Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Intrik Politik Calon Kepala Polri

12 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang tak beres dalam mekanisme suksesi Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Kasakkusuk, intrik, dan aksi saling jegal yang gaduh menjelang pergantian pemimpin Kepolisian ini menunjukkan ketidaknormalan itu. Setiap kandidat seakanakan meyakini: menggalang lobi lebih penting ketimbang kinerja, mencari beking dianggap mujarab untuk menghapus cacat pada rekam jejak masa lalu.

Ketidakberesan ini menghalangi peluang terpilihnya pemimpin paling berkualitas di Markas Besar Kepolisian. Berbeda dengan menteri, Kepala Polri—seperti Panglima Tentara Nasional Indonesia—bukanlah pejabat yang ditunjuk secara politik (political appointee) sehingga bisa dipungut dari sembarang tempat. UndangUndang Kepolisian menyebutkan calon Kapolri adalah perwira tinggi aktif yang diangkat dengan mempertimbangkan faktor jenjang kepangkatan dan karier.

Jenderal Sutarman, Kapolri saat ini, akan pensiun sembilan bulan lagi. Maka sebenarnya Komisi Kepolisian Nasional, yang diketuai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, tak perlu pagipagi mencari pengganti. Presiden memang punya hak mengganti Kapolri, atas pertimbangan Komisi Kepolisian. Calon yang ditetapkan presiden perlu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Seandainya DPR menolak, presiden bisa mengajukan nama baru. Jumat pekan lalu, Presiden Joko Widodo telah mengusulkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kapolri.

Sebelumnya, selain Budi, ada delapan kandidat yang bersaing. Mereka adalah Badrodin Haiti (kini Wakil Kepala Polri), Dwi Priyatno (Inspektur Pengawasan Umum), Suhardi Alius (Kepala Badan Reserse Kriminal), Putut Eko Bayuseno (Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan), Djoko Mukti Haryono (Kepala Badan Intelijen Keamanan), Anang Iskandar (Kepala Badan Narkotika Nasional), Saud Usman Nasution (Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), dan Boy Salamuddin (Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional).

Tak mengherankan jika Presiden memilih Budi Gunawan. Ia memang sejak awal disebutsebut punya kans paling besar. Budi berpeluang lantaran kedekatannya dengan Megawati Soekarnoputri. Ia menjadi ajudan Mega ketika Ketua Umum PDI Perjuangan itu menjabat wakil presiden (19992001) dan presiden (20012004). Budi diketahui rajin menggalang dukungan DPR, politikus partai, juga pejabat di sekeliling Presiden. Dalam pemilihan umum presiden Juli tahun lalu, PDI Perjuangan merupakan penyokong utama pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dukungan Mega kepada Budi inilah yang diduga mempengaruhi keputusan Presiden Jokowi.

Kepolisian, salah satu pilar penegakan hukum, semestinya dipimpin perwira yang bebas masalah hukum. Budi Gunawan—bersama Badrodin Haiti—ramai diberitakan terlibat kasus rekening gendut. Syahdan, pada 2010, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengeluarkan laporan yang menyebutkan Budi dan anaknya memiliki rekening Rp 54 miliar—jumlah yang di luar batas kewajaran seorang perwira polisi. Investigasi majalah ini menemukan kaitan dana itu dengan pebisnis yang tengah membangun proyek properti di Jakarta. Adapun Badrodin diketahui membeli polis asuransi senilai Rp 1,1 miliar—tindakan yang ditengarai dekat dengan praktek pencucian uang.

Ketika kasus itu diungkap, Tama Satrya Langkun, aktivis Indonesia Corruption Watch yang menelusuri rekening gendut, diserang dengan senjata tajam oleh orang tak dikenal. Kantor majalah Tempo di Jakarta Pusat mendapat "kado" bom molotov tak lama setelah terbit laporan sampul tentang polisi pemilik rekening tak wajar. Sampai sekarang, kedua kasus itu belum diungkap polisi.

Rekam jejak kandidat inilah yang sayangnya diabaikan Jokowi. Presiden tampaknya tak mempedulikan fakta bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi hingga saat ini belum menutup kasus rekening gendut. Sungguh memalukan jika kelak kasus itu menyeret orang nomor satu Kepolisian.

Presiden juga tak melibatkan KPK dan PPATK. Padahal verifikasi kedua lembaga itulah yang dulu menjadi "bumper" Presiden untuk menolak calon menteri bermasalah titipan partai. Pemilihan Jaksa Agung tanpa verifikasi kedua lembaga kini terulang kembali. Presiden juga mengabaikan Komisi Kepolisian Nasional. Sebelumnya, Komisi berniat melibatkan KPK dan PPATK dalam seleksi Kepala Polri.

Presiden gagal membuktikan bahwa dia tak bisa didikte kepentingan jangka pendek pihak tertentu. Ia tersandera politik balas budi. Ia tak berani menyingkirkan "saran" sponsor penyokong kandidat dengan rekam jejak buruk.

Presiden lupa: mengabaikan "kandidat bersponsor", apalagi tak kapabel, tidak otomatis mengurangi sokongan politik kepadanya. Dukungan luas justru akan datang bila Presiden menolak calon Kapolri yang mengandung cacat di mata publik.

Pemilu 2014 baru setengah tahun berlalu, tapi memori itu tampaknya tak bertahan lama: Jokowi dipilih mayoritas pengguna hak suara—rakyat kebanyakan yang ingin jabatan publik dipegang mereka yang sadik dan tak menyimpan masalah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus