Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua Menit Misterius Dua menit terakhir masih menjadi teka-teki. Menurut para pakar penerbangan, inilah yang mungkin terjadi:
Tenggelam...
- Pesawat tidak sampai berantakan. Dugaan ini didukung oleh sedikitnya serpihan yang ditemukan. Namun, pada kecepatan ini, air menjadi sekeras baja.
Penumpang mungkin terikat sabuk pengaman yang dipasang ketika pesawat terhantam angin samping.
Arus Laut dari utara ke selatan, kecepatan 30-40 km/jam.
Berantakan... Ketinggian: 2,4 km
- Terjadi karena perubahan tekanan saat jatuh melebihi daya tahan pesawat. Dugaan dikuatkan sinyal penanda lokasi (ELT) yang terpantau pada ketinggian ini di atas perairan Majene. Namun, jika ini yang terjadi, jumlah serpihan yang ditemukan biasanya lebih banyak.
Atau Jatuh Bebas...
- Mesin/sistem kemudi rusak akibat empasan angin atau awan kumulonimbus yang nyaris seluruhnya berupa kristal es. Atau, pesawat diempaskan oleh angin dari atas, karena turbulensi ini lazim terjadi pada awan kumulonimbus.
Kecepatan: 907,48 km/jam
+ Adam 574..., Anda mau ke mana? - Adam 574 menuju posisi 70... direct ke Diola.
+ Anda sekarang di posisi 056, Anda akan tersesat. - Ujung Pandang Control, kami terkena cross wind.
+ OK, sesuaikan dengan heading, segera kembali ke posisi semula. - Copy….
Pukul 14.49 WITA, 1 Januari 2007.
Pada ketinggian 11 kilometer di laÂngit, kapten pilot Refri Agustian Widodo berusaha mengikuti panduan pemandu di Bandar Udara Hasanuddin, Makassar. Pesawatnya, Adam Air KI-574 jurusan Surabaya-Manado, yang semula menyimpang ke arah barat, pelan-pelan mendekati jalur yang ditentukan.
Tapi, sembilan menit kemudian, pesawat jenis Boeing 737-400 itu raib dari layar radar Bandara Hasanuddin. Pemandu penerbangan di menara kontrol—namanya tak bisa diungkapkan demi alasan keamanan—panik. Ia segeÂra menghubungi sang pilot.
+ Adam 247, Ujung Pandang Control…. Tak ada jawaban.
+ Adam 247, Ujung Pandang Control.… Tetap nihil.
Petugas lalu meminta bantuan pesawat Garuda GA 603 yang sedang melintas di rute terdekat agar menghubungi Adam. Hasilnya sama: tak ada jawaban. Pesawat Merpati MNA 8070 yang juga terbang di dekat sana diminta melakukan hal serupa. Tak ada respons.
Maka, komunikasi itu menjadi percakapan terakhir pilot Refri sebelum si Adam yang dikemudikannya hilang pada tahun baru lalu. Percakapan itu direkam oleh ATC Bandara Hasanuddin, yang kemudian dilaporkan ke Asosiasi Pemandu Lalu Lintas Udara Indonesia, IATCA.
Cuplikan laporan itu, yang telah diterjemahkan ke dalam ”bahasa awam”, disampaikan oleh Adri Gunawan dan Kristanto, Presiden dan Sekretaris Jenderal IATCA, kepada Tempo, Jumat pekan lalu. ”Data teknis lengkapnya sudah kami serahkan ke Komite Nasional Keselamatan Transportasi,” kata Adri.
Terbang dengan 96 penumpang—11 di antaranya bayi dan anak-anak—dan enam awak pesawat, Adam Air saat itu sedang menuju Manado, Sulawesi Utara. Dengan melalui rute resmi, pesawat dari Surabaya harus melalui 11 titik koordinat yang memutar dan membelok di atas Makassar. Panjang rute ini 1.733 kilometer, ditempuh dalam 2 jam 23 menit.
Ketika Adam mendekati titik yang disebut ”Kasol”, satu posisi di atas Laut Jawa atau Selat Makassar, pilot Refri meminta izin untuk melewati jalan lurus langsung ke ”Diola”, sebuah titik di atas sekitar Morowali, Sulawesi Tengah. Dengan rute ini, Adam memangkas empat titik. Jarak yang ditempuh pun lebih pendek sekitar 30 kilometer.
Potong jalan dalam dunia penerbangan lazim saja. Tujuannya mempercepat waktu penerbangan dan menghemat bahan bakar. ”Rute langsung juga untuk mengurangi kepadatan di bandara, saat banyak pesawat harus mendarat dalam waktu bersamaan,” kata Adri.
Tapi di jalur lurus inilah Adam malah raib. Ribuan orang, puluhan kapal, dan sejumlah pesawat dikerahkan mencarinya. Sudah ada titik terang memang, saat sebagian puing-puingnya ditemukan di kawasan pantai di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, Kamis pekan lalu. Namun bangkai pesawat berusia hampir 18 tahun itu tak kunjung ditemukan (lihat: Bermula dari Pantai Lojie).
Sejak puing ditemukan, berbagai teori jatuhnya pesawat semakin banyak dilontarkan. Hisar M. Pasaribu, ahli penerbangan dari Institut Teknologi Bandung, menduga pesawat pecah saat nyemplung ke laut. ”Bisa juga pesawat hancur di udara karena tak kuat menahan tekanan saat jatuh,” katanya.
Jatuhnya pesawat bisa disebabkan oleh macetnya bidang kendali pengatur pesawat untuk membelok—dikenal sebagai ”rudder”. Alat ini dipakai bersama-sama dengan ”aileron” agar pesawat bisa berbelok dengan sedikit mengguling. Boeing 737—termasuk jenis pesawat yang paling laris di dunia—dikenal punya riwayat buruk soal ini.
Pada periode 1990-an, tujuh kali kecelakaan pesawat jenis ini disebabkan macetnya rudder. Di antaranya dialami oleh US Air Flight 427 di Pittsburgh, Amerika Serikat, pada 1994. Lalu Silk Air, yang menghunjam di Palembang pada 1997. ”Kemacetan rudder saat membelok bisa membuat pesawat terbang spiral dan terus menukik jatuh,” kata Hisar.
Dudi Sudibyo, pengamat kedirgantaraan, punya dugaan lain. Dugaan pertama, pesawat pecah di udara karena retakan tak terdeteksi. Karena perbedaan tekanan di dalam dan di luar pesawat, retakan kecil bisa membuat pesawat pecah. Kemungkinan lain, pesawat meledak karena barang-barang berbahaya di dalam pesawat. Misalnya bahan peledak atau tabung gas.
Walau begitu, kemungkinan ledakan sebagai penyebab rontoknya Adam tampaknya kecil. Dari pengamatan Tempo, serpihan pesawat yang ditemukan di pantai Barru tak menampakkan adanya bekas terbakar, misalnya residu berwarna hitam arang. Seorang penerbang Angkatan Laut yang melihat puing juga menggeleng soal kemungkinan terjadinya ledakan.
Penerbang AL itu menduga, angin berkecepatan 74 knot yang menerpa Adam saat kejadian memungkinkan patahnya tail horizontal stabilizer—puing pertama yang ditemukan di pantai Barru. Padahal, alat ini sangat vital untuk menjaga keseimbangan dan mengendalikan gerakan ke kanan dan kiri. ”Saya yakin Adam Air jatuh menghunjam ke laut,” katanya.
Dugaan sang penerbang itu mirip perhitungan Asosiasi Pemandu Lalu Lintas Udara Indonesia. Dari rekaman komunikasi pilot dan pemandu di bandara, asosiasi itu menduga Adam sebelumnya mengalami kerusakan mesin yang parah. Pesawat lalu oleng dan terempas jatuh oleh turbulensi.
Dugaan itu diperkuat dengan tidak adanya laporan darurat dari pilot Refri. Dalam situasi gawat, pilot seharusnya menyebutkan kata ”mayday.., mayday” kepada pemandu lalu-lintas udara. Jika perangkat komunikasi macet pun, masih ada penangkalnya: alat manual penyampai pesan yang disebut squawk number. Para penerbang dan pemandu lalu-lintas udara di Indonesia menamakannya ”nomor punggung”.
Ini merupakan kode identitas pesawat di radar, yang bentuknya gabungan empat angka dari 0 hingga 7. Jika pesawat dibajak, pilot harus mengubah kode menjadi 7600. Dalam situasi gagal komunikasi tapi pesawat tetap normal, kode diubah menjadi 7500. Dalam situasi darurat, pilot harus mengubahnya ke 7700. ”Pilot Adam Air tak melakukan hal ini,” kata Kristanto.
Aminarno, anggota Dewan Kehormatan IACTA, menduga pilot tak sempat mengirim kode darurat. ”Dengan kecepatan turun minimal 3.500 kaki per menit, pilot bisa jadi panik atau pingsan,” katanya kepada Tempo.
Adam diyakini tidak meledak di udara. Buktinya, tak ada banyak serpihan yang tersebar di permukaan laut. Aminarno menduga pesawat meluncur hampir tegak lurus, menghunjam merobek laut, dan menancap di dasarnya. ”Karena guncangan ombak selama 10 hari, beberapa bagian pesawat itu kini mulai lepas dan muncul ke permukaan,” ia berteori.
Dengan asumsi Adam saat itu terbang dengan kecepatan 727 kilometer per jam, Aminarno memperkirakan badan Adam berada di perairan sebelah barat Sulawesi Selatan atau Sulawesi Barat. Radius kemungkinan jatuhnya berjarak sekitar 121 kilometer, berpusat pada titik menghilangnya pesawat dari radar.
Abdul Hadi Djamal, anggota Komisi Perhubungan Dewan Perwakilan Rakyat yang diberi unjuk rekaman percakapan pilot dengan Bandara Hasanuddin, punya informasi lain. Dia mengatakan rekaman menunjukan kecepatan pesawat saat itu mencapai 490 nautical mil per jam (setara 907,5 kilometer per jam). ”Itu delapan menit sebelum hilang kontak,” kata dia.
Dari penjelasan yang diperolehnya, kemungkinan saat hilang kontak ketinggian pesawat berada di bawah 8000 kaki. ”Di bawah ketinggian itu, radar tak bisa lagi mendeteksi.”
Dugaan-dugaan itu memang masih belum bisa dipastikan kebenarannya. Paling tidak sampai kotak hitam Adam ditemukan. Kotak yang sebenarnya berwarna jingga itu berisi rekaman semua kegiatan pilot hingga saat jatuhnya pesawat. Rekaman itu pun harus dicocokkan dengan data komunikasi pilot dan pemandu lalu-lintas udara sebelum kemudian bisa diambil satu kesimpulan.
Karena itu, Setio Raharjo, Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi, menolak memberikan dugaan sementara tentang penyebab jatuhnya Adam. ”Temuannya masih minim,” ujarnya.
Teori masih akan banyak bermunculan, tapi yang terpenting sekarang adalah mencari di mana sang Adam berada.
Budi Setyarso, Sunariah, Bagja Hidayat, Sunudyantoro (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo