Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Reaksi balik otoritarianisme selalu represif terhadap para barisan pengkritik. Salah satunya yang berasal dari kampus.
Karakter pemerintahan dengan semua kebijakannya akan merefleksikan situasi kebebasan akademik dalam kampus.
Peralihan kekuasaan dari rezim Joko Widodo ke Prabowo Subianto tidak membuat situasi kebebasaan akademik membaik.
DEMOKRASI selalu menghendaki kritik. Dengan cara inilah demokrasi bertumbuh dengan baik. Sebab, kritik serupa asupan gizi bagi demokrasi. Ketika kritik dibatasi, bahkan dilarang dengan cara-cara yang represif, niscaya benih otoritarianisme sedang berkembang.
Otoritarianisme merupakan corak pemerintahan yang dijalankan dan dikendalikan oleh segelintir orang. Otoritarianisme selalu menuntut ketertiban dengan cara “mengharamkan kritik”. Ibarat kacamata kuda, otoritarianisme berjalan lurus ke depan tanpa menengok kritik dan protes yang dilancarkan publik. Kritik dianggap sebagai ancaman serius yang membahayakan kekuasaan. Karena itu, reaksi balik otoritarianisme selalu represif terhadap para barisan pengkritik. Salah satunya yang berasal dari kampus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Otoritarianisme dicirikan oleh kekuasaan yang sangat terkonsentrasi dan terpusat, yang dipertahankan melalui represi politik. Menurut Merriam-Webster, otoritarianisme merupakan hal yang berkaitan dengan pemusatan kekuasaan pada seorang pemimpin atau elite yang secara konstitusional tidak bertanggung jawab kepada rakyat.
Menurut Marlies Glasius, dalam psikologi politik, otoritarianisme didefinisikan sebagai profil psikologis orang-orang yang dicirikan oleh keinginan akan ketertiban dan hierarki serta ketakutan terhadap orang luar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ilmuwan politik, Juan Linz, mendefinisikan otoritarianisme sebagai sistem politik dengan pluralisme politik yang terbatas; tidak bertanggung jawab; tanpa ideologi yang rumit dan membimbing, tapi dengan mentalitas yang khas; serta tanpa mobilisasi politik yang ekstensif dan intensif, kecuali pada titik-titik tertentu dalam perkembangannya.
Kampus dan Otoritarianisme
Harus dipahami bahwa kebebasan akademik dalam kampus merupakan bagian “integral” dari kebijakan ekonomi-politik negara. Jadi karakter pemerintahan dengan semua kebijakannya akan merefleksikan situasi kebebasan akademik dalam kampus. Jika pemerintahan bergerak ke arah otoritarianisme, hal itu otomatis juga menjadi ancaman bagi kebebasan akademik.
Juan Linz mengidentifikasi empat ciri pokok otoritarianisme. Pertama, pluralisme politik yang terbatas, yang diwujudkan melalui pembatasan pada lembaga legislatif, partai politik, dan kelompok kepentingan.
Kedua, legitimasi politik berdasarkan pada emosi, dengan memposisikan penguasa yang seolah-olah menjadi solusi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial, seperti keterbelakangan pembangunan dan pemberontakan.
Ketiga, minimnya mobilisasi politik dan penindasan terhadap aktivitas antirezim. Dan keempat, kekuasaan eksekutif yang secara formal tidak jelas serta berubah-ubah sehingga memperluas dan memperkuat kekuasaan eksekutif.
Melihat situasi Indonesia hari ini, gejala otoritarianisme makin menguat. Ciri-ciri otoritarianisme yang disebutkan oleh Juan Linz menyerupai perilaku rezim hari ini. Hal paling mencolok pada awal pemerintahan adalah pembatasan pluralisme politik, terutama terhadap aksi borong dukungan partai politik sehingga melemahkan jalur oposisi politik.
Hal tersebut menyebabkan koalisi gemuk (over coalition) yang berdampak munculnya kecenderungan bagi-bagi jatah kekuasaan. Kita bisa melihatnya dari penetapan jumlah kementerian yang diputuskan oleh Presiden Prabowo Subianto. Semua itu diputuskan tanpa mempertimbangkan kritik publik.
Ciri berikutnya adalah pembungkaman terhadap aktivis-aktivis antirezim dengan semua kebijakannya. Sebut saja dalam perkara kekerasan aparat penegak hukum terhadap massa aksi “peringatan darurat kawal putusan MK”. Menurut Tim Advokasi untuk Demokrasi, saat aksi tersebut, sebanyak 254 orang mengalami luka-luka serta 380 lainnya ditangkap secara sewenang-wenang.
Kasus itu belum termasuk kriminalisasi terhadap aktivis-aktivis lingkungan dan pejuang masyarakat adat hanya karena memperjuangkan lingkungan, tanah, dan ruang hidupnya. Bentuk nyata otoritarianisme ini memang ada dan sulit dibantah. Dan bahaya ini akan merangsek ke dalam kampus, lebih dari yang kita bayangkan!
Ancaman Kebebasan Akademik
Peralihan kekuasaan dari rezim Joko Widodo ke Prabowo tidaklah membuat situasi kebebasaan akademik membaik. Alih-alih membaik, pembatasan terhadap kebebasan akademik justru kian memburuk.
Pembatasan ini berlangsung dalam berbagai bentuk. Antara lain, pertama, penundukan kampus melalui relasi pemilihan rektor. Bahkan hal ini direplikasi hingga level pemilihan dekan. Dalam pemilihan rektor, misalnya, menteri diberi hak istimewa atau privilese berupa suara sebesar 35 persen.
Hal ini dilegitimasi dalam ketentuan Pasal 9 ayat 3 Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 21 Tahun 2018. Dua aturan itu menyebutkan bahwa menteri memiliki 35 persen hak suara dalam pemilihan rektor.
Komposisi suara menteri 35 persen ini tentu saja membuka ruang transaksional alias tawar-menawar dalam proses pemilihan rektor. Dari sinilah penundukan dimulai dari dalam kampus.
Kedua, represi terhadap sivitas kampus, baik secara fisik maupun akademik. Terdapat barisan panjang kasus mengenai represi ini. Membentang dari kasus represi terhadap mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan; pembekuan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, akibat kritik satire terhadap Prabowo; kriminalisasi dan represi terhadap mahasiswa Universitas Riau, Khariq, serta mahasiswa lain yang berdemonstrasi menentang kenaikan uang kuliah tunggal.
Ada pula pembredelan diskusi dan nobar film Pesta Oligarki disertai dengan kriminalisasi terhadap mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Lalu represi terhadap pers mahasiswa Universitas Merdeka Malang, Jawa Timur; pemberhentian Budi Santoso sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, setelah mengecam kebijakan dokter asing sebagai dampak omnibus law bidang kesehatan; serta kasus-kasus pembatasan kebebesan akademik di kota-kota lain.
Ketiga, pembatasan terhadap akses kesejahteraan pekerja kampus. Siapakah pekerja kampus? Semua yang memiliki relasi kerja dengan kampus, dari dosen, tenaga kependidikan, laboran, petugas keamanan, hingga para pekerja alih daya. Pada 2024, cukup banyak kampus yang abai dengan kesejahteraan para pekerjanya.
Celakanya, protes atas kondisi tersebut cenderung mendapat reaksi negatif dari para pengelola kampus. Bahkan tidak jarang pekerja mendapat ancaman dan intimidasi dalam bentuk yang beragam. Padahal pengabaian terhadap kesejahteraan pekerja kampus sudah merupakan bentuk intimidasi sosial, politik, dan psikis bagi mereka.
Dalam catatan tahun 2024, kampus-kampus yang melakukan intimidasi antara lain Universitas Bandung, Jawa Barat; Universitas Muhammadiyah Tangerang, Banten; serta Universitas Siguntang Mahaputra, Palembang. Sumatera Selatan. Ini pertanda kebebasan akademik kian terancam. Dan situasi ini akan makin memburuk pada 2025, terlebih di bawah otoritarianisme yang menampakkan wajah aslinya. ●
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo