Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Program makan bergizi gratis yang dimulai pada Senin lalu berantakan.
Pemerintah perlu lebih akuntabel dan transparan, termasuk menentukan pemasok serta penyalur makanan.
Program lain yang lebih mendesak ada di pendidikan.
PROGRAM makan bergizi gratis yang dimulai serentak pada 6 Januari 2025 berantakan. Dari distribusi makanan terlambat, perbedaan menu antarsekolah, hingga kebingungan pengelola sekolah karena tidak mendapat sosialisasi dan simulasi sebelumnya. Semua itu mencerminkan ketidaksiapan dalam merealisasi program unggulan pemerintahan Prabowo Subianto ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian besar sekolah menerima makanan sekitar pukul 09.00, terlambat dibanding jadwal pukul 07.00. Waktu yang terlambat ini membuat makanan tersebut tidak lagi bisa disebut sarapan, tapi terlalu pagi untuk makan siang. Bahkan, di beberapa sekolah, makanan datang saat jam pulang. Yang lebih parah, banyak sekolah tidak sempat simulasi sebelum program dimulai sehingga kesulitan mendistribusikan makanan secara efektif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beragam masalah ini tentu tidak terjadi begitu saja. Salah satu penyebabnya adalah ketidakjelasan panduan. Kurangnya sosialisasi dan ketidaksiapan pemerintah dalam memberikan petunjuk teknis menunjukkan janji besar pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam kampanye presiden 2024 ini belum siap.
Masalah yang lebih besar dari sekadar kurangnya panduan adalah ketidakkonsistenan dan kurangnya akuntabilitas dalam implementasi program makan bergizi gratis. Pada awalnya program ini dikenal dengan nama “makan siang dan susu gratis”, yang kemudian berganti menjadi “makan bergizi gratis” pada 23 Mei 2024. Program ini akan menjangkau sekitar 80 juta siswa dan ibu hamil dengan anggaran Rp 450 triliun.
Program tersebut dirancang untuk mencakup semua siswa di berbagai jenjang pendidikan, dari pendidikan anak usia dini hingga sekolah menengah atas, yang pada tahun ajaran 2023 berjumlah 53,14 juta. Anggaran yang diperlukan hampir setara dengan alokasi anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024, yang berjumlah Rp 664,02 triliun. Namun, setelah mempertimbangkan kapasitas anggaran negara, pemerintah hanya mampu mengalokasikan Rp 71 triliun pada 2025 dengan sasaran terbatas pada 3 juta siswa dan ibu hamil. Anggaran per porsi makanan pun berkurang dari Rp 15 ribu menjadi Rp 10 ribu.
Meski sudah direvisi besar-besaran, anggaran bagi-bagi makanan ini masih lima kali lebih besar dibanding anggaran Program Indonesia Pintar 2024 yang berjumlah Rp 13,492 triliun dan menjangkau 9,7 juta siswa. Publik berhak mengetahui alokasi lebih rinci serta menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas penggunaan dana pembayar pajak itu.
Misalnya, publik berhak tahu penentuan penyedia makanan yang akan dikirim ke satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG). Tercatat ada 190 SPPG di 26 provinsi yang terlibat dalam program ini. Pemerintah seharusnya memastikan proses tender penyediaan makanan dilakukan secara adil dan bebas dari praktik korupsi.
Di balik program makanan bergizi gratis ini, pemerintah menghadapi pelbagai tantangan besar di sektor pendidikan. Selain kualitas pendidikan dan angka kelulusan sekolah yang rendah, jumlah anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan formal masih sangat tinggi. Menurut data Badan Pusat Statistik 2023, terdapat 3.094.063 anak yang tidak bersekolah.
Sebelum menyimpang lebih jauh, pemerintah perlu segera mengevaluasi efektivitas program makan bergizi gratis ini. Bila ternyata program tersebut tidak efektif, apalagi jika sampai salah sasaran atau ada penyelewengan, pemerintah semestinya meluncurkan program lain yang lebih relevan dan memberikan manfaat nyata bagi masa depan anak-anak negeri ini. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo