hindu, dengan 2 Desa Adat. Sedang Islam
100 KK dan Kristen 50 KK. Sayangnya, hubungan Gilimanuk -
Banyuwangi demikian dekat. "Air minum saja dibawa dari
Banyuwangi". berkata pemilik warung. Apalagi jajan es, koran,
pilihan pendengar, plastik dan lonte. Nah diapakan lagi
Gilimanuk itu agar bersedia di-Bali-kan? Maka inilah ide
pemerintah Kabupaten Jemberana. Desa pelabuhan yang ditargetkan
sebagai kota ke sembilan di Bali ini, alat pengangkutan dari
pelabuhan ke terminal bus dipakai dokar berkuda. Barangkali
karena itu terminal dibuat 1 km dari pelabuhan, dengan alam yang
indah, bukit yang rnembentengi teluk permai itu. Diharapkan
nanti, orang yang turun dari fery langsung naik dokar, berjalan
1 km menyaksikan perkampungan yang berukir, ber-candi-bentar,
menuju bus. Maka ia sudah merasakan sampai di pulau pariwisata
yang bernama Bali. Itu maunya, kalau yang datang tidak membawa
mobil pribadi atau bus langsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini