Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Oh, Film…!

15 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Noorca M. Massardi

  • Penulis adalah anggota Dewan Juri FFI 2006

    Festival film baru berlangsung sembilan hari. Tapi suasana revolusioner tengah melanda seluruh negeri. Demonstrasi meletus di pelbagai kota. Para mahasiswa dan serikat buruh bergabung untuk kepenting­an yang sama: bubarkan pemerintahan yang tak becus. Kaum muda yang diwakili para mahasiswa menuduh le pouvoir etablie tak lagi memiliki legitimasi. Giliran kaum muda mengambil alih kekuasaan.

    Tapi, seperti biasa, penguasa menilai revolusi pemuda itu sebagai anarki. Polisi antihuruhara dikerahkan. Gedung teater tempat orasi para mahasiswa militan diserbu.

    Yang jadi pertanyaan adalah, di tengah suasana heroik dan revolusioner itu, mengapa festival film yang penuh glamor itu bisa berlangsung mulus seolah negeri tak kurang suatu apa? Mengapa industri sinema tak terusik oleh pertentangan antargenerasi yang sedang terjadi? Apakah itu karena the show must go on? Que le spectacle commence?

    Mengetahui hal itu, para sineas dan kritikus film muda yang merasa tertindas arus besar (mainstream), yang tak mampu menembus hegemoni perusahaan film besar (yang mendikte dan menentukan film apa yang perlu dan layak diproduksi), berkumpul dan menyatakan sikap. Mere­ka bergerak ke kota tempat festival dilangsungkan. Mereka menuntut seluruh organisasi perfilman dibekukan, meminta pemerintah membuat kebijakan yang membantu para sineas bebas berkreasi tanpa kendala kekuatan dan sistem kapitalistik. Intinya:­ pemerintah harus merangsang, melindungi,­ dan menjamin lahirnya karyakarya film berkualitas, karena film adalah ekspresi murni para sineasnya, yang mereka sebut sebagai auteur.

    Revolusi pemuda itu kemudian melejitkan nama para orator di tangga gedung itu sebagai pahlawan nasional perfilman. Mereka pun berhasil mengekspor re­volusi kultural itu dan mempengaruhi sistem dan industri sinema di dunia. Sinema tak harus dibuat dengan mo­dal besar. Gedung bioskop harus lebih demokratis. Sinema adalah gagasan, dan gagasan—apa pun ideologinya—ha­rus mendapat tempat untuk dikomunikasikan.

    Sejarah kemudian mencatat para orator bernama Fran­çois­ Truffaut, JeanLuc Godard, Claude Chabrol, Roman Po­lanski, Claude Rohmer sebagai pembawa aliran nouvelle vague, gelombang baru. Peristiwa itu terjadi di tang­ga­ gedung Palais des Festivals di Cannes, Prancis, pada 19 Mei 1968. Dan setelah melalui pelbagai diskusi, perdebat­an­, konsep, usulan, dan perjalanan waktu, kemudian lahir­lah­ Conseil Nationale du Cinema (CNC/Dewan Film Nasio­nal).

    Lembaga itu dibentuk pemerintah, dengan modal dasar dari pemerintah, ditambah partisipasi modal dari masyarakat perfilman (produser/bioskop/ importir/distributor/studio/stasiun televisi/industri perbankan, dll). Tugas dan kewajiban CNC adalah merangsang dan membiayai produksi film, dengan pelbagai persyaratan yang mendukung kreasi, mulai dari tahap penulisan gagasan, sinopsis, sampai ditayangkan dan diekspor. Itulah satusatunya lembaga di dunia yang berhasil mengerem hegemoni film Hollywood dan melahirkan sejumlah sineas/penulis cerita/skenario dan auteur setiap tahun.

    Karena itu, ”happening” para sineas berusia 30an lebih di panggung Teater Kecil TIM, Jakarta, awal 2007 ini, usai Festival Film Indonesia (2006), bukanlah fenomena aneh. Tuntutan dan ketidakpercayaan mereka kepada lembagalembaga established Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) dan Lembaga Sensor Film (LSF) harus bisa dipahami, dimaklumi, dan dihormati. Terlepas bila dalam pelbagai wacana yang dilontarkan, ternyata mereka tidak atau belum punya konsep yang jelas (”baru akan membuat kelompok kerja untuk menyusun rancangan usulan pengganti UndangUndang tentang Perfilman No. 8/1992 yang menaungi BP2N dan LSF”). Atau menuduh di depan umum dan melakukan pembunuhan karakter terhadap sineas dan Film Terbaik FFI 2006, Ekskul, sebagai pelanggar hak cipta tapi tidak paham Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta, dan melanggar asas praduga tak bersalah. Apalagi, Indonesia yang penuh bencana ini tidak dalam suasana reformasi Mei 1998, apalagi revolusi Mei 1968 di Prancis.

    Pertanyaannya: apakah undangundang tentang perfilman di negeri ini harus dipertahan­kan atau diubah? Bukankah di Prancis, yang tak punya undangundang semacam itu, hegemoni film Hollywood dapat ditangkal dan industri sinemanya mampu bertahan­ bahkan terus bertumbuh, cukup dengan satu lembaga CNC? Mengapa pengalaman CNC tidak diadaptasi saja sesuai dengan kondisi Indonesia? Apa­kah film yang cuma ”seni ketujuh” itu begitu adiluhung sehingga perlu undangundang khusus, sementara tidak ada UU tentang Sastra, UU Musik, UU Teater, UU Tari, UU Seni Suara, dan UU Seni Rupa? Kalau masih diperlukan, mengapa tidak memasukkan semua cabang seni itu dalam sebuah undangundang tentang kesenian saja? Untuk mengatur industri dan perdagangan serta eksibisi film, bukankah sudah ada UU tentang Industri dan Perdagangan, UU tentang Perseroan Terbatas, dan UU tentang Penyiaran, bahkan UU tentang Pers?

    Lembaga semacam CNC bisa mewajibkan para produser­ mencantumkan batasan umur penonton bagi film mere­ka, yang wajib dipatuhi pihak bioskop. Kalau ada protes dari ma­syarakat? Gugatlah ke pengadilan. Di negeri yang ber­da­sar hukum, bukankah hanya pengadilan yang dapat meng­hakimi, menghentikan, atau menarik sebuah tonton­an yang dianggap melanggar normanorma dan hukum yang berlaku? Gitu aja kok repot…! (Ungkapan ini dan judul kolom ini menjiplak karya orang lain, hehehe…!).

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus