Bung Sobary, tulisan-tulisan Anda mendapat tempat di hati pembaca. Penuturannya menarik, segar, dan dibumbui satire halus namun mengenai dinding-dinding nurani. Dengan sedikit dibalut filsafat, tulisan Anda menjadi "enak dibaca dan perlu". Akan halnya "Kurungan" Bung Sobary (TEMPO, 20 April 1991, Kolom) mampu menggelitik keberanian saya untuk urun pendapat. Dalam tulisan itu, saya menangkap dua point yang hendak dilontarkan Mohamad Sobary kepada pembaca. Pertama, tentang perburuan status sosial (baca: kurungan) yang akhir-akhir ini menggejala. Kedua, manusia sekarang cenderung berinteraksi berdasarkan hanya pada vested interest (baca: kurungan) tertentu. Atau sekadar mengikuti arus trend yang sedang berkembang. Apa yang Anda paparkan tak bisa dimungkiri, tetapi personifikasi kurungan Anda membaurkan sesuatu yang kasual dan general. Kita harus lebih cermat agar tak terjebak dalam kurungan yang kita ciptakan sendiri. KNPI, LSM, Hipmi, NU, Muhammadiyah, PII, IDI, ICMI, universitas, hanyalah sebuah organisasi. Sedangkan menurut James L. Gibson, profesor administrasi niaga dari Universitas Kentucky, organisasi merupakan kesatuan yang memungkinkan masyarakat mencapai suatu sasaran, tujuan, dan misi yang tak dapat dicapai individu secara perorangan. Ambil contoh sebuah universitas yang terdiri atas departemen-departemen, termasuk di dalamnya dosen, mahasiswa, karyawan, dan rektor sebagai direkturnya. Di situ hubungan antara individu dan kelompok dalam organisasi menciptakan harapanharapan bagi perilaku individu. Harapan ini menghasilkan peran tertentu yang harus dimainkan. Sebuah "nama" lebih tepat disebut identitas daripada kurungan. Hakikat nama adalah benda pengenal untuk mempermudah komunikasi. Sebuah contoh kecil, jika pasien yang datang ke puskesmas tidak memakai nama, sudah pasti dokter akan dibuat repot dan justru menimbulkan masalah baru. Katakanlah dokter tersebut punya ide untuk menandai pasiennya dengan A, B, C, dan seterusnya. Bukankah A, B, C, dan sebagainya itu pada hakikatnya juga sebuah nama? Demikian pula agama, ia bukan kurungan buat umatnya. Dalam Islam misalnya, diberikan kebebasan menentukan nasibnya sendiri. Juga ia dianjurkan menggunakan otaknya untuk memikirkan fenomena-fenomena alam sekitarnya. Adapun kurungan mengandung konotasi ketidakbebasan atau segala sesuatu yang membelenggu gerak pikir dan laku. Juga, di situ unsur statis dan kebekuan sangat dominan. Tak berlebihan kiranya jika saya melihat hal-hal di atas lebih cenderung sebagai "jalan" yang punya aspek dinamis daripada kurungan. Sebuah jalan memiliki beberapa jalur, dan mereka bebas memilih jalur mana yang sesuai dengan titik tertentu, tujuan mereka. Mereka punya kebebasan, bukan tanpa batas. Dan itu sah adanya. Sebab, tidak ada kebebasan yang benar-benar bebas, sekalipun itu di negara liberal seperti Amerika. Bila ternyata kemudian terbentuk "lapis elite baru" dalam tatanan masyarakat kita dan kian melebarkan kesenjangan dengan rakyat jelata, itu penyebabnya adalah mental individu masing-masing, bukan organisasi, nama, agama, dan lain-lain. NUKE H. SETIA Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 55281
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini