Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Program makan bergizi gratis Presiden Prabowo Subianto baru menjangkau 650.000 anak sekolah.
Padahal, program ini seharusnya mencapai 17,5 juta anak di berbagai daerah.
Dana dari APBN tampaknya tak akan mampu membiayai program ini.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya meminta maaf kepada para orang tua murid yang anaknya belum mendapat jatah makan bergizi gratis di sekolah. Hal ini disampaikan Presiden pada saat rapat paripurna kabinet di Istana, Jakarta, Rabu, 22 Januari 2025. “Makan bergizi ini secara fisik tidak mudah,” kata Presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program makan bergizi gratis (MBG) sudah dimulai pada 6 Januari 2024. Menurut Prabowo, baru 650 ribu anak sekolah yang sudah mendapatnya. Padahal sasarannya 17,5 juta anak. Diharapkan setiap bulan jumlahnya terus bertambah dan pada September nanti sudah menembus 15 juta anak. Akhir tahun, semua anak akan menikmatinya. “Saya jamin dananya ada,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari mana sumber dananya? Selama ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sudah tersedia Rp 71 triliun dan itu hanya cukup untuk sampai akhir Juni nanti. Selebihnya meminta lagi tambahan dari APBN. Kekhawatiran APBN tak bisa menutupinya membuat sejumlah usul bermunculan. Maklum, program ini akan memakan lebih dari Rp 400 triliun setiap tahun.
Ada usulan dari dana zakat, infak, dan sedekah. Usulan itu disampaikan oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah Sultan Najamudin. Alasannya, sesuai dengan ciri khas masyarakat Indonesia yang memiliki sifat gotong royong. Tapi usulan itu langsung ditolak banyak orang. Sebab, dana yang dikumpulkan dari masyarakat itu dikelola Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Ke mana dana itu disalurkan, sudah ada pedomannya yang lebih banyak untuk kaum tidak mampu. Sementara itu, penerima program MBG adalah semua anak didik tanpa peduli miskin atau kaya. Lihatlah di tayangan stasiun televisi saat para pejabat memantau anak-anak didik yang menerima program MBG. Mereka murid yang jauh dari kesan miskin.
Lalu ada usul lain, biaya MBG diambil dari dana corporate social responsibility (CSR). Ini dana dari perusahaan yang menyisihkan keuntungannya untuk program sosial. Usul ini datang dari anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat, Abdul Fikri Faqih. Banyak yang menolak. Alasannya, risikonya besar karena besaran dana CSR tidak stabil, bergantung pada keuntungan perusahaan. Bagaimana kalau perusahaan rugi dan tak bisa lagi menyalurkan CSR?
Usulan yang lebih konkret datang dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Setelah bertemu dengan Presiden, Tito menyebutkan pemerintah daerah sanggup berkontribusi sekitar Rp 5 triliun untuk program MBG sepanjang 2025. Rinciannya, Rp 2,3 triliun dari pemerintah kabupaten/kota dan Rp 2,5 triliun dari pemerintah provinsi. Namun hal itu baru terlaksana pada September setelah ada penyesuaian anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Lagi pula, sejumlah kepala daerah menunggu pelantikan dulu. Sudah ada 415 kabupaten, 93 kota, dan semua provinsi yang siap berpartisipasi.
Usulan Menteri Tito ini lebih realistis lagi dengan rencana pendirian Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang melibatkan masyarakat sekitar dan dalam koordinasi kepala daerah. Menurut rencana, ada 2.000 SPPG yang dibangun menggunakan dana dari kabupaten/kota. Ditambah dari SPPG provinsi itu, dana bisa berlipat lagi. Prabowo katanya setuju, asalkan tetap berkoordinasi dengan Badan Gizi Nasional (BGN).
Melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat setempat inilah yang tampaknya akan menyelamatkan program MBG sehingga pelaksanaannya merata ke seluruh pelosok perdesaan. Juga menggerakkan ekonomi rakyat karena semua bahan makanan diambil dari wilayah setempat. Lagi pula, juru masak dan tenaga distribusinya penduduk sekitar sekolah. BGN seharusnya tidak perlu merasa tersaingi dan tak perlu memonopoli.
Sementara itu, ada wacana yang muncul dari para guru di sebuah sekolah di Denpasar. Para guru menanyakan kepada orang tua murid, lebih enak mana: mendapat ransum gratis lewat program MBG dibanding memberikan bekal makanan kepada anak-anaknya saat bersekolah. Para orang tua murid setuju anak membawa bekal dari rumah. Selain gizinya lebih baik, anak-anak terbiasa dengan makanan rumahan. Yang penting, makan bersama di sekolah. Jatah makan bergizi gratis bisa diberikan kepada murid dari keluarga tidak mampu.
Ide yang menarik. Pesan sosialnya adalah program ini diutamakan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, sedangkan murid di perkotaan umumnya dari keluarga yang mampu. Namun apakah ide ini berjalan mulus, entahlah. Baru pada tingkat usulan karena program MGB di Denpasar pun belum terlaksana.
Yang utama, niat dan janji Presiden Prabowo untuk meningkatkan gizi anak-anak penerus bangsa bisa terlaksana. Dari mana pun datangnya gizi itu seharusnya bukan masalah. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo