Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Lubang-lubang Program Vaksinasi

Kebocoran vaksin Covid-19 membuat penanganan kelompok rentan menjadi terganggu. Ketimbang melakukan selebrasi, pemerintah harus memperbaiki data target vaksinasi.

20 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Lubang-lubang Program Vaksinasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU hal yang mesti disadari sejak awal dalam program vaksinasi Covid-19: cairan pemantik imunitas tubuh ini masih langka. Sementara jumlah pemasok dan kapasitas produksinya tak banyak, semua negara di dunia kini memerlukannya. Sebagai barang publik yang jumlahnya terbatas, vaksin harus dijamin oleh pemerintah diberikan kepada kelompok paling rentan sebagai prioritas utama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sampai saat ini, pemerintah telah mendatangkan 28 juta bahan vaksin Sinovac dari Cina dalam empat tahap, sejak Desember tahun lalu. Jumlah itu hanya sebagian kecil dari kebutuhan total 426 juta vaksin—dengan perhitungan ada lebih dari 181 juta orang yang memerlukan dua kali suntikan. Meski sudah mengantongi komitmen alokasi vaksin dari setidaknya empat produsen vaksin global, masih ada kemungkinan pengiriman untuk Indonesia tak sesuai dengan jadwal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita tahu, secara prinsip, tujuan vaksinasi adalah mengurangi angka kematian (mortalitas) dan angka kesakitan (morbiditas). Dengan penurunan dua indikator itu, pandemi diharapkan perlahan-lahan selesai. Angka kematian dan penularan bisa ditekan jika vaksin diberikan lebih dulu kepada kelompok paling rentan—bisa karena konsekuensi pekerjaan semacam tenaga kesehatan, memiliki penyakit penyerta, berusia lanjut, atau tinggal di wilayah dengan penularan tinggi. Prioritas ini jadi makin penting karena jumlah vaksin yang terbatas.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah mengatur urutan pemberian vaksin dalam lima kategori. Di urutan pertama ada tenaga kesehatan. Lalu di urutan berikutnya adalah masyarakat lanjut usia dan petugas pelayanan publik, yaitu anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat hukum, serta petugas pelayanan publik lain. Kelompok selanjutnya adalah komunitas rentan dari aspek geospasial, sosial, dan ekonomi. Terakhir, baru semua warga masyarakat lain.

Jika konsisten berpegang pada prinsip itu, setelah 1,48 juta tenaga kesehatan selesai divaksin, pemerintah seyogianya memberikan prioritas vaksinasi kepada orang lanjut usia lebih dulu. Artinya, 21,5 juta lansia di atas umur 60 tahun di Indonesia seharusnya divaksin, sebelum pemerintah menyuntik 16,9 juta petugas pelayanan publik. Para warga sepuh negeri ini jauh lebih rentan ketimbang kelompok pekerja semacam pedagang pasar, yang kini sudah mulai divaksin. Nyatanya, di lapangan, kedua kelompok sasaran ini disuntik bersamaan. Tampaknya Presiden Joko Widodo ingin para pelaku ekonomi segera mendapatkan imunitas sehingga bisa menggerakkan bisnis.

Itu juga yang membuat pemerintah membuka peluang masuknya vaksin gotong-royong. Program “sumbangan sosial” dari pengusaha ini diklaim bisa mempercepat tercapainya kekebalan kelompok alias herd immunity. Pemerintah menyatakan program ini nonkomersial dan hanya bisa dilakukan pengusaha untuk karyawan serta keluarganya di perusahaan masing-masing. Bahkan vaksin yang dipakai pun tidak boleh memakai merek yang sudah dibeli pemerintah. Namun misi utamanya tetap terbaca jelas: vaksinasi untuk pemulihan ekonomi.

Karena dualisme misi ini, tak mengherankan bila muncul laporan soal kebocoran vaksin di sana-sini. Ada orang-orang yang telah menerima vaksin meski sebenarnya tidak masuk kelompok rentan. Mereka menyerobot giliran menggunakan berbagai cara, termasuk memanfaatkan koneksi politik. Kementerian Kesehatan mengakui ada kebocoran sekitar 5 persen.

Kelemahan pendataan di berbagai lembaga pemerintah juga memperburuk keadaan. Kementerian Kesehatan mengakui tak akuratnya data warga masyarakat yang seharusnya menerima jatah vaksin. Kesimpangsiuran data inilah yang dimanfaatkan para pemburu vaksin untuk menyalip antrean. Jika ini dibiarkan, risiko mereka yang rentan menjadi korban penularan karena tak divaksin tepat waktu bisa meningkat signifikan.

Ketimbang sibuk merayakan setiap fase vaksinasi sebagai selebrasi politik, para pejabat publik sebaiknya berkonsentrasi mencari solusi untuk masalah ini. Masalah yang timbul akibat data yang tak akurat mulai bertumpuk. Dari kekeliruan alokasi jatah vaksin per wilayah sampai tak tepat sasarannya individu yang menjadi target vaksinasi.

Selebrasi politik untuk vaksinasi juga tak tepat karena belum ada data final soal uji klinis vaksin Covid-19. Dengan kata lain, kita tak tahu berapa lama vaksinasi bisa menciptakan kekebalan dari pandemi. Walhasil, pemerintah tak boleh menyebarkan rasa aman palsu dengan mengamini narasi bahwa vaksin adalah senjata pamungkas menyetop wabah virus corona. Jalan terbaik pengendalian pandemi tetap harus bertumpu pada adaptasi normal baru di masyarakat serta peningkatan pelacakan, pengetesan, dan tindakan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus