Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Noorca M. Massardi
Festival film baru berlangsung sembilan hari. Tapi suasana revolusioner tengah melanda seluruh negeri. Demonstrasi meletus di pelbagai kota. Para mahasiswa dan serikat buruh bergabung untuk kepentingan yang sama: bubarkan pemerintahan yang tak becus. Kaum muda yang diwakili para mahasiswa menuduh le pouvoir etablie tak lagi memiliki legitimasi. Giliran kaum muda mengambil alih kekuasaan.
Tapi, seperti biasa, penguasa menilai revolusi pemuda itu sebagai anarki. Polisi antihuruhara dikerahkan. Gedung teater tempat orasi para mahasiswa militan diserbu.
Yang jadi pertanyaan adalah, di tengah suasana heroik dan revolusioner itu, mengapa festival film yang penuh glamor itu bisa berlangsung mulus seolah negeri tak kurang suatu apa? Mengapa industri sinema tak terusik oleh pertentangan antargenerasi yang sedang terjadi? Apakah itu karena the show must go on? Que le spectacle commence?
Mengetahui hal itu, para sineas dan kritikus film muda yang merasa tertindas arus besar (mainstream), yang tak mampu menembus hegemoni perusahaan film besar (yang mendikte dan menentukan film apa yang perlu dan layak diproduksi), berkumpul dan menyatakan sikap. Mereka bergerak ke kota tempat festival dilangsungkan. Mereka menuntut seluruh organisasi perfilman dibekukan, meminta pemerintah membuat kebijakan yang membantu para sineas bebas berkreasi tanpa kendala kekuatan dan sistem kapitalistik. Intinya: pemerintah harus merangsang, melindungi, dan menjamin lahirnya karyakarya film berkualitas, karena film adalah ekspresi murni para sineasnya, yang mereka sebut sebagai auteur.
Revolusi pemuda itu kemudian melejitkan nama para orator di tangga gedung itu sebagai pahlawan nasional perfilman. Mereka pun berhasil mengekspor revolusi kultural itu dan mempengaruhi sistem dan industri sinema di dunia. Sinema tak harus dibuat dengan modal besar. Gedung bioskop harus lebih demokratis. Sinema adalah gagasan, dan gagasan—apa pun ideologinya—harus mendapat tempat untuk dikomunikasikan.
Sejarah kemudian mencatat para orator bernama François Truffaut, JeanLuc Godard, Claude Chabrol, Roman Polanski, Claude Rohmer sebagai pembawa aliran nouvelle vague, gelombang baru. Peristiwa itu terjadi di tangga gedung Palais des Festivals di Cannes, Prancis, pada 19 Mei 1968. Dan setelah melalui pelbagai diskusi, perdebatan, konsep, usulan, dan perjalanan waktu, kemudian lahirlah Conseil Nationale du Cinema (CNC/Dewan Film Nasional).
Lembaga itu dibentuk pemerintah, dengan modal dasar dari pemerintah, ditambah partisipasi modal dari masyarakat perfilman (produser/bioskop/ importir/distributor/studio/stasiun televisi/industri perbankan, dll). Tugas dan kewajiban CNC adalah merangsang dan membiayai produksi film, dengan pelbagai persyaratan yang mendukung kreasi, mulai dari tahap penulisan gagasan, sinopsis, sampai ditayangkan dan diekspor. Itulah satusatunya lembaga di dunia yang berhasil mengerem hegemoni film Hollywood dan melahirkan sejumlah sineas/penulis cerita/skenario dan auteur setiap tahun.
Karena itu, ”happening” para sineas berusia 30an lebih di panggung Teater Kecil TIM, Jakarta, awal 2007 ini, usai Festival Film Indonesia (2006), bukanlah fenomena aneh. Tuntutan dan ketidakpercayaan mereka kepada lembagalembaga established Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) dan Lembaga Sensor Film (LSF) harus bisa dipahami, dimaklumi, dan dihormati. Terlepas bila dalam pelbagai wacana yang dilontarkan, ternyata mereka tidak atau belum punya konsep yang jelas (”baru akan membuat kelompok kerja untuk menyusun rancangan usulan pengganti UndangUndang tentang Perfilman No. 8/1992 yang menaungi BP2N dan LSF”). Atau menuduh di depan umum dan melakukan pembunuhan karakter terhadap sineas dan Film Terbaik FFI 2006, Ekskul, sebagai pelanggar hak cipta tapi tidak paham Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta, dan melanggar asas praduga tak bersalah. Apalagi, Indonesia yang penuh bencana ini tidak dalam suasana reformasi Mei 1998, apalagi revolusi Mei 1968 di Prancis.
Pertanyaannya: apakah undangundang tentang perfilman di negeri ini harus dipertahankan atau diubah? Bukankah di Prancis, yang tak punya undangundang semacam itu, hegemoni film Hollywood dapat ditangkal dan industri sinemanya mampu bertahan bahkan terus bertumbuh, cukup dengan satu lembaga CNC? Mengapa pengalaman CNC tidak diadaptasi saja sesuai dengan kondisi Indonesia? Apakah film yang cuma ”seni ketujuh” itu begitu adiluhung sehingga perlu undangundang khusus, sementara tidak ada UU tentang Sastra, UU Musik, UU Teater, UU Tari, UU Seni Suara, dan UU Seni Rupa? Kalau masih diperlukan, mengapa tidak memasukkan semua cabang seni itu dalam sebuah undangundang tentang kesenian saja? Untuk mengatur industri dan perdagangan serta eksibisi film, bukankah sudah ada UU tentang Industri dan Perdagangan, UU tentang Perseroan Terbatas, dan UU tentang Penyiaran, bahkan UU tentang Pers?
Lembaga semacam CNC bisa mewajibkan para produser mencantumkan batasan umur penonton bagi film mereka, yang wajib dipatuhi pihak bioskop. Kalau ada protes dari masyarakat? Gugatlah ke pengadilan. Di negeri yang berdasar hukum, bukankah hanya pengadilan yang dapat menghakimi, menghentikan, atau menarik sebuah tontonan yang dianggap melanggar normanorma dan hukum yang berlaku? Gitu aja kok repot…! (Ungkapan ini dan judul kolom ini menjiplak karya orang lain, hehehe…!).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo