Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Sir Joon

Tapi “dunia Melayu” di dalam novel ini bukan sebuah dunia yang tertutup dengan dasar yang kedap. Setidaknya, dalam novel ini, dunia yang seperti itu tak jadi “warna lokal”. Biasanya, dalam kritik sastra, yang disebut “warna lokal” adalah sesuatu yang bisa diidentifikasikan—karena utuh, homogen, dan distingtif: deskripsi lanskap, adat istiadat, dan dialek setempat dalam cerita.

1 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK banyak orang yang akan ingat Sir Joon sekarang, dan mungkin lebih banyak yang tak pernah mengenalnya. Maka baiklah saya ceritakan: Sir Joon seorang lelaki muda keturunan Portugis. Ia hidup di Bengkalis, sebagai tokoh fiktif novel Suman Hs., Mencahari Pencuri Anak Perawan, yang sering disebut sebagai pemula cerita detektif Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari kata “mencahari”, bukan “mencari”, tampak novel ini berasal dari masa ketika bahasa yang hidup di dalamnya masih jauh dari zaman Pramoedya Ananta Toer. Terbit pertama kali di tahun 1932, dengan latar sebuah kota kecil di kepulauan Riau, ia cepat diasosiasikan dengan “dunia Melayu” seperti Siti Nurbaya dengan “dunia Minangkabau”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi “dunia Melayu” di dalam novel ini bukan sebuah dunia yang tertutup dengan dasar yang kedap. Setidaknya, dalam novel ini, dunia yang seperti itu tak jadi “warna lokal”. Biasanya, dalam kritik sastra, yang disebut “warna lokal” adalah sesuatu yang bisa diidentifikasikan—karena utuh, homogen, dan distingtif: deskripsi lanskap, adat istiadat, dan dialek setempat dalam cerita. Tapi “warna” itu tak ada dalam novel kecil yang memikat ini. Suman, yang berasal dari wilayah Mandailing (nama lengkapnya “Suman Hasibuan”), menggambarkan Bengkalis, hampir satu abad yang lalu, sebuah dunia yang lebih kosmopolitan ketimbang kota-kota besar di Jawa.

Kita ikuti ceritanya: Sir Joon, yang dipanggil dengan “Sir” karena suka menyisipkan bahasa Inggris dalam percakapannya, bertunangan dengan anak gadis yang disebut “Nona”. Seingat saya, ia keturunan Tionghoa yang diadopsi oleh Dago. Orang ini bisa jadi seorang Melayu, yang punya bisnis kecil sebagai dobi (dalam bahasa yang dimengerti sekarang, laundry). Tapi Dago kemudian berubah pikiran. Ia hendak menjodohkan Nona dengan Tairoo, seorang Keling, pengusaha yang kaya. Pertunangan Nona dengan lelaki yang dicintainya harus putus. Mahar yang dijanjikan Tairoo tinggi: 600 dolar.

Sir Joon tak bisa menyaingi itu. Ia lajang yang tak dijelaskan berapa umurnya, siapa dan di mana sanak saudaranya, dan tak disebutkan bagaimana ia mendapatkan nafkahnya. Novel pendek ini tampaknya menganggap detail itu tak membantu. Tapi Sir Joon cukup berada. Ia punya rumah dengan seorang pelayan. Ia punya waktu senggang untuk bermain sepak bola hingga dikenal sebagai penjaga gawang kesebelasan utama di Bengkalis. Dan nanti akan ketahuan ia bisa menyewa kapal dan membayar orang untuk berlayar ke Singapura dan hidup di sana.

Di awal novel ia digambarkan cedera dalam pertandingan bola yang ramai ditonton penduduk—sebuah insiden yang jadi bahan percakapan orang ramai. Yang tak mereka ketahui (dan tak diduga para pembaca), kejadian itu hanya tipu muslihat. Sir Joon terbaring tak berdaya di kamarnya, tapi sebenarnya sehat walafiat. Jauh malam hari dengan cekatan ia ke luar rumah untuk membawa si Nona lari dari rumah Dago.

Esoknya, Bengkalis pun heboh. Anak perawan itu raib. Tak jelas apakah ia melarikan diri atau dilarikan orang. Kepada Dago dan Tairoo yang kebingungan, Sir Joon meneruskan sandiwaranya yang rapi, yang belum diketahui siapa saja, juga pembaca: ia berjalan susah payah dengan penopang kaki, datang untuk menyatakan simpati dan menawarkan bantuan baik kepada Dago maupun Tairoo. Ia menyatakan siap ikut mencari.

Kedua orang itu mempercayainya. Pada wajah Sir Joon tak ada perasaan sakit hati kepada mereka.

Pada gilirannya, berkat kepintaran Sir Joon menjelaskan, Dago pun mencurigai Tairoo. Ia tahu anaknya tak mencintai pemuda Keling itu, maka masuk akal bila diculik untuk dibujuk atau dipaksa. Sebaliknya, Tairoo mencurigai Dago yang mata duitan; sangat mungkin dobi itu menyembunyikan Nona buat mendapatkan uang mahar tambahan.

Rasa saling curiga pun tertanam. Dan sang pencuri pun dikejar, ketika diketahui—atas informasi Sir Joon—sang pencuri hendak membawa lari Nona dengan kapal.

Tapi para pemburu mengejar kapal yang salah. Sir Joon tak ikut dengan mereka. Ia “mengejar” di kapal yang lain—di mana Nona sudah menunggu....

Novel ini tak bisa dikatakan sebuah cerita detektif dalam pengertian yang klasik. Tak ada kejahatan yang secara universal dikutuk. Yang ada hanya penipuan dengan motif cinta—dan cerita ini pada dasarnya kisah percintaan yang berani menempuh bahaya. Tak ada polisi. Pelanggaran terjadi, tapi berakhir dengan bahagia.

Jika ada yang mirip cerita detektif, itu kita dapatkan dalam pertanyaan “siapa-yang-melakukannya”—sebuah misteri. Bersamaan dengan itu ada suspens, ada ketegangan, ketika setapak demi setapak narasi bergerak mengungkapkan misteri itu.

Dalam konteks sastra Indonesia, persamaan Mencahari Pencuri Anak Perawan dengan cerita detektif yang lazim adalah dalam kesadaran-modernnya. Suspensnya “sekuler”. Narasinya dibangun dari sebuah pemecahan problem yang sepenuhnya menggunakan nalar, tanpa doa dan dukun.

Dari segi itu, Mencahari dekat dengan seri Naga Mas yang tenar di tahun 1950-an dalam majalah Terang Bulan yang terbit di Surabaya. Detektif yang memanggil diri “Naga Mas” ini, seperti Sir Joon, tak jelas asal-usulnya. Meskipun ia lebih seorang sosok kota metropolitan, ia, seperti Sir Joon, individu yang tak mewakili puak apa pun. Naga Mas bekerja sistematis tanpa Tuhan—bahkan tanpa bantuan alat Negara.

Tentu harus saya tambahkan: Bengkalis di masa novel Suman masih memperlihatkan sesuatu yang tradisional: ada peran mutlak orang tua dalam menentukan nasib anak gadisnya. Tapi di sana juga pembangkangan terhadap itu tak dianggap sebagai pelanggaran. Jika ini sebuah cerita detektif, ia tanpa kriminalitas.

Yang jelas, ini kisah dari masa yang asyik—ketika Negara belum hadir, ketika polisi dan sensus penduduk dan catatan identitas dan kantor imigrasi dan MUI belum memasang pagar-pagarnya.

Di satu pihak ia terasa “kuno”. Di lain pihak ia imajinasi yang kini bisa disebut “pasca-modern”, atau kisah “modernitas yang cair”. Jika ia seakan-akan bicara di luar sejarah, ia menghibur kita dengan surga yang hilang.

Goenawan Mohamad
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus