Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Cabut Saja Undang-undang itu!

15 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Riri Riza

  • Sutradara film, anggota Masyarakat Film Indonesia

    Sudahlah. Kita tidak perlu lagi mempersoalkan kontroversi kemenangan Ekskul sebagai film terbaik FFI 2006. Toh pihak pemegang lisensi musik yang dipakai tanpa izin oleh film tersebut kini tengah duduk bersama dengan pengacara produser film Ekskul untuk menyelesaikan persoalan ini secara hukum. Jadi saat ini saya hanya ingin mengajak Anda melihat substansi dari tuntutan kami, Masyarakat Film Indonesia.

    Kebijakan perfilman diatur melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1992. Uniknya, lembaga yang terkait dengan undang-undang ini, yaitu Departemen Penerangan, telah dibubarkan oleh pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid. Tapi undang-undang itu sukses menyelinap dalam kehidupan perfilman kita hingga hari ini. Membaca undang-undang ini kita menjadi paham bahwa bagi peme­-rintah Orde Baru, film adalah sebuah produk yang memiliki potensi madu dan racun yang besar.

    Pada tingkat praktek, sesungguhnya undang-undang ini sudah lama diabaikan oleh para pelaku aktif perfilm­an. Satu contoh, hampir semua produser dan pekerja film Indonesia yang aktif tidak lagi menjadi anggota organisasi film turunan Badan Pertimbangan Perfilman Nasio­nal (BP2N) yang diatur pemerintah dalam undang-undang. Selain itu, pada tingkat praktek, Badan Sensor Film (BSF), yang diubah menjadi Lembaga Sensor Film (LSF), kekuasaannya tetap saja besar. Bayangkan, LSF bisa menentukan sebuah film layak ditonton atau tidak dan memiliki kontrol terhadap semua film yang ditayangkan di bioskop maupun televisi di seluruh Indonesia. Selain itu, LSF memiliki mekanisme sidang tertutup, dan tentunya­ mekanisme penunjukan dan pelantikan anggota yang tertutup dan disahkan langsung oleh keputusan presiden, tanpa mekanisme pertanggungjawaban publik. Alamak!

    Tanpa pernah mendapatkan dukungan yang dijanjikan dalam undang-undang yang sama, para kreator film Indonesia berhasil mencapai kembali produktivitasnya. Beberapa film mencapai sukses finansial, yang lain sukses mendulang penghargaan di festival internasional. Hampir semua film yang saya maksud di atas diproduksi secara independen tanpa dukungan dana dari pemerintah. Produktivitas tinggi tanpa dukungan juga tumbuh di ranah film pendek dan dokumenter. Jakarta International­ Film Festival/JIFFEST menjadi agenda tahunan yang penting dalam meningkatkan apresiasi film publik.

    Mungkin muncul pertanyaan untuk apa memprotes kebijakan kalau bisa jalan sendiri. Apa perlunya FFI, toh dalam bidang seni lain tidak ada lagi model pengakuan nasional dari pemerintah seperti ini? Menurut saya dan teman-teman, protes ini perlu. Setidaknya sebelum kita menyerah sama sekali dan menjadi tak peduli bahwa ada beberapa hal yang perlu dipertanggungjawabkan.

    Kami adalah masyarakat berdaulat yang membayar pajak. Sektor perpajakan telah menerima masukan dari kami sejak pembelian bahan baku film hingga pajak tontonan dan pajak penghasilan. Film seperti Ada Apa de­ngan Cinta? atau Eiffel I’m in Love, yang meraih sukses komersial, telah menyumbang pajak tontonan mencapai masing-masing Rp 5 miliar. Ini baru dua dari hampir seratus film layar lebar komersial Indonesia pasca-reformasi.

    Lembaga pemerintah, mulai dari Direktorat Film hingga Badan Pertimbangan Perfilman Nasional, mengguna­kan dana publik untuk mengirim pejabat dan aktris/aktor ke festival film yang direstui pemerintah, menyelenggarakan FFI, menerbitkan buku, dan bahkan memproduksi film. Pertanggungjawaban dana publik tersebut tidak pernah terdengar hingga hari ini.

    Lalu apa usul konkret kami? Kami merasa sudah waktunya menuntut perubahan total. Mencabut Undang-Undang No. 8 Tahun 92 tentang perfilman dan melibatkan seluruh unsur perfilman dalam perumusan kebijakan baru yang membekali film Indonesia dengan yang kekuat­an tawar untuk menghadapi realita pasar bebas.

    Kami membayangkan LSF menjadi lembaga perlindung­an masyarakat konsumen film melalui sistem klasifikasi, yang anggotanya dipilih melalui proses terbuka dan melibatkan tokoh yang memiliki pemahaman tentang film sebagai produk budaya dan kompleksitas media serta ekonomi saat ini. Sistem dialog dibuka, dan memungkinkan voluntary censorship. Dalam sistem ini, misalnya, produ­ ser dan distributor dapat menawarkan pemotongan untuk mendapatkan rating klasifikasi usia tertentu, yang akan berdampak langsung pada jumlah penonton yang dapat diraihnya. Ini bisa terselenggara tanpa tekanan dari oknum misterius, tanpa standarisasi moralitas yang absurd.

    Tentang dana, pajak tontonan yang diterima dari film atau anggaran pemerintah untuk kebudayaan dapat dialokasikan untuk pengembangan. Salah satu contohnya de­-ngan memberikan subsidi secara signifikan pada pendidik­an film di Indonesia dengan mengembangkan kajian film di berbagai perguruan tinggi terkemuka, mengingat di Indonesia hanya ada satu sekolah film. Dana itu juga bisa digunakan untuk membiayai proses penuaian bakat baru seperti produser, penulis, dan sutradara dengan pengelolaan yang transparan.

    Siapa kami? Kami adalah 200 lebih orang Indonesia berkaos oblong dengan kesadaran politik. Kami terlibat dalam keseluruhan proses produksi, distribusi, penulisan kritik, bahkan bidang pendidikan film layar lebar, film pendek dan dokumenter. Kami sedang menggalang pula dukungan dari komunitas film di seluruh Tanah Air. Tentunya kami berharap model penataan industri film yang kami usulkan bisa menjadi awal menuju sistem penataan perfilman yang lebih beradab.

    Kami katakan cukup untuk segala diskusi tentang revisi undang-undang yang telah melahirkan dua draf versi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan versi BP2N. Kompetensi dua lembaga ini kami ragukan, karena kedua draf itu tidak mengubah filosofi undang-undang lama.

    Cabut saja undang-undang itu!

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus