Saya bagaikan disambar petir melihat dunia peradilan di negara kita ini, dengan terbongkarnya kasus pemalsuan vonis Mahkamah Agung (MA). Bahkan, menurut Prof. J.E. Sahetapy, "Di negara-negara lain, yang paling brengsek sekalipun, tak pernah terjadi kasus memalukan begitu" (TEMPO, 25 Mei 1991, Laporan Khusus). Kalau hal yang demikian bobrok dibiarkan, akan menjadi penyakit kanker dan melumpuhkan citra negara hukum, Pancasila. Dalam penjelasan UUD 1945, dikatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Konsekuensinya, tidak dibenarkan "di mata hukum" tindakan penyelewengan hukum, penyalahgunaan kekuasaan, dan tindakan sewenang-wenang berdasarkan kecongkakan. Untuk menghormati dan menjunjung wibawa pengadilan dan hukum, siapa pun yang memperkosa "hukum dan keadilan" harus ditindak tegas tanpa pandang bulu, kalau ingin dikatakan sebagai negara hukum. Lebih jauh, sudah menjadi pekerjaan rumah bagi kita untuk menghapus repressive laws (hukum yang menindas) yang menjauhi "keadilan" melalui tindakan-tindakan hukum. Dan sebaliknya, kita harus lebih banyak melakukan facilitative laws (hukum yang mengadakan perubahan sosial). Berkaitan dengan hal di atas, pada "Vonis Palsu: Tongkat yang Membawa Rebah" (TEMPO, 25 Mei 1991, Laporan Khusus) disebutkan, "... yang isinya memerintahkan bawahannya, Kejaksaan Negeri Surabaya, menarik permohonan kasasi si jaksa ...." Di sini, bila jaksa menarik permohonan kasasi dalam suatu perkara pidana, karena dijatuhkannya putusan "bebas" dan "lepas dari segala tuntutan hukum", maka pihak ketiga yang dirugikan seharusnya dapat mengajukan permohonan kasasi "demi hukum dan keadilan" (vide: pasal 49 ayat (2) UU No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung). Namun, sayangnya KUHAP tidak mengaturnya, sedangkan UU tersebut sekarang dinyatakan tidak berlaku berdasarkan pasal 70, UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Untuk mengisi kekosongan hukum, "pihak ketiga yang dirugikan" demi hukum dan keadilan dapat mengajukan permohonan kasasi. Itu dapat dituangkan dalan surat edaran Mahkamah Agung yang mengatur ketentuan tersebut. HADI DARMONO, S.H. Jalan Sudirman 899 Purwokerto 53147 Jawa Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini