Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Urgensi dan Tantangan RUU Perampasan Aset

RUU Perampasan Aset perlu segera disahkan DPR untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Bergantung pada Presiden Jokowi.

16 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Urgensi dan Tantangan RUU Perampasan Aset

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Presiden Jokowi meminta DPR segera membahas RUU Perampasan Aset.

  • Regulasi tersebut akan memperkuat upaya pemberantasan korupsi.

  • Regulasi ini dapat mengkriminalkan harta pejabat yang tidak wajar.

Kurnia Ramadhana
Peneliti Indonesia Corruption Watch

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tepat pada 4 Mei lalu, sepucuk surat dari Istana Negara tiba di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Surat yang ditandatangani Presiden Joko Widodo itu berisi permintaan kepada DPR agar segera membahas Rancangan Undang-Undang atau RUU Perampasan Aset. Tak tanggung-tanggung, Presiden memasukkan kalimat "guna mendapatkan persetujuan dengan prioritas utama".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebenarnya, RUU Perampasan Aset bukan barang baru dalam benak masyarakat yang menaruh perhatian pada isu antikorupsi. Sejak 2003, melalui Konvensi PBB Melawan Korupsi, Indonesia sudah diminta mengakomodasi ihwal perampasan aset tanpa pemidanaan. Sebelas tahun lalu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga telah merampungkan naskah akademik rancangan tersebut. Namun, seperti biasa, pemerintah dan DPR jauh lebih senang mengundangkan regulasi yang melemahkan pemberantasan korupsi ketimbang menguatkannya. Ini tampak dari revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang Pemasyarakatan, hingga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru.

Kehadiran Undang-Undang Perampasan Aset akan menjadi oase di tengah keringnya regulasi yang menyangkut pemberantasan korupsi. Regulasi ini menyimpan banyak senjata ampuh untuk melawan pelaku kejahatan ekonomi, khususnya korupsi. Pertama, RUU Perampasan Aset menggunakan pendekatan baru dalam penanganan perkara. Sederhananya, jika proses hukum perkara pidana korupsi menggunakan pendekatan individu (in personam), regulasi ini meletakkan aset sebagai subyek hukum (in rem). Dampaknya, penuntut umum tidak lagi dibebani kewajiban membuktikan kesalahan pelaku, melainkan cukup meyakinkan hakim bahwa aset tersebut tercemar karena praktik kejahatan.

Kedua, proses hukum perampasan aset tidak bergantung pada keberadaan pelaku. Jadi, walaupun pelaku melarikan diri atau bahkan meninggal, hal itu sama sekali tidak mempengaruhi penanganan perkara yang sedang berlangsung.

Ketiga, proses hukum acara perampasan aset jauh lebih cepat daripada melalui jalur pidana biasa. Sebab, tahapan seperti dakwaan, eksepsi, pembuktian, tuntutan, pleidoi, replik, dan duplik tidak dikenal, melainkan langsung ke proses pembuktian. Selain itu, pihak yang tidak sepakat dengan putusan pengadilan dapat melakukan banding, tapi loncat ke proses kasasi di Mahkamah Agung.

Keempat, RUU Perampasan Aset mengakomodasi model "pembuktian terbalik". Individu yang merasa memiliki aset wajib membuktikan di persidangan bahwa aset itu tidak diperoleh dari praktik kejahatan. Model ini tidak bisa serta-merta dipandang melanggar hak asasi manusia dengan dalih praduga tak bersalah atau prinsip non-self incrimination. Sebab, individu hanya dibebani kewajiban membuktikan asetnya, bukan kesalahannya.

Kelima, regulasi ini dapat mengkriminalkan perbuatan peningkatan harta kekayaan yang tidak wajar (illicit enrichment). Misalnya, jika terdapat perbedaan antara jumlah pendapatan dan kepemilikan suatu aset berdasarkan dokumen laporan harta kekayaan penyelenggara negara oleh pejabat, seketika pejabat tersebut dapat diseret ke meja hijau.

Praktik baik penerapan perampasan aset tanpa jalur pemidanaan sudah banyak dijalankan di berbagai negara. Filipina, misalnya, berhasil membawa pulang uang hasil korupsi mantan Presiden Ferdinand Marcos di Bank Swiss sebesar US$ 658 juta dengan pendekatan perampasan aset. Bukti keberhasilan regulasi perampasan aset juga ditunjukkan Amerika Serikat. Pada 2006 saja, Amerika berhasil mengembalikan aset hasil kejahatan senilai US$ 1,2 miliar.

Pemulihan kerugian negara akibat korupsi memang selalu menjadi pekerjaan rumah aparat penegak hukum yang kerap menemui jalan buntu. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), jumlah kerugian keuangan negara selalu timpang dengan pemulihannya. Pada 2021 saja, dampak kerugian yang harus dirasakan negara karena praktik korupsi mencapai Rp 62 triliun, sedangkan pemulihan melalui uang pengganti hanya Rp 1,4 triliun. Jika Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang digunakan sebagai amunisi untuk merampas aset hasil kejahatan, penerapannya pun masih sangat minim. Praktis, pada tahun tersebut, hanya 11 dari total 1.000 lebih terdakwa yang dituntut dengan undang-undang itu.

Segala hal positif yang menyangkut Undang-Undang Perampasan Aset sulit terealisasi jika tidak diikuti implementasi prasyaratnya. Pertama, pemerintah dan aparat penegak hukum harus makin gencar menjajaki kerja sama, baik formal melalui mutual legal assistance (MLA) maupun nonformal dengan konsep relasi balik (resiprositas), di antara penegak hukum negara lain. Hingga 2019, Indonesia baru memiliki MLA dengan Swiss, ASEAN, Australia, Hong Kong, Cina, Korea Selatan, India, Vietnam, Uni Emirat Arab, dan Iran. Tanpa ada kesepakatan bersama antarnegara, bukan tidak mungkin proses pengembalian aset di luar negeri akan terhambat dan Indonesia sama sekali tak dapat memaksakannya.

Kedua, profesionalitas dan integritas pemangku kepentingan perampasan aset, terutama di Kejaksaan Agung, harus benar-benar terjaga. Dari semua lembaga, Korps Adhyaksa memegang peranan yang sangat penting pada setiap tahapan, dari penyidikan, pemohon perampasan aset melalui jaksa pengacara negara, eksekusi putusan, hingga sentra pengelolaan aset kejahatan. Tanpa profesionalitas dan integritas mereka, bukan hal mustahil pada masa mendatang justru terjadi penyimpangan besar-besaran dalam perampasan aset yang makin menjauhkan harapan pemulihan kerugian atas praktik kejahatan.

Ketiga, kapasitas aparat penegak hukum penting ditingkatkan agar mempunyai pemahaman yang sama dalam proses hukum perampasan aset. Satu di antara hal yang cukup krusial adalah kualitas hakim. Bisa dibayangkan, nantinya jalur hukum perampasan aset akan bermuara pada seluruh pengadilan negeri di Indonesia. Hal ini berbeda dengan rezim tindak pidana korupsi yang hanya memiliki satu pengadilan pada setiap provinsi. Karena itu, Mahkamah Agung harus memastikan bahwa ratusan atau bahkan ribuan hakim memahami cara pandang perampasan aset yang terbilang menggunakan pendekatan hukum progresif dengan gencar melakukan sosialisasi di seluruh pengadilan negeri.

Undang-Undang Perampasan Aset ini akan semakin progresif jika turut mengakomodasi konsep retroaktif atau dapat berlaku surut. Jadi, perampasan bukan justru dilakukan setelah undang-undang berlaku, melainkan bisa diterapkan pada aset hasil kejahatan di masa lalu. Jika hal itu terjadi, dampaknya terbilang dahsyat karena perkara besar yang aset pelakunya sudah diketahui tapi sulit diusut melalui jalur pidana tetap bisa dikejar. Contohnya adalah permainan culas para obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang telah menelan kerugian negara ratusan triliun rupiah pada puluhan tahun lalu.

Selama proses pembahasan rancangan ini di DPR, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, naskah resmi RUU Perampasan Aset harus dibuka ke masyarakat melalui kanal-kanal media pemerintah. Ini terbilang jarang dilakukan. Masyarakat sering kali hanya mendapat naskah suatu rancangan undang-undang dari sumber-sumber sekunder yang terkadang tak menjamin kebenaran isinya.

Kedua, rapat pemerintah dengan DPR mesti terbuka dan disiarkan secara luas. Hal ini untuk memitigasi adanya pembicaraan yang mengarah pada lobi partai politik tertentu mengenai substansi rancangan.

Ketiga, pembentuk undang-undang harus benar-benar mengimplementasikan konsep partisipasi bermakna atau meaningful participation. Artinya, masukan masyarakat diakomodasi atau tidak hanya didengar, tapi juga dipertimbangkan secara baik dalam pembahasan rancangan tersebut.

Undang-Undang Perampasan Aset tidak hanya disuarakan masyarakat, tapi juga dibutuhkan aparat penegak hukum. Jadi, kepada anggota DPR, tolong lupakan sejenak regulasi yang semata berpihak pada investor dan kepentingan ekonomi ketimbang pemberantasan korupsi. Jika rancangan tersebut tidak diundangkan, republik ini akan selalu kalah dan mengalah pada komplotan perompak uang negara yang kian canggih menyembunyikan aset hasil kejahatan mereka.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. telah bertemu dengan Komisi Hukum DPR serta meminta Dewan segera membahas rancangan tersebut. Namun Ketua Komisi Hukum Bambang Wuryanto menyatakan dengan terang bahwa penentuan nasib rancangan itu tidak berada di tangan anggota Komisi, melainkan para ketua umum partai politik. Dengan kata lain, bila pemerintah menganggap rancangan ini perlu segera disahkan, Presiden mungkin perlu turun untuk mendorong para pemimpin partai politik segera meloloskan rancangan ini.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Kurnia Ramadhana

Kurnia Ramadhana

Peneliti Indonesia Corruption Watch

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus