Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH mengecewakan publik dengan mengesahkan sejumlah aturan bermasalah, seperti revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja, kini Dewan Perwakilan Rakyat punya kans memperbaiki citra. Lewat pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan, DPR bisa mendorong percepatan peralihan sumber energi demi mitigasi krisis iklim. Selama ini, pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia kerap terhambat regulasi yang acap kali berubah—biasanya di tingkat kementerian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akibatnya, target bauran energi nasional yang mengharuskan penggunaan 23 persen energi terbarukan pada 2025 amat sulit dipenuhi. Sampai 2020, angkanya baru 19,5 persen. Keberadaan undang-undang yang mengatur sumber energi ramah lingkungan seharusnya bisa menghilangkan hambatan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Minimnya penggunaan energi terbarukan di negeri ini memang patut disayangkan. Padahal Indonesia punya banyak potensi energi dari sinar matahari, bayu, air, hingga geotermal alias panas bumi. Sebagai negara tropis, setiap rumah tangga Indonesia seharusnya bisa memenuhi kebutuhan listrik harian mereka sendiri dari tenaga surya. Apalagi harga pembangkit listrik tenaga surya di atap rumah atau gedung kini cukup kompetitif. Namun realitasnya di lapangan tak semudah itu.
Akibat skema bisnis listrik di Indonesia yang menempatkan PT PLN (Persero) sebagai satu-satunya pembeli (single buyer), rumah tangga yang punya pembangkit listrik surya hanya bisa memasok energinya ke PLN. Selain tak bisa langsung dipakai sendiri, pasokan energi itu hanya bisa mengurangi tagihan listrik 65 persen setiap bulan. Walhasil, bagi pelanggan PLN, tak ada insentif untuk memasang pembangkit listrik surya di atap mereka.
Skema semacam itu jelas menyia-nyiakan potensi energi terbarukan di depan mata. Menurut survei Universitas Indonesia dan Greenpeace, ada 84 persen warga Jakarta dan sekitarnya yang tertarik menggunakan panel surya atap di atap rumah mereka. Karena itu, jangan heran jika kapasitas pembangkit listrik tenaga surya di Indonesia baru sekitar 150 megawatt. Nilai itu cuma 0,07 persen dari taksiran potensinya yang mencapai 207,8 gigawatt.
Selain menghambat pengembangan independent power producer (IPP) energi terbarukan, posisi PLN sebagai pembeli tunggal membuat konversi energi dari sumber fosil seperti batu bara menjadi nyaris mustahil. Pertama, harga energi terbarukan jelas sulit bersaing dengan penawaran IPP batu bara, yang lebih dulu menjadi pemasok PLN. Selisih harga itulah yang membuat 59 proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi berkapasitas 2.145 megawatt sempat mandek pada 2019. Kedua, kewajiban PLN membeli dan menyepakati harga di muka membuat bisnis IPP batu bara nyaris tanpa risiko. Karena itulah banyak kepentingan politik yang bermain di sektor ini.
Jika DPR dan pemerintah serius memikirkan upaya mengurangi pemanasan global, pembahasan RUU Energi Terbarukan harus dibarengi dengan perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Sudah saatnya aturan yang menempatkan PLN sebagai pembeli tunggal diubah. Tak boleh lagi ada kongkalikong antara PLN dan perusahaan swasta pembangkit listrik tenaga batu bara.
Skema bisnis listrik di negeri ini harus dirombak untuk membuka pintu bagi pengembangan energi yang ramah lingkungan. Tanpa mengubah skema bisnis listrik yang tak sehat ini, jalan panjang mendorong penggunaan energi hijau akan tetap terjal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo