Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Veven Sp. Wardhana
RATING atau peringkat adalah ”iman” bagi pengelola siaran televisi—yang juga diamini produser pemasok acara televisi. Itu sebabnya, Lativi sempat tetap mempertahankan program adu gulat bebas SmackDown, kendati Komisi Penyiaran Indonesia sudah menegurnya dan sekalipun nurani para pengelola siaran paham benar bahwa tayangan tersebut minim manfaat ketimbang mudarat.
Zsa Zsa Yusharyahya dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia sebagai representasi pelaku industri televisi—lewat acara unjukbincang Topik Minggu Ini di SCTV, akhir November 2006—mempertegas ideologi para broadcaster itu. ”Ratingnya bagus, berarti peminatnya juga bagus,” dia berargumentasi.
Jadinya, filsafat dan matematikanya adalah: aku berrating, maka produksi diadakan; aku berproduksi berdasar rating, maka iklan tak hanya ada tapi bahkan berjejalan. Nyaris tak ada produksi—dengan pelbagai perniknya, termasuk pola dan kemungkinan plagiasinya sebagai wujud metoo product—yang tak mengacu pada keberadaan pemeringkatan, yang cenderung hegemonik.
Begitulah yang menjadi hafalan dan rapalan para pelaku bisnis hiburan televisi. Adanya realitas lain, yang abai pada pemeringkatan, dianggap angin lalu. Padahal realitas yang tak matematismekanis dan berpunggungan dengan rating itu tak terhitung barang langka.
Contohnya adalah tayangan 14 episode serial Dunia Tanpa Koma, yang berakhir November lalu. Hitungan pemeringkatan yang diterima saban Rabu oleh masingmasing stasiun televisi komersial mewartakan, DTK terhitung biasabiasa saja, bahkan cenderung buruk. Namun, jika melihat berderet iklan yang diselapselipkan dalam tayangan ini justru harusnya menunjukkan logika: iklan bertimbunan karena rating tak sebatas ”doremi” alias satuduatiga.
DTK tak sendirian sebagai contoh kasus tayangan yang berperingkat bawah namun iklannya relatif melimpah. SCTV pernah mencatatnya lewat seri impor Charmed dan The XFiles, selain TransTV juga membukukan melalui Sex and the City dan Desperate Housewives. Pasti masih ada beberapa lagi lainnya.
Sex and the City, Desperate Housewives, The XFiles, Charmed, DTK, juga Friends, bahkan mendapat perlakuan berbeda dibandingkan dengan ratarata tayangan yang perlu wait and see dari para calon pemasang iklan hingga 56 episode awal untuk dipasangi iklan atau malah sama sekali diabaikan. Orangorang dalam stasiun televisi bahkan mengatakan, untuk seri impor tersebut—berbeda dibandingkan dengan seri impor lainnya—pemasang iklan hanya tengoktengok dan tunggutunggu gelagat cukup sampai episode kedua belaka untuk mengantre memasang iklan.
Boleh dibilang, dalam episode awal, tayangan iklan langsung menjubeli DTK—sama persis dengan kontrak kedua (istilahnya: season atau year berikutnya) Sex and the City, Desperate Housewives, dan yang sejenisnya tadi.
Pertanyaannya: apa rahasia Sex and the City dan DTK dan lainlainnya tadi jadi begitu abai dan ”murtad” pada kebiasaan hitungan pemeringkatan? Membandingkan tayangan bersangkutan dengan tayangan pesaing dan sandingan dalam jam yang sama di lain stasiun adalah salah satu jurusnya. Jurus yang lebih penting adalah: pemasangan iklan itu sangat ditentukan oleh para media planner, yang ”membagibagi” di mata acara mana saja yang layak dipasangi iklan. Latar belakang para media planner yang terbiasa dengan pola tayang ratarata televisi luar—terutama Amerika Serikat—merujuk dan mengacukan perspektifnya berdasar kebiasaan mata tayangan yang mereka saksikan di negeri seberang itu. Realitasnya, Sex and the City dan lainlain tadi memang sukses rating dan—pastilah—iklan.
Kalaulah iklannya tak begitu berjubel, toh segmentasi penontonnya spesifik, sespesifik tematema mata tayangan bersangkutan—sehingga iklan yang dipasang pun cenderung spesifik pula. Jadi, dalam pemahaman bahwa DTK terhitung spesifik pulalah maka minimnya rating itu sama sekali tak diimani pemasangan iklan.
Nyatanya, DTK memang berbeda dibandingkan dengan ratarata sinetron Indonesia yang karakterisasinya tak pernah berkembang, selain cenderung stereotip (misalnya: mertua perempuan bersekongkol dengan putrinya meracun atau menindas menantu perempuan). Beda lainnya: sebagaimana Desperate Housewives dan kawankawan, DTK tak termasuk kejar tayang, selain tak membelokkan atmosfer kisah garagara ratingnya bagus untuk episode tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo