Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalan menuju reformasi peradilan rupanya panjang, berliku, kadang terhalang tembok. Merombak konstitusi, membikin undang-undang, lalu memancangkan lembaga-lembaga baru, hanyalah awal dari pembaruan. Masih dibutuhkan lagi kesabaran, karena perubahan kerap mengundang perlawanan dari orang-orang yang terusik kepentingannya.
Tantangan semacam itulah yang dihadapi Komisi Yudisial, yang baru tahun lalu didirikan. Pekan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat menolak memilih enam calon hakim agung yang disodorkan Komisi dengan dalih tak mau menabrak undang-undang. Jumlah calon dianggap kurang banyak, tidak pas dengan kebutuhan Mahkamah Agung. Menurut aturan, untuk mengisi satu pos hakim agung, harus diusulkan tiga calon. Mestinya Komisi mengirim 18 calon, karena sekarang ada enam lowongan hakim agung di Mahkamah.
Sepintas alasan itu masuk akal. Tapi sebenarnya parlemen bisa saja menerima calon-calon itu, lalu memilih dua di antaranya untuk dijadikan hakim agung. Adapun empat lainnya bisa dipilih dari hasil seleksi berikutnya. Cara begini tidak melanggar Undang-Undang Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial, karena di situ memang tidak ditegaskan bahwa lowongan hakim agung harus dipenuhi sekaligus lewat satu tahap seleksi.
Terobosan tidak dilakukan karena persoalan yang sebenarnya bukan pada sedikitnya calon. Ini terungkap dalam pertemuan antara DPR dan Mahkamah Agung, sehari sebelum penolakan itu diputuskan. Ternyata, petinggi MA menghendaki agar calon dari jalur karier menjadi prioritas. Alasannya, jumlah hakim agung nonkarier di lembaganya sudah mencapai sepertiga. Hasil seleksi yang disodorkan Komisi Yudisial memang jauh dari keinginan ini. Di antara enam calon itu, hanya dua yang berasal dari jalur karier. Inilah yang membuat MA lebih suka jika proses pemilihan hakim agung ditunda.
Bukan kali ini saja Komisi Yudisial bergesekan dengan MA. Sejumlah hakim agung juga nekat mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, meminta agar kewenangan komisi ini mengawasi hakim agung dipangkas. Pada Agustus lalu, keinginan ini terpenuhi. Bahkan, lebih dari yang diharapkan pemohon, akhirnya MK memotong seluruh fungsi pengawasan hakim yang dimiliki Komisi, dan menganjurkan agar undang-undang yang mengatur lembaga ini direvisi.
Pukulan bertubi-tubi itu tak perlu membuat para anggota Komisi patah arang. Untuk memulihkan fungsinya, yaitu mengawasi hakim, diperlukan perjuangan cukup keras dan dukungan penuh dari pemerintah serta kekuatan proreformasi peradilan di parlemen. Yang penting pula dipikirkan sekarang, bagaimana menjalankan fungsi yang masih tersisa, yakni mengusulkan calon hakim agung, secara lebih efektif.
Keinginan Mahkamah Agung boleh didengar, tapi jangan sampai menurunkan kriteria calon hakim agung. Apalagi tiada undang-undang yang membatasi jumlah hakim agung dari jalur nonkarier. Jika calon hakim karier yang diusulkan MA kurang bermutu dan integritasnya jelek, apalagi ada indikasi korup, apa boleh buat, harus disisihkan.
Cara penjaringan calon yang lebih efektif perlu dilakukan Komisi Yudisial untuk memenuhi kebutuhan MA. Penolakan parlemen bisalah dianggap sebagai pemacu untuk lebih giat menjerat calon. Kalau perlu, Komisi bisa datang "menjemput" calon dari jalur karier maupun nonkarier. Sering kali orang yang layak-berpengalaman, jujur, dan jauh dari sentuhan mafia peradilan-justru enggan mencalonkan diri. Kerja keras jelas diperlukan. Demi memperbaiki peradilan yang bobrok, Komisi Yudisial tak boleh menyerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo