Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
T
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AK ada pentingnya Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menghidupkan kembali Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Alih-alih terlihat hendak membangun pemerintahan bersih, presiden terpilih Prabowo Subianto sejatinya sedang mencarikan tempat bagi para pendukungnya mendapat kue kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Digodok sejumlah kader Partai Gerindra, revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 mengatur perubahan Dewan Pertimbangan Presiden menjadi Dewan Pertimbangan Agung. Pembahasan telah bergulir di Badan Legislasi DPR pada 9 Juli 2024. Berlangsung cepat dan tanpa debat, sembilan fraksi di DPR setuju membahas revisi undang-undang yang tidak masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2020-2024 itu.
Mudah ditebak: Joko Widodo hampir pasti menyambut usulan itu. Berikutnya, presiden akan menerbitkan surat untuk menentukan wakil pemerintah dalam pembahasan revisi undang-undang yang ditargetkan rampung menjelang pemerintahan baru terbentuk.
Undang-undang baru tidak banyak mengubah hal substantif selain urusan penamaan dan struktur personalia. Organisasi ini tidak serupa dengan organisasi sejenis di era Orde Baru. Selain bukan lembaga tinggi negara, DPA tak ubahnya Dewan Pertimbangan Presiden yang sekadar organ pendukung kerja presiden. Draf revisi hanya mengubah ketentuan jumlah anggota yang sebelumnya dibatasi delapan orang menjadi sepenuhnya kewenangan presiden.
Usul menyerahkan penetapan anggota DPA kepada presiden sejalan dengan rencana Prabowo membentuk “presidential club” yang dilontarkan pada Mei 2024. Menurut Prabowo, klub presiden akan menjadi ajang pertemuan para mantan presiden dengan presiden terpilih. Kumpul-kumpul mantan presiden itu mudah ditafsirkan sebagai upaya mengakomodasi mereka yang mendukung Prabowo dalam pemilihan presiden pada Februari 2024.
Pembentukan DPA tanpa batasan jumlah anggota juga memberikan hak kepada Prabowo menambah bagi-bagi kursi kekuasaan. Saat ini Prabowo tengah memutar akal menampung anggota koalisi partai politik pendukungnya. Salah satu yang telah dilakukan adalah menambah jumlah pos kementerian dari 34 menjadi 40.
Dari sudut organisasi, DPA tidak akan memperbaiki sistem ketatanegaraan dan mengefektifkan organisasi pemerintahan. Tanpa kewenangan khusus, rekomendasi yang dikeluarkan DPA hanya menjustifikasi kebijakan pemerintah. Dengan kata lain: DPA akan menjadi tukang stempel. Kemungkinan lain, DPA hanya instrumen politik untuk meredam tokoh kritis. Sudah lazim kita saksikan, mereka yang bersuara sumbang kerap diberi jabatan agar menghaluskan kritiknya.
DPA dipastikan juga memberatkan anggaran negara. Selain mendapat gaji dan fasilitas, anggota DPA akan dilengkapi staf dan organisasi pendukung. Di tengah ekonomi yang karut-marut—dengan beban utang luar negeri yang jatuh tempo tahun depan Rp 800 triliun—DPA hanya akan menjadi sumber pemborosan baru.
Yang diperlukan Prabowo sesungguhnya bukan dewan pertimbangan yang tak bisa dipastikan keagungannya itu. Prabowo perlu tukang kritik yang terus-menerus menguji kebijakannya. Dengan koalisi besar di belakangnya, praktis tak akan ada pihak yang secara signifikan menentang Prabowo.
Jikapun partai koalisi berbeda pendapat, hal itu mudah dibaca sekadar meningkatkan posisi tawar menyangkut jatah kursi atau urusan bagi-bagi konsesi ekonomi. Jangan pula berharap kepada partai oposisi. Setelah Prabowo dilantik pada 20 Oktober 2024, partai yang paling kritis pun diperkirakan merapat ke pemerintahan baru karena tak ingin ketinggalan kereta.
Dewan Pengkritik Asoy—kita sebut saja namanya demikian—bertugas membangun ekosistem kritik nasional. Mereka bisa bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat, pers, dan kelompok kritis lain. Dewan itu tidak didirikan untuk menjatuhkan pemerintah—karena merupakan bagian dari pemerintah—tapi menjadi organ yang bertugas mempersoalkan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Satu yang terpenting, anggota Dewan Pengkritik Asoy harus diberhentikan jika terbukti menjilat dan melakukan praktik “asal bapak senang”.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dewan Pengkritik Asoy"