Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KELOMPOK Jamaah Islamiyah (JI) memang telah menyatakan membubarkan diri. Namun ancaman terorisme di Tanah Air bisa jadi belum akan hilang di masa-masa mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembubaran Jamaah Islamiyah disampaikan para mantan pemimpin kelompok yang dinyatakan terlibat dalam serangkaian teror pada 2000-an itu. Di antaranya Abu Rusydan pada 30 Juni 2024, yang kemudian mengunggah video pernyataannya di YouTube. Rusydan menyatakan kelompoknya akan “terlibat aktif mengisi kemerdekaan dan memajukan Indonesia”. Acara itu dihadiri 16 tokoh senior Jamaah Islamiyah, termasuk Abu Rusydan, Para Wijayanto, dan Zarkasih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan anggota kelompok tersebut di acara yang sama berjanji tidak lagi menggunakan jalan kekerasan. Mereka juga mengklaim bakal meninggalkan pola pikir ekstrem dalam menyebarkan ajaran-ajarannya.
Para Wijayanto, mantan amir yang ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror pada 2019, dikabarkan menginisiasi acara itu. Detasemen memberikan fasilitas pertemuan di satu hotel. Janji tersebut, jika dipenuhi, merupakan fase penting berubahnya gerakan Jamaah Islamiyah menjadi kelompok non-kekerasan. Meski begitu, dampak “pembubaran” yang dilakukan melalui mobilisasi dan melibatkan aparat negara itu masih perlu kita tunggu.
Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), lembaga yang meneliti terorisme, menilai pembubaran Jamaah Islamiyah bisa saja merupakan strategi anggotanya untuk bertahan hidup dan mengamankan aset-asetnya. Sebab, ruang mereka sangat terbatas setelah dinyatakan bertanggung jawab atas serentetan peristiwa bom Natal 2000, bom Bali 2002, dan kejadian teror lain. Densus 88 melakukan operasi penangkapan terhadap orang-orang yang dianggap berhubungan dengan kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaidah itu.
Jamaah Islamiyah memiliki 6.000 anggota—versi lain menyebutkan 10 ribu. Mereka mengelola pondok pesantren dan sekolah di berbagai daerah. Kelompok ini boleh jadi melakukan analisis untung-rugi dan menyimpulkan: satu-satunya jalan melindungi aset itu adalah menghilangkan cap organisasi radikal.
Kelompok ini akan membentuk entitas baru yang berfokus pada pendidikan. Mereka juga tak akan terlibat pelatihan-pelatihan militer di luar negeri. Cita-cita mewujudkan negara Islam bisa jadi akan terus berlanjut lewat cara-cara damai melalui pesantren.
Satu hal yang patut dicatat: hampir pasti tak semua anggota menyetujui pembubaran itu. Jika dirunut sejarahnya, Jamaah Islamiyah beberapa kali terpecah, antara lain menjadi Jamaah Ansharut Tauhid. Bukan tidak mungkin kelompok yang tidak menyetujui pembubaran akan membentuk kelompok baru. Dalam dunia terorisme, kekosongan kepemimpinan atau pembubaran sebuah kelompok tidak serta-merta menghilangkan ancaman. Sejarah menunjukkan bahwa kelompok-kelompok teroris sering kali mampu beradaptasi dan bertransformasi, membentuk entitas baru yang lebih sulit dilacak dan diatasi.
Terorisme juga tak lepas dari perkembangan politik internasional. Selama konflik di berbagai belahan dunia—yang sering kali dilekatkan sebagai “konflik agama”—terus terjadi, kelompok radikal masih akan muncul kembali. Karena itu, meski Jamaah Islamiyah menyatakan bubar, kewaspadaan terhadap ancaman terorisme tak boleh kendur.