"MAUKAH Saudara menjadi budak? Maukah Saudara disuruh-suruh seperti seekor anjing?" Pertanyaan ini memang bukan pertanyaan hari ini. Ia seakan-akan hanya gema dari dalam arsip dan koran-koran lama di museum. Pada tahun 1919, koran Oetoesan Hindia yang penuh api perjuangan buruh mencantumkannya dalam sebuah "iklan" yang penuh sarkasme. John Ingleson mengutipnya dalam bukunya In Search of Justice, sebuah sejarah gerakan buruh di Indonesia di zaman kolonial antara 1908 dan l926. Waktu berubah, orang jadi tua dan mati. Indonesia merdeka dan lebih makmur, tapi pertanyaan itu masih sama tajamnya pada tahun 1991 (bukan pada tahun 1919). Sebabnya tentu bukan karena kita tak mau mengganti nasib dan menyelesaikan soal. Di suatu masa ketika sosialisme -- gagasan yang ingin meletakkan kaum buruh di singgasana yang patut itu -- sedang terguncang, kita semua barangkali ingin menyelesaikan soal, tapi jalan penuh onak dan gagasan macet. Sementara itu, sifat dasar pengisapan sama saja. Ada keinginan untuk menekan ongkos produksi, dan salah satu caranya ialah menekan ongkos tenaga kerja. Ada keinginan untuk mendapat keuntungan berlebih dan kemenangan dalam bersaing, dan sebab itu ada sesuatu yang harus ditekan -- dan itu adalah buruh. Pada saat yang sama, ada pelbagai alat penekan dan pembungkam: dari pintu pabrik sampai dengan gerbang penjara. Setiap gerak-gerik yang marah dari kalangan buruh memang mencemaskan kita yang bukan dari kalangan yang celaka itu. Kita teringat para "komunis", dan bahkan kata "buruh" itu saja sudah mengerikan. Kita cemas akan ada perebutan kekuasaan, revolusi, sosialisme, dan sebagainya. Tetapi betulkah perubahan radikal yang dikehendaki buruh? Dalam The Road to Wigan Pier George Orwell menjawab, "Bagi pekerja yang kebanyakan, yang biasanya Tuan temui di tiap kedai minum di malam Minggu, sosialisme tidak berarti banyak selain upah yang lebih baik dan jam kerja yang lebih pendek dan bahwa tak ada orang yang memberi titah ini dan itu." Orwell setengah mencemooh kaum revolusioner yang berbicara atas nama proletariat, yang mau membangun sosialisme dan dengan begitu harus mengubah dunia. Sekarang kita tahu -- setelah dunia tak kunjung berubah oleh revolusi sosialis bahwa barangkali kaum buruh memang tak kepingin -- dan memang tak usah menuntut terlampau banyak dari sejarah. Tetapi apakah "terlalu banyak" itu? Jika seorang wanita yang hamil dipecat dari kerja begitu saja, jika seorang buruh disekap dalam kamar berhari-hari dengan gaji yang nestapa, barangkali sedikit perbaikan nasib saja sudah semacam revolusi yang mengguncangkan sendi dan dengkul para pemilik modal. Apalagi jika si buruh ditekan dari segala penjuru. Apalagi jika kemudian diketahui bahwa ia tak punya pembela apa pun di luar pabriknya: tak ada parlemen, tak ada polisi, tak ada surat kabar, tak ada para rohaniwan, tak ada apa pun kecuali kekuasaan uang majikannya. Dalam posisi itu, bahkan mengeluh pun sebuah subversi, seakan-akan sebuah ancaman dan komplotan usaha meretakkan sebuah sistem. Namun, memang, sebuah keluhan kecil bisa berarti awal demokratisasi. Hak-hak manusia sebenarnya memang lahir bukan karena diberikan oleh Langit, atau oleh texbook dari universitas Barat, melainkan dari keluhan yang mencoba membebaskan diri dari rasa tertekan yang mendalam. Dengan kata lain, oleh kondisi yang kongkret. Dan kita tahu, betapa berbahayanya dengan demikian keluhan yang seperti suara orang terengah-engah itu bila ia diartikan sebagai gejala "demokratisasi", ia bisa menyangkut ke mana-mana. Tapi adakah memang bisa dilepaskan bahwa persoalan buruh adalah pada akhirnya persoalan politik, karena menyangkut hubungan-hubungan kekuasaan di masyarakat luas? Tidak. Tapi jika Tuan cemas kepada "politik", soalnya bisa dikembalikan ke hal yang bersahaja: biarkan keluhan itu didengar, biarkan perbaikan dituntut, dan dengarkan dengan baik mereka yang terisap. Yang akan terjadi kemudian sebuah perkara manusia biasa, bukan benturan kekuasaan dari mana-mana. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini