Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERITA lolosnya Umar al-Faruq dari penjara Bagram, Afganistan, bagaimanapun, menimbulkan sejumlah pertanyaan besar. Al-Faruq sendiri bukan tokoh sembarangan. Amerika Serikat menuduh pria 34 tahun ini sebagai tangan kanan Usamah bin Ladin, seteru nomor wahid negeri yang gemar berperang ke mana-mana itu. Di Indonesia, Al-Faruq disebut-sebut bertanggung jawab atas bom Natal 2000 dan terlibat upaya pembunuhan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Bagram juga bukan rumah tahanan main-main. Penjara dengan status maximum security itu berada di bawah pengawasan Amerika. Karena itu, harus ada penjelasan yang terperinci dan dapat dipercaya akal sehat tentang kisah sukses pelarian ini. Apalagi Al-Faruq tidak minggat sendirian. Bersama dia ikut hengkang tiga tahanan lain, yakni Abdullah Hasimi (warga Suriah), Mahmud al-Kahtai (warga Arab Saudi), dan Muhammad Hassan (warga Libya).
Pertanyaan pertama adalah, mengapa pelarian yang terjadi pada 10 Juli itu baru terungkap setelah hampir empat bulan, yaitu pada 1 November lalu? Ketika itu, mahkamah militer di Fort Bliss, Texas, Amerika Serikat, sedang mengadili Sersan Allan Driver atas tuduhan menganiaya para tahanan, termasuk Al-Faruq, di Kamp Bagram.
Ketika pengacara Driver meminta mahkamah menghadirkan Al-Faruq sebagai saksi, terbukalah cerita konyol itu. Jaksa penuntut umum memberitahukan, Al-Faruq, bersama tiga rekannya setahanan telah kabur entah ke mana. Tak dijelaskan bagaimana reaksi pengadilan atas ”pengumuman” ini. Yang jelas, untuk Indonesia, ini sebetulnya pukulan berat.
Para petugas intelijen Indonesia menangkap Al-Faruq di Bogor, Jawa Barat, pada 5 Juni 2002. Pria kelahiran Kuwait ini—menurut Mira Agustina, istrinya, Al-Faruq lahir di Ambon, Indonesia, pada tanggal dan tahun yang sama—diperkirakan masuk Indonesia lewat Makassar pada 1990-an. Pada 1999, ia menikahi Mira di Cisalak, Bogor, Jawa Barat. Dinas rahasia Amerika Serikat, CIA, yakin Mira putri Almarhum Abu Darda, bekas Panglima Darul Islam Jawa Barat. Namun, sumber lain menyatakan, ayah Mira tewas dalam konflik di Ambon.
Jika majalah Time bisa dipercaya, Al-Faruq merupakan tokoh penting dalam jaringan teroris di Indonesia. Pada edisi September 2002, majalah itu mengungkapkan, Al-Faruq banyak ”bernyanyi” dan membuka data penting jaringan teroris di negeri ini. Al-Faruq juga menyatakan Abubakar Ba’asyir sebagai pemimpin Jemaah Islamiyah di Indonesia. Al-Faruq sendiri disebut-sebut memiliki hubungan dengan aktivis Front Pembebasan Islam Moro dan pernah digembleng di kamp latihan Al-Qaidah di Khaldan, Afganistan. Ia aktif dalam konflik berdarah di Maluku dan Poso.
Misteri Al-Faruq sudah terasa sejak penangkapannya. Dalam penjelasan resmi pemerintah, Al-Faruq ditangkap karena memalsukan dokumen imigrasi. Bersama dia juga ditangkap Abdul Harris, yang membantu Al-Faruq membuat paspor. Belakangan diketahui, Haris adalah intel BIN yang ”ditanam” di Majelis Mujahidin Indonesia, organisasi yang dipimpin Abubakar Ba’asyir. Al-Faruq kemudian diserahkan kepada Amerika, sedangkan Harris raib entah ke mana.
Tak pernah jelas mengapa pihak intelijen Indonesia ”mempersembahkan” Al-Faruq kepada Amerika. Tak pula jelas ”imbalan” apa yang diterima Indonesia atas ”persembahan” itu. Jika benar tuduhan bahwa dia otak bom Natal 2000 dan merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Megawati Soekarnoputri, mengapa urusan itu tak dibikin jelas lebih dulu? Siapa tahu, pemeriksaan yang tuntas terhadap Al-Faruq ketika itu, di Indonesia, bisa mencegah upaya pengeboman selanjutnya dan membongkar jaringan teroris di dalam negeri.
Kegusaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas lolosnya Al-Faruq sepenuhnya bisa dipahami. Apalagi, seperti dijelaskan Presiden, pertanyaan yang diajukannya kepada pihak Amerika belum mendapat jawaban. Ada kesan meremehkan di sini. Departemen Luar Negeri Indonesia bahkan mengaku mengetahui pelarian itu dari media massa, bukan dari saluran diplomatik resmi.
Pemerintah Amerika Serikat tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya untuk menjelaskan secara terbuka pelarian Al-Faruq dan kawan-kawannya. Jika ini tidak dilakukan, bukan mustahil muncul dugaan bahwa sebetulnya, seperti yang lazim terjadi dalam permainan intelijen tingkat tinggi, yang bermain di belakang layar adalah dinas rahasia Amerika juga. Sulit sekali diterima akal, empat tahanan ”berbahaya” bisa lolos dari penjara ekstraketat dan, seperti ditayangkan stasiun televisi Dubai, Al-Arabiya, ”bersembunyi empat hari di pangkalan udara Amerika dekat penjara”.
Dinas intelijen Indonesia sendiri tampaknya juga harus memutar ulang rekaman penangkapan Al-Faruq pada 5 Juni 2002. Siapa yang melakukan penangkapan ketika BIN dipimpin oleh A.M. Hendropriyono itu? Kalau benar tuduhannya cuma soal keimigrasian, mengapa ia tidak dipulangkan ke Kuwait, atau ke Irak atau Pakistan—ia dikabarkan juga warga kedua negeri itu—tapi justru ke Amerika? Perlu pula penjelasan terbuka, bagaimana sebetulnya status Al-Faruq? Tahanan Indonesia yang ”dipinjam” Amerika, atau bagaimana?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo