Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurnia Ramadhana
Peneliti Indonesia Corruption Watch
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Organisasi ini terbukti independen dan sukses mengkampanyekan gerakan antikorupsi di Indonesia dengan mengkombinasikan upaya penegakan hukum terhadap pejabat yang berbuat salah serta didukung oleh cita-cita reformasi sistem tata kelola dan kampanye edukasi terhadap seluruh warga Indonesia agar waspada, jujur, dan aktif.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kutipan di atas ditujukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi saat mendapat penghargaan bergengsi Ramon Magsaysay lebih dari satu dekade lalu di Filipina. Kala itu KPK dianggap dan diakui oleh dunia internasional sebagai lembaga pemerintah yang sukses menyebarluaskan nilai integritas kepada masyarakat. Sorak-sorai, apresiasi, dan dukungan pun silih berganti membersamai setiap tindakan yang dilakukan oleh komisi antirasuah. Namun kenangan manis itu sekarang harus dikubur dalam-dalam, di tengah kian maraknya pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai internalnya sendiri.
Rasanya tak salah jika dikatakan periode kepemimpinan KPK saat ini merupakan yang terburuk sepanjang sejarah lembaga tersebut. Bayangkan, belum selesai dengan permasalahan keterlibatan bekas Ketua KPK Firli Bahuri dalam perkara korupsi pemerasan terhadap eks-Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, baru-baru ini Dewan Pengawas KPK memutuskan bersalah 78 pegawai karena terbukti melakukan pungutan liar (pungli) di rumah tahanan mereka. Melihat jumlahnya, tentu sulit untuk mengatakan bahwa permasalahan ini sekadar ulah oknum, melainkan terjadi karena adanya gerombolan penjahat yang terorganisasi.
Fenomena gerombolan penjahat di KPK ini menarik diulas, khususnya mencari apa sebenarnya yang menjadi akar persoalan. Ibarat pepatah buah tak jatuh jauh dari pohonnya, besar kemungkinan minimnya keteladanan menjadi faktor pertama. Bagaimana tidak, atasan tertinggi penjahat-penjahat itu saja mencontohkan pelanggaran yang hampir serupa. Misalnya, Firli dengan koleksi tiga pelanggaran etiknya: bertemu dengan pihak beperkara, menggunakan helikopter mewah, dan tidak jujur melaporkan harta kekayaan. Ada juga bekas pemimpin KPK, Lili Pintauli Siregar, yang juga terbukti menjalin komunikasi dengan pihak beperkara dan sempat menyalahgunakan kewenangannya. Intinya, bagaimana para pegawai bersikap jujur jika pimpinannya berperilaku tak pantas semacam itu?
Adapun faktor selanjutnya disinyalir mengarah pada minimnya pemberian efek jera bagi para pelanggar. Bisa dibayangkan, dalam kasus pungli massal yang melibatkan puluhan pegawai, Dewas hanya menjatuhkan sanksi berupa permintaan maaf secara terbuka. Namun, jangan salah tafsir, jenis sanksi yang layak jadi bahan tertawaan masyarakat tersebut sebetulnya bersumber dari perubahan Undang-Undang KPK. Akibat berlakunya aturan baru itu, seluruh aspek mengenai kepegawaian, termasuk penjatuhan sanksi, harus taat dan tunduk pada aturan pegawai negeri. Dengan begitu, pemberhentian pegawai hanya dapat dilakukan oleh Sekretariat Jenderal KPK selaku pejabat pembina kepegawaian, bukan oleh Dewas. Mekanisme yang terlalu birokratis ini tentu berdampak pada pemberian efek jera. Dari sini, bukankah semakin kelihatan dampak buruk dari revisi UU KPK?
Sebagai upaya menindaklanjuti temuan Dewas, langkah penindakan hukum yang dilakukan oleh KPK juga terbilang sangat lambat. Kesimpulan ini bukan tanpa dasar. Dewas diketahui sudah membeberkan temuan adanya dugaan pungli besar-besaran bernilai miliaran rupiah di rutan KPK sejak pertengahan 2023. Namun, bukannya segera diusut, KPK malah baru membuka lembar penyidikan beberapa waktu lalu. Padahal baik pelaku, saksi, maupun lokasi kejahatan berada di lingkup internalnya sendiri. Ini menandakan bahwa penindakan KPK bukan hanya tumpul ke luar, tapi juga melempem terhadap pegawai di lingkungannya.
Kegagalan memetakan potensi risiko terjadinya praktik korupsi menjadi faktor lanjutan munculnya gerombolan penjahat di KPK. Semestinya lembaga selevel KPK sudah paripurna dalam memitigasi terjadinya praktik korupsi dengan membangun sistem pengawasan yang ketat. Apalagi tempat yang dijadikan lahan meraup keuntungan oleh pelaku adalah rutan. Sebagai aparat penegak hukum, seharusnya mereka punya insting untuk memahami bahwa rutan merupakan lokasi rawan terjadinya transaksi haram karena secara langsung mempertemukan para tahanan dengan pegawai. Namun, sekali lagi, kegagalan pengawasan ini bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, ada kasus Robin Pattuju, penyidik KPK yang menerima suap dari pihak beperkara dan pegawai pencuri barang sitaan emas dengan berat 1,9 kilogram.
Pengikisan nilai integritas yang menjurus pada mosi tidak percaya dari masyarakat terhadap KPK semestinya menggerakkan Presiden Joko Widodo untuk ikut bertanggung jawab. Sebab, rentetan peristiwa yang terjadi di KPK selama empat tahun terakhir juga akibat ulah Presiden dan DPR karena mengubah UU KPK serta memilih pimpinan yang bermasalah. Peran Presiden selaku atasan administratif kelembagaan KPK, berdasarkan Pasal 3 UU KPK, juga diharapkan mampu mengurai benang kusut permasalahan ini. Presiden sepantasnya berfokus memperbaiki penegakan hukum ketimbang terus-menerus mengurusi politik praktis seperti tampak dalam beberapa waktu terakhir.
Titik nadir KPK kian nyata. Tiang integritas yang selama ini dikenal tak tergoyahkan semakin rapuh, bahkan menjurus pada kehancuran. Operasi penyelamatan KPK harus segera dilakukan. Jika tidak, fenomena fatamorgana integritas akan menimpa lembaga itu: dari kejauhan terlihat berintegritas, tapi di dalamnya ternyata menjadi sarang permasalahan.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.