Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia terjerembap di kubang resesi ekonomi.
BPS mencatat konsumsi rumah tangga, penopang utama perekonomian Indonesia, terjungkal sangat dalam.
Lebih dari sekadar memperbesar penyerapan anggaran negara, pemerintah perlu berfokus memperbaiki kualitas program kerja.
YANG dikhawatirkan itu terjadi juga: Indonesia terjerembap di kubang resesi ekonomi. Badan Pusat Statistik pada Kamis, 5 November lalu, mengumumkan ekonomi sepanjang triwulan III 2020 merosot: minus 3,49 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Pada triwulan II, produk domestik bruto juga minus 5,32 persen. Ekonomi suatu negara disebut mengalami resesi jika selama dua triwulan berturut-turut gagal tumbuh atau tumbuh negatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertumbuhan negatif sepanjang Juli-September lalu memang tak sebesar triwulan sebelumnya. Meski demikian, terlalu prematur jika Presiden Joko Widodo menyebut ekonomi Indonesia mulai membaik. Apa yang terjadi saat ini tidak boleh dipandang remeh. Dampak resesi bisa lebih besar dan berkepanjangan dibanding krisis yang dipicu pelemahan pada salah satu sektor ekonomi saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Resesi terjadi akibat kerusakan yang merata pada hampir semua kegiatan ekonomi. BPS mencatat konsumsi rumah tangga, penopang utama perekonomian Indonesia, terjungkal sangat dalam sepanjang dua triwulan terakhir, masing-masing negatif 5,52 persen dan 4,04 persen. Permintaan masyarakat telah terguncang amat hebat akibat pandemi Covid-19.
Merosotnya konsumsi sebagai akibat dari banyaknya orang kehilangan penghasilan pada gilirannya menyebabkan gelombang pengangguran yang lebih besar. Turunnya konsumsi menyebabkan turunnya permintaan yang membuat penjualan merosot. Perusahaan yang kehilangan konsumen akan mengurangi kapasitas produksi, merumahkan pekerja, bahkan menutup bisnis sama sekali. Pekerja yang kehilangan nafkah akan kehilangan daya beli. Konsumsi masyarakat yang lesu membuat ekonomi makin tersungkur. Kegagalan pemerintah menyelamatkan ekonomi Indonesia keluar dari lingkaran setan ini menyeret ekonomi ke tubir jurang depresi-resesi berkepanjangan hingga kebangkrutan total.
Lebih dari sekadar memperbesar penyerapan anggaran negara, pemerintah perlu berfokus memperbaiki kualitas program kerja. Rencana belanja yang tak berkaitan dengan upaya mendongkrak konsumsi masyarakat, seperti pengadaan alat utama sistem persenjataan, sepatutnya ditunda saja. Dengan alasan serupa, pemerintah harus membatalkan rencana melanjutkan program Kartu Prakerja yang tak efisien. Ratusan triliun rupiah yang dianggarkan untuk program semacam ini sebaiknya dialihkan untuk memperbesar bantuan sosial, secara tunai, agar bisa langsung menyentuh masyarakat yang terkena dampak pandemi.
Pemerintah juga perlu realistis dalam menyusun proyeksi yang setiap tahun meleset. Buruknya perencanaan membuat belanja negara terus menggelembung dengan hasil yang menyedihkan. Kondisi ini memperbesar risiko pada masa resesi lantaran utang untuk membiayai anggaran negara juga terus membengkak. Presiden Jokowi harus menyetop budaya “asal bapak senang”. Alih-alih menyampaikan kondisi sebenarnya, banyak menteri dan pejabat melaporkan angka dan cerita yang baik saja karena tidak ingin dicap tak loyal.
Pandemi belum akan berakhir dalam waktu dekat. Indonesia hanya dapat keluar dari lubang resesi jika manajemen pengelolaan keuangan diperbaiki, prioritas pembelanjaan difokuskan pada penguatan daya beli masyarakat, dan tata kelola pemerintahan dijalankan dengan konsisten. Di atas itu semua: diperlukan pemimpin nasional yang siap mengoreksi diri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo