Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Cara Primitif Mengelola Sampah

Meski dilarang undang-undang, 22 tempat pembuangan sampah terbuka hingga kini masih beroperasi. Prinsip reduce, reuse, recycle baru sebatas slogan.

20 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Cara Primitif Mengelola Sampah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BETAPAPUN penting, anjuran “buanglah sampah pada tempatnya” hari-hari ini terasa tak lagi cukup. Sampah yang dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir (TPA) memang membersihkan rumah dan lingkungan dari limbah, tapi meninggalkan problem baru yang tak kecil. Sampah yang menggunung di TPA menjadi sumber penyakit, polusi, bahkan sumber bencana. Pada 21 Februari 2005, sebanyak 157 orang tertimbun gunung sampah di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat. Tanggal kejadian bencana itu kini diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Enam belas tahun berlalu dan pemerintah masih belum meninggalkan cara pengelolaan sampah yang primitif: menumpuk limbah di lahan terbuka. Konsep kurangi, pakai kembali, dan daur ulang atau dikenal dengan istilah reduce, reuse, recycle (3R) apa boleh buat baru sekadar slogan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Padahal kewajiban 3R tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pemerintah menargetkan konsep 3R bisa mengurangi sampah nasional hingga 30 persen pada 2025. Seperti tercantum dalam undang-undang tersebut, TPA–tempat sampah dibuang tanpa penanganan lebih lanjut alias open dumping–dilarang sejak 2013. Sebagai gantinya dalam proses transisi menuju konsep 3R, pemerintah membangun tempat pemrosesan akhir yang diklaim ramah lingkungan, yakni TPA controlled landfill (uruk terkendali) dan sanitary landfill (uruk saniter).

Tujuh tahun sejak pelarangan itu, TPA sistem terbuka masih beroperasi. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, hingga tahun lalu, 33 TPA open dumping masih beroperasi di seluruh Indonesia. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan sampah di semua TPA di Indonesia bertambah 175 ribu ton tiap hari. Separuhnya merupakan sampah rumahan: tiap rumah diperkirakan memproduksi 0,7 kilogram sampah per hari. Di TPA Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, misalnya, tiap hari ditimbun 7.700 ton limbah. Menyisakan kapasitas 10 juta ton, akhir tahun ini TPA itu diperkirakan akan penuh.

Tak satu pun daerah yang masih mengoperasikan TPA open dumping diberi sanksi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hanya mencoret mereka dari daftar calon penerima penghargaan Adipura. Umumnya daerah masih membuka TPA karena pengelolaan sampah cara itu dianggap murah dan sederhana. Dengan anggaran pengelolaan sampah yang rata-rata hanya 0,6 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, tak aneh jika cara kuno itu terus dipertahankan.

Pemerintah pusat dan daerah harus serius menjalankan 3R. Anggaran pengelolaan sampah seyogianya ditambah. Pemerintah juga harus menempuh cara-cara kreatif dalam mengelola sampah, termasuk dengan bekerja sama dengan swasta dan pihak ketiga lain.

Pengelolaan sampai dengan model 3R juga membutuhkan perubahan pola pikir. Konsep mengedepankan prinsip piramida terbalik: rumah tangga yang berada di puncak penghasil sampah harus berperan paling besar dalam pengelolaan sampah. Mereka harus mengolah sampah menjadi kompos atau didaur ulang menjadi produk bermanfaat. Sampah yang dikirim ke TPA hanya yang merupakan barang yang tak bisa diolah atau didaur ulang.

Di Surabaya, sekadar mengambil contoh, konsep 3R telah mengurangi volume sampah sebanyak 40-60 persen. Di sana, warga aktif memilah sampah. Sampah organik seperti dedaunan dan sisa makanan diolah menjadi kompos. Sampah anorganik seperti plastik, gelas, botol, dan logam dijual untuk didaur ulang. Sisa sampah yang tak bisa diolah atau didaur ulang dibawa ke TPA. Swasta dilibatkan lewat program tanggung jawab sosial. Masyarakat diikutsertakan lewat kelompok-kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Dengan kata lain, kita tidak memulai dari nol. Contoh bukan tak ada. Cara kuno mengelola sampah sudah saatnya kita tinggalkan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus