Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Duduk Bersama, Itu Solusinya

Seorang pengusaha melaporkan Menteri Kehutanan karena dianggap mencemarkan nama baiknya. Kapolri dan Menteri Kehutanan perlu punya satu daftar pembalak liar.

27 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLISI dan Departemen Kehutanan punya daftar berbeda tentang pembalak liar. Ini bukan pertama kali terjadi. Masalah yang timbul karenanya juga sama sekali tidak baru: nama yang masuk daftar polisi dan tidak masuk daftar Kehutanan, juga sebaliknya, bisa merasa dicemarkan namanya.

Itu yang terjadi dengan Tingtinghong (selanjutnya disebut Ting), yang melaporkan Menteri Kehutanan M.S. Kaban ke Markas Besar Polri, tiga pekan lalu. Warga Malaysia itu, menurut Kaban, menjalankan aksi pembalakan liar di beberapa daerah. Ting kesal, ia ganti menuduh Kaban memfitnah dan mencemarkan nama baiknya. Polisi kini mengusut kasus pencemaran nama baik itu.

Ting punya hak untuk mengadu. Tapi, dalam kasus ini, yang paling patut disesali adalah lemahnya koordinasi antara kepolisian dan Departemen Kehutanan. Karena tidak ada kesepakatan cara pandang, tidak ada acara pertemuan yang teratur, prioritas penanganan pun berbeda-beda. Menteri Kaban bisa menilai pengusaha A layak diseret masuk bui, tapi Kapolri Jenderal Sutanto mungkin malah menganggap pengusaha A masuk kategori "putih bersih".

Seharusnya polisi memeriksa Ting terlebih dahulu. Polisi perlu melacak kebenaran laporan Menteri Kaban tentang sepak terjang Ting. Apalagi sebelumnya Markas Besar Polri pernah mengeluarkan edaran: jika ada pengaduan dari seseorang yang merasa dicemarkan karena dituduh korupsi, polisi terlebih dulu memeriksa benar atau tidak ia melakukan korupsi. Jika polisi tidak melakukan hal ini, bukan mustahil kelak pembalak liar berduyun-duyun datang ke kantor polisi melaporkan Kaban.

Jika itu terjadi, Departemen Kehutanan seperti "berperang" melawan dua pihak: pembalak liar dan aparat penegak hukum. Mengingat besarnya bisnis kayu haram ini, menyadari belum semua penegak hukum kita "emoh" uang suap, dikhawatirkan "serangan balik" geng pembalak liar malah membuat pemberantasan kejahatan di hutan itu benar-benar mati. Kejahatan yang sudah berlangsung hampir separuh umur Republik, dan kadung berurat-akar sangat dalam itu, akan semakin menggurita.

Begitu banyaknya mulut yang perlu disuap, sekian banyak aparat yang perlu "dipelihara", membuat setiap usaha memerangi sindikat pencurian kayu hutan selama ini selalu menuai kegagalan. Ratusan kali aparat Departemen Kehutanan memerangi pembalak liar, dengan ujung tombak polisi hutan, yang terjadi malah "mati satu tumbuh seribu". Hutan kita terus dilahap dengan rakus. Dalam semenit, di Papua saja, hutan seluas dua lapangan sepak bola lenyap.

Sebenarnya banyak orang berakal sehat yang marah melihat keadaan ini. M.S. Kaban dan Jenderal Sutanto hanya dua dari sekian banyak nama itu. Mereka pernah bersepakat menyikat pembalak liar di sejumlah daerah. Bahkan Jenderal Sutanto di DPR, April lalu, bertekad menjadikan pembalak liar sebagai target operasinya. Sepanjang tahun 2005 polisi sudah menuntaskan 985 kasus yang melibatkan lebih dari 1.000 tersangka. Menteri Kaban ternyata punya daftar juga, terdiri dari sekitar 50 nama pembalak liar kelas kakap. Nama-nama itu sudah diserahkan ke Jenderal Sutanto dan Jaksa Agung.

Solusinya sederhana: para pejabat itu disarankan duduk bersama secara rutin dan membahas siapa saja pencuri kayu yang perlu diciduk agar negara tidak rugi Rp 45 triliun setiap tahun. Pembagian kerja bisa dimulai dari daftar yang sama. Kalau ada kemauan, tak sulit menjalankannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus