Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asep Rahmat Hidayat*
DALAM satu kesempatan, Menteri Agama telah membuka kembali wacana pembacaan doa semua agama dalam kegiatan di Kementerian Agama. Wacana itu dikemukakan karena Kementerian Agama menangani urusan semua agama yang diakui oleh negara. Urusan agama memang cukup pelik sehingga pengaturan masalah keagamaan memiliki sejarah panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wacana tersebut membuka praktik berbagi ruang bahasa agama di ruang publik. Para pemeluk agama mempraktikkan ajarannya dengan ragam bahasa yang khas, sehingga membentuk register bahasa tersendiri. Hal itu dipengaruhi oleh sejarah agama dan penyebarannya di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai register yang digunakan sehari-hari, lema yang berlabel bidang agama, yaitu 7 berlabel Buddha, 42 berlabel Hindu, 352 berlabel Islam, 90 berlabel Katolik, dan 102 berlabel Kristen, dicatat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Pembaca tidak perlu risau dengan membandingkan angka-angka itu karena, kalau ditelisik, jumlah lema yang terkait dengan agama-agama tersebut jauh lebih banyak. Ada lema yang dijelaskan konteks bidang agamanya dalam definisi. Ada juga lema yang awalnya terkait dengan agama tertentu menjadi netral karena korpus membuktikan lema tersebut digunakan bersama.
Jauh sebelum wacana berbagi ruang itu dikemukakan, para pemeluk agama telah mempraktikkan toleransi secara senyap dengan berbagi kata dalam ruang peribadatan dan pengajaran agama. Kita menggunakan kata Ruhulkudus, Almasih, Alkitab, Mahakudus, kurban, imamah, imamat, imam, asrama, yoga, kesatria, avatar, petuah, pondok, bidah, wahyu, rasul, padre, dan ikon tanpa mempermasalahkan lagi muasalnya.
Amatilah terjemahan pertama Injil dalam bahasa Melayu yang disusun Ruyl (1629). Kitab berjudul Iang Evangelium Ul-Kadus Menjurat kapada Marcum memuat berbagai kata yang lazim digunakan dalam agama lain, seperti pendeta, dewa, Allah, imam, nabi, ruah (ruh), kadus (kudus), beitul Allah, ruah-ulkadus (Ruhulkudus), mumin, rahmad, haramzada, umat, malaikat, dan korban.
Kata agama, sembahyang, dan puasa yang berasal dari agama Hindu kini menjadi milik semua agama. Kata sembahyang, misalnya, digunakan dalam Kitab Njanjian Dan Soembahjang (1862) dan Pemandangan Bagi Fihak Sam Kauw Tentang Sembahjangan Tionghoa dan Tujuannya (1942).
Doa keselamatan dalam Islam yang dijadikan sapaan, yaitu assalamualaikum, sudah lazim dan fasih digunakan pemeluk agama lain untuk menyapa muslim. Tanpa tahu artinya, dulu para kelana Eropa menganggap salam itu selayak salam biasa yang dapat digunakan siapa saja, seperti dicatat Houtman (1603). Isa Almasih sendiri menyapa orang lain dengan assalamoe alaikoem, antara lain tertulis dalam Kitab Indjil Soetji (1892), Indjiloe’lKoedoes (1901), Hikajat Taurat dan Indjil (1902), Wasiat Jang Beharoe (1912), dan Kitaboe’Lkoedoes (1927).
Kata ahad yang berasal dari bahasa Arab digunakan sebagai nama hari, walaupun sekarang tergantikan minggu. Kata itu digunakan juga dalam buku Kristen, seperti Ceremin Akan Pegang Agama (1693), Hikajat Toehan Jesoes dan Rasoel-Rasoelnja (1900), dan Talimu-ldini-lmesehi “Pelajaran Agama Masehi” (tt).
Kata tahlil yang sangat lazim dalam Islam digunakan juga dalam buku Kristen seperti Kitab Bebrapa Masmoer, Tahlil Indjil, dan Njanjian (1862); Kitab Njanjian jang Sudah Ditambah dengan Barang Mazmur dan Tahlil (1828); Puji-pujian dan Tahlil yang Dilagukan pada Kutika Sambahyang (1846); Barang Tahlil pada Gunanja Djamaat Mesehi Indjili (1904); serta Mazmoer dan Tahlil (1908). Sementara itu, dalam buku lain digunakan kata nyanyian, syair, dan pujian, seperti pada Sjiir Segala Mazmur Daud dan Pudjiyan (1735), Kitab Njanjian dan Soembahjang (1862), Sjiir Segala Mazmur (1864), serta Kitab Mazmoer dan Njanjian Indjil (1874).
Contoh-contoh tersebut hanya sebagian kecil dari khazanah kata yang digunakan bersama oleh pemeluk agama yang berbeda. Kita patut bersyukur bisa berbagi kata Allah, sementara di negara jiran kata Allah hanya boleh digunakan oleh satu agama dan haram bagi agama lain, sehingga menyulut polemik berkepanjangan.
Hal itu menjadi petunjuk toleransi sebenarnya. Toleransi kita telah nyata dalam kata. Memang ada kecenderungan untuk membedakan kata sebagai penanda agama tertentu, seperti kata Alloh disaingkan dengan Allah, jemaah dengan jemaat, imamah dengan imamat, dan puasa dengan upawasa. Kecenderungan itu harus diimbangi dengan kesadaran akan hakikat bahasa Indonesia sebagai sarana pemersatu.
Berbagi ruang dalam masyarakat majemuk sangat penting. Bahasa yang cenderung diseret menjadi sumber konflik sudah sepatutnya diposisikan sebagai bagian dari resolusi konflik. Upaya yang lebih hemat daya dalam merawat keberagaman adalah dengan berbagi kata.
*) ANGGOTA KELOMPOK KEPAKARAN DAN LAYANAN PROFESIONAL PERKAMUSAN DAN PERISTILAHAN BADAN BAHASA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo