Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CERITA tentang tentara berbisnis semestinya sudah lama tamat. Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, prajurit dilarang memiliki atau menjalankan perniagaan apa pun terhitung lima tahun sejak undang-undang itu diteken.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Boro-boro masuk barak, sejumlah prajurit tetap berbisnis bahkan bersengketa dengan partner dagang mereka. Di Pasuruan, Jawa Timur, Batalion Zeni Tempur 10/Jaladri Palaka 2 Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat bersama Pusat Koperasi Komando Daerah Militer V Brawijaya terlibat ribut-ribut dengan seorang pengusaha dalam usaha pompa pengisian bahan bakar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berselisih perihal pembagian keuntungan, Batalion Zeni Tempur menurunkan pasukannya ke lokasi pompa bensin yang diklaim berdiri di lahan milik mereka. Bak sedang berperang, di lokasi mereka memasang kawat berduri.
Perkara Pasuruan selayaknya menjadi momentum untuk mengingatkan kembali larangan bisnis TNI. Tentara tak boleh masuk ke ranah usaha karena tugas pokok mereka adalah menjaga pertahanan negara. Larangan yang sama berlaku untuk polisi. Selain urusan tugas pokok dan fungsi, masuknya tentara ke usaha perniagaan melahirkan moral hazard yang tak kecil. Mereka dapat menyalahgunakan kekuasaan dan senjata untuk menekan partner bisnis. Dalam banyak kasus, bisnis TNI juga melahirkan kecemburuan: lewat pelbagai usaha, para jenderal menjadi kaya raya, sementara prajurit hidup sengsara.
Di era Orde Baru, bisnis TNI juga membesarkan pengusaha hitam yang berlindung di balik ketiak tentara. Saat dilakukan audit besar-besaran terhadap bisnis TNI di awal reformasi dulu terkuak bahwa banyak aset TNI yang telah berpindah tangan.
Dilarang berbisnis, tentara dan polisi menggunakan koperasi untuk mencari cuan. Di Pasuruan, Pusat Koperasi milik Kodam Brawijaya memegang izin operasional dari Pertamina untuk berdagang bahan bakar minyak. Aturan memang membolehkan mereka mendirikan koperasi. Tapi koperasi yang dikelola tentara dan polisi saat ini sudah bergeser jauh dari semangat mencari kemaslahatan dari, untuk, dan oleh anggota.
TNI berkilah koperasi didirikan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit. Dalam kenyataannya, lewat koperasi, yang untung justru para petinggi. Di lapangan, koperasi angkatan bersenjata menggunakan cara-cara yang tak patut, termasuk mengancam jika bersengketa dengan partner usaha.
Panglima TNI hendaknya mengambil langkah tegas terhadap praktik lancung ini. Di Pasuruan, jenderal yang menyalahgunakan kekuasaan selayaknya dipecat saja. Pejabat Pertamina yang membagi-bagikan konsesi distribusi bahan bakar ke TNI juga harus ditindak. Urusan kisruh dagang tentara dan rekan bisnisnya hendaknya diselesaikan di pengadilan perdata.
Koperasi TNI harus ditertibkan. Pengelolaannya harus transparan. Jenis usaha yang mereka geluti harus dibatasi. Koperasi TNI, misalnya, dilarang menjual jasa pengamanan dalam kedok apa pun. Jika larangan ini dianggap tak efektif, tak ada salahnya melarang koperasi tentara sama sekali.
Perihal kesejahteraan prajurit hendaknya dikembalikan kepada negara. Pemerintah harus menjalankan reformasi birokrasi di lembaga militer, termasuk dengan memperbaiki remunerasi mereka. Alih-alih membeli persenjataan yang harganya selangit, anggaran TNI hendaknya diprioritaskan pada program reformasi ini.
Tanpa tindakan tegas dan perbaikan menyeluruh, tentara Indonesia tidak akan pernah jadi profesional. Lemah menghadapi ancaman dari luar, mereka galak dan sok jago di hadapan lawan bisnis yang tak lain adalah rakyat Indonesia sendiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo