Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA mau ekonomi kita segera pulih kembali, pemerintah seharusnya merumuskan ulang strategi pemberian stimulus fiskal untuk para pelaku ekonomi. Kebijakan Presiden Joko Widodo memberikan diskon pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor naga-naganya tak bakal cukup untuk mengungkit konsumsi yang jeblok, kecuali ada kebijakan lain yang menawarkan solusi secara komprehensif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah melalui perdebatan sejak tahun lalu, pemerintah akhirnya memberikan stimulus berupa pemotongan PPnBM untuk kendaraan roda empat, dengan kapasitas mesin maksimal 1.500 cc, berpenggerak 4x2, dan memiliki kandungan lokal minimal 70 persen. Diskon diberikan secara berjenjang setiap tiga bulan, mulai Maret hingga Desember. Di tahap I pada Maret-Mei, pemerintah menggratiskan PPnBM. Untuk tahap II pada Juni-Agustus, diskon PPnBM sebesar 50 persen. Terakhir, pada September-Desember, diskon yang berlaku hanya 25 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah berharap diskon pajak ini membuat penjualan mobil kembali bergairah, setelah anjlok 48,35 persen sepanjang 2020, saat daya beli masyarakat lesu akibat pandemi Covid-19. Insentif ini diberikan kepada mobil 1.500 cc ke bawah, yang memiliki pangsa pasar paling besar. Karena mobil kelas ini paling banyak dibuat di dalam negeri dibandingkan dengan kelas lain, ada harapan jika stimulus ini juga bisa mendorong kembali aktivitas pabrik mobil berikut industri turunannya. Dari produsen komponen lapis I hingga III serta bisnis dealership dan pembiayaan.
Harapan ini memiliki dasar mengingat PPnBM adalah salah satu komponen harga jual kendaraan baru. Maka, jika dikurangi, ada kemungkinan harga jual mobil turun dan masyarakat mau membelinya. Tapi pemerintah keliru jika mengandalkan insentif ini sebagai game changer yang mampu mendongkrak konsumsi, mendorong aktivitas industri, dan pada akhirnya mengungkit pertumbuhan ekonomi yang saat ini berada di area negatif ke arah positif.
Diskon PPnBM pun belum tentu menjadi solusi untuk mendorong kembali pasar kendaraan dan aktivitas industri otomotif, setelah mengalami demand shock yang sangat signifikan. Apalagi porsi pajak ini relatif kecil jika dibandingkan dengan komponen harga lain, termasuk aneka pungutan yang dikenakan pada kendaraan di kelas 1.500 cc.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33 Tahun 2017 menyebutkan PPnBM untuk mobil kelas 1.500 cc sebesar 10 persen, paling rendah di antara semua jenis kendaraan. Selain membayar PPnBM, konsumen mesti membayar pajak pertambahan nilai 10 persen serta pajak daerah yang terdiri atas bea balik nama (12,5-20 persen) dan pajak kendaraan (1-10 persen). Artinya, meski PPnBM digratiskan, penurunan harga jual kendaraan di kelas ini paling banter 10 persen. Itu pun jika produsen atau dealer tidak memanfaatkan peluang, dengan mengutip ruang dari insentif tersebut untuk tambahan keuntungan.
Selisih harga itu tak ada artinya saat daya beli konsumen kelas menengah ke bawah, yang menjadi pangsa pasar kendaraan 1.500 cc, melorot ke titik terendah di masa krisis seperti saat ini. Meski dealer memberi diskon habis-habisan, rata-rata masyarakat di kelas ini memilih untuk membelanjakan dananya buat kebutuhan lain ketimbang membeli mobil baru. Dengan kondisi tersebut, asa untuk membangkitkan kembali kinerja industri bisa jadi sia-sia.
Pemerintah seharusnya meluncurkan kebijakan stimulus komprehensif, yang bisa mendorong demand sekaligus supply. Tanpa upaya untuk mengerek daya beli, insentif pajak yang relatif kecil tak ada artinya. Alangkah baiknya jika di masa sulit seperti saat ini belanja negara disalurkan ke sektor-sektor yang mampu mengungkit daya beli masyarakat. Hindari program yang mengada-ada dan membuka peluang untuk korupsi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo