Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNTUNG saja Presiden Joko Widodo tidak berbuih-buih mengumbar komitmen ketika mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim, Kamis, 22 April lalu. Kalau saja Jokowi memberikan janji-janji baru soal tambahan kontribusi Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), negara kita bisa makin kehilangan muka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diinisiasi Presiden Amerika Serikat Joe Biden, KTT Perubahan Iklim tersebut memang dirancang sebagai bukti kembalinya Negeri Abang Sam ke barisan negara pendukung Perjanjian Paris. Sejak 2017, di masa kepemimpinan Donald Trump, negara penghasil emisi terbesar kedua di dunia itu memang sempat menarik diri dari aksi global mencegah krisis iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu konferensi virtual itu bukan hanya soal kembalinya Amerika ke Perjanjian Paris. Acara itu juga krusial karena kini ada desakan kuat agar setiap negara meningkatkan upaya mengurangi emisi GRK yang makin parah. Penyelenggaraan Conference of Parties ke-26 untuk Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia, pada November mendatang, digadang-gadang menjadi momentum untuk menyepakati kesepakatan baru.
Karena itu, ketika mengundang 40 pemimpin dunia dari negara-negara penentu penanganan krisis iklim pada akhir Maret lalu, Biden menyerukan pentingnya setiap kepala negara memaparkan komitmen yang lebih besar dari sebelumnya. Sayangnya, Presiden Jokowi tak memanfaatkan kesempatan itu.
Ketika Presiden Brasil Jair Bolsonaro atau Presiden Cina Xi Jinping menetapkan tenggat yang konkret bagi negara mereka mencapai net-zero emissions, Jokowi sama sekali tak menyinggung poin penting itu. Brasil berjanji mencapai target itu pada 2050, sementara Cina pada 2060. Padahal, di dalam negeri, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah punya kalkulasi dan sejumlah skenario.
Berdasarkan skenario yang paling ambisius, kata Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam acara Indonesia Net-Zero Summit 2021, Indonesia bisa mengentaskan emisi karbon pada 2045. Untuk itu, Indonesia perlu langkah besar untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Banyak riset menunjukkan emisi karbon terbesar kita memang berasal dari sektor energi.
Bisa jadi karena itulah Presiden Joko Widodo tak menyinggung target ambisius pengurangan emisi karbon. Kita tahu, pemerintah saat ini sedang haus-hausnya menarik investasi demi menggenjot pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapainya, pemerintah bahkan menggulirkan Undang-Undang Cipta Kerja, yang dirancang untuk mendorong munculnya banyak bisnis baru dan lapangan pekerjaan. Dalam sebuah wawancara dengan kantor berita BBC pada Februari 2020, Jokowi mengaku kelestarian lingkungan hidup belum menjadi prioritasnya.
Memang, ketika berbicara di KTT Perubahan Iklim, Jokowi tetap menegaskan keseriusan Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim—yang disebutnya sebagai kepentingan nasional. Tapi sejumlah klaim keberhasilannya tak akurat. Jokowi, misalnya, menyebut kebijakannya berhasil menghentikan konversi hutan alam dan lahan gambut seluas 66 juta hektare. Padahal, faktanya, 51 juta hektare di antara lahan tersebut merupakan kawasan hutan konservasi dan hutan lindung yang sedari awal memang diproteksi oleh undang-undang.
Dalam paparannya, Jokowi juga tak menyebut beragam rencana pembangunan, peraturan perundangan, hingga politik anggaran di sektor energi, yang jelas berpihak kepada kepentingan pengusaha tambang batu bara, minyak, dan gas bumi. Jika arah pembangunan ini diteruskan, sampai Lebaran kuda pun Indonesia tak akan bisa mencapai target net-zero emissions.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo