Mereka mengaku membelot di Australia gara-gara hidup susah di Tim-Tim. Ada insiden kecil sebelum empat pemain sepak bola minta suaka. Siapa dalangnya? Kedubes Portugal bungkam. SEORANG perempuan muda bersimbah air mata di Bandar Udara Komoro, Dili, Timor Timur. Rabu siang pekan lalu, Filamena Jesus Niota, 28 tahun, tak mendapati suaminya dalam pesawat jalur Kupang-Dili yang baru mendarat dan membawa rombongan tim sepak bola Persedil Dili. Fransisco da Silva Gamma, 35 tahun, suami Filamena, adalah satu dari empat atlet sepak bola Persedil yang membelot di Australia. "Kalau saya tahu ia akan tinggal di sana, saya tak mengizinkan dia pergi," ujar istri kedua Gamma ini. Pada zaman kritik pada Tim-Tim telah reda, pembelotan ini terasa agak menyentak. Fransisco Gamma berangkat ke Darwin dari Kupang 18 Mei lalu, bersama 14 rekan dari Summa Football Club, dan beberapa pemain Dili dengan bendera Persedil Dili. Summa FC adalah klub Bank Summa di Dili yang dilatih tujuh pelatih asal Brasil pimpinan Prof. Manuel Neto. Kesebelasan gabungan itu ikut Arafura Sports Festival, untuk memeriahkan ulang tahun Kota Darwin, 18-25 Mei lalu. Tiap tahun, ada saja kontingen Indonesia yang bertanding di kota bagian utara Benua Kanguru itu. Lima anggota ASEAN lain juga hadir, ditambah Hong Kong, North Queensland, dan Papua Nugini. Festival ini mempertandingkan delapan cabang olahraga. Tahun ini, Indonesia juga mengutus atlet tinju dan atletik. Semuanya ada 36 atlet asal Dili yang ikut ke Darwin. Mereka didampingi 13 official, termasuk Bupati Dili Armindo Soarez Mariano dan Wali Kota Dili Dominggos Soarez Koli. Sekjen KONI Pusat Kahpi Suriadiredja juga sempat menengok rombongan di Darwin. Kali ini, Indonesia menduduki peringkat ke-7, dengan 12 emas, 8 perak, dan 6 perunggu. Di cabang sepak bola, Persedil memang ditunjuk KONI Pusat mewakili Indonesia. Pemerintah daerah Dili dan Bank Summa membiayai tim ini. PSSI juga sudah memberi persetujuan, yang ditandatangani Sekjen Nugraha Besoes. Alhasil, semua urusan perizinan beres. Selama di Darwin, rombongan menginap di Asti Motel. Empat hari setelah tiba, Persedil bertanding melawan kesebelasan Darwin Selection dan menang 1-0. Toh meletup insiden kecil di stadion. Lima orang penonton, tampaknya asal Tim-Tim, mengibarkan spanduk bertuliskan Indonesia Out of East Timor, disertai beberapa makian ke alamat kita. Suatu hal yang tak dilarang di sana sekalipun terdengar agak kuno. Urusan baru agak runyam ketika Persedil bertanding melawan Northern Territory Selection, 24 Mei. Sejumlah orang Timor Portugis bikin ulah. Mereka berkumpul di dekat gawang Indonesia. "Lalu, mereka menyanyikan Indonesia Raya yang kata- kata dan iramanya ngawur," cerita Wali Kota Dominggos Soarez, Senin ini di Gedung KONI Pusat Jakarta. Mereka terang-terangan mengarak bendera Fretilin dan UDT, dua partai terlarang di Tim-Tim. Ujungnya, Sang Merah Putih dibakar. Ternyata, demonstrasi ini digerakkan oleh Imanuel Godinho, orang Tim-Tim peranakan Portugal yang menetap di Darwin sejak 1975, dan aktivis Fretilin bernama Gusmao. Petugas keamanan lalu menyeret para perusuh tadi ke luar stadion. Dalam pertandingan itu, Dili kalah 0-1. Cerita pembelotan dimulai ketika Dili bertanding melawan Darwin Brothers, 27 Mei. Kesebelasan lawan adalah gubungan antara pemain Australia dan orang Tim-Tim di Darwin. Bahkan, dua kapten kesebelasan, Fransisco da Silva Gamma dari Dili dan Jose da Silva Gamma dari Darwin Brothers, adalah kakak beradik. Nah, saat itu, dua pemain asal Dili, Joao Pedro Ribeiro, 24 tahun, dan Julio Gonzales Dorego, 25 tahun, ternyata sudah kabur. Menurut Yusuf Lulupuro, 17 tahun, pemain Summa FC, kedua pemain itu pergi setelah diundang makan siang oleh warga Timor di Darwin. Malam hari setelah pertandingan, TV setempat memberitakan: dua pemain bola Tim-Tim minta suaka politik di Kedubes Portugal di Canberra. Esok malamnya, 28 Mei, giliran dua pemain lagi, Fransisco Lam, 18 tahun, dan kapten kesebelasan Fransisco da Silva Gamma, 35 tahun, menghilang dari motel. Sehari setelah itu, Lam tampil di TV setempat diwawancarai oleh gembong Fretilin Alfredo Borges Ferera. Lam mengaku hidup di Dili sulit, dan ia membelot ke Darwin untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Ada dugaan, wawancara ini dimanipulasi karena Lam hanya bisa bicara Tetung, bahasa asli Timor, sementara Alfredo hanya bisa bicara Inggris atau Portugis. Benarkah alasan ekonomi yang jadi penyebab kaburnya empat putra Timor? Pangab Jendral Try Sutrisno menolak. Pangab melihat perginya empat atlet itu hanya untuk urusan reuni keluarga. Mereka tampaknya termakan bujuk rayu anggota Fretilin. Yusuf Lulupuro berkata, Gamma, ayah 13 anak dari dua istri, telah "digelendoti" tiga perempuan cantik dalam jamuan makan dengan warga Timor di Darwin. Pemain bola seperti Gamma bergaji Rp 120 ribu sebulan dari Summa FC. Plus, sejumlah bonus kalau menang bertanding. Gamma juga masih mendapat gaji sebagai pegawai DPRD Tingkat I Dili. Mungkin, ia bisa hidup layak kalau saja tak punya tanggungan sebanyak itu. Di Dili, Gamma hidup di rumah sempit, beratap seng, berdinding pelepah nipah, di atas bantaran sungai yang membelah kota Anak-anaknya terlihat kurus, perutnya buncit, tak terurus. Julio Gonzales Dorego adalah pegawai Departemen Penerangan Kanwil Tim-tim, berpangkat 2-A. Ayah seorang bayi berusia tiga bulan ini harus menghidupi istri dan tujuh orang adiknya. Mungkin, karena soal ekonomi ini pula, ia kena jaring di Darwin. "Suami saya sebelumnya tak pernah cerita akan membelot," ujar Ana Fernandes. Joao Pedro Ribeiro adalah anak kedua dari Montal Wao dan Moita Desanto. Ayah Joao, anggota Fretilin, tewas kena tembak pada tahun 1977. Sebelum bergabung dengan Summa FC, Joao pernah terlibat demonstrasi anti-pemerintah RI, dan ia sudah lama dikenal sebagai aktivis perusuh. Ia juga ikut demonstrasi ketika anggota parlemen AS datang ke Tim-Tim. "Kami kehilangan dia. Dia adalah pengganti Ayah," ujar Rita Ribeiro, 20 tahun, adik Joao. Menurut Bupati Dili Armindo Soarez Armindo, saat ini di Darwin ada sekitar 10 ribu orang Timor. Mereka terdiri dari tiga kelompok: Pertama, orang Portugis Timor. Kedua, anak-anak Fretilin yang menamakan diri klub "Lafaig" -- yang berarti buaya. Kelompok "buaya" ini dipimpin Alfredo Borges Ferera, tokoh garis keras yang mewawancarai anak Summa FC yang membelot tadi di TV sana. Ketiga, kelompok moderat, terdiri dari orang Timor asli. Pembelotan empat anak Summa FC ini, terutama Pedro Ribeiro dan Dorego, diduga Bupati Armindo didalangi kelompok Alfredo. Kalau benar mereka lari ke Portugal untuk menjumpai sanak saudara, sebenarnya tak perlu membelot. Keputusan Presiden No. 62 tahun 1988 sudah menjamin, orang Tim-tim boleh pergi ke mana saja. Lagi pula, "Sejak integrasi, sudah ada perundingan antara Indonesia dan Portugal bahwa, untuk reuni keluarga, ditangani oleh Palang Merah Internasional," kata Dirjenpol Deplu, Wiryono Sastrohandoyo. Benarkah mereka ke Portugal? Kedutaan Portugal di Canberra lebih suka bungkam. Yang jelas, ini bukan kasus pembelotan atlet yang pertama. Dominggus Waweoy, sayap kanan PSSI dari Persija berdarah Irian, memilih tinggal di Belanda ketika PSSI melawat ke berbagai negara Eropa pada 1965. Rombongan ketika itu dipimpin Menteri Olahraga Maladi. Lalu, grup band Black Brothers minta suaka politik di Belanda pada 1979. Pada Juli 1989, enam mahasiswa Tim-Tim juga minta suaka di Kedubes Vatikan dan Jepang di Jakarta, tetapi akhirnya urung. Boleh jadi, urusan ini memang kecil, seperti kata beberapa pejabat di sini. Yah, hitung-hitung, inilah pekerjaan rumah pertama dubes baru RI Sabam Siagian. Toriq Hadad, Ivan Haris (Jakarta), dan Zed Abidien (Dili)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini