Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Setelah Jokowi Masuk Daftar Tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi

Jokowi masuk nominasi tokoh kejahatan terorganisasi dan korupsi 2024. Melemahkan KPK dan menggerogoti demokrasi.

6 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
ILustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jokowi berada di urutan ketiga dalam daftar tokoh kejahatan terorganisasi dan korupsi 2024.

  • Pendukung Jokowi gencar menyebarkan hoaks menyatakan OCCRP telah mencabut nama Jokowi.

  • Demokrasi rontok gara-gara Jokowi.

JOKO Widodo dan pendukungnya keliru dalam menyikapi rilis Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang menempatkan Presiden Indonesia ketujuh itu sebagai finalis tokoh kejahatan terorganisasi dan korupsi 2024. Bukannya malu atas catatan kelam yang pernah ditorehkan selama memerintah, Jokowi malah menunjukkan bahwa ia masih punya pengaruh di depan barisan relawan yang loyal kepada dirinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tepat sebelum pergantian tahun, OCCRP mengumumkan sejumlah pemimpin dunia sebagai finalis tokoh kejahatan terorganisasi dan korupsi 2024. Jokowi berada di urutan ketiga setelah Presiden Suriah Bashar al-Assad yang menjadi tokoh terkorup 2024 dan Presiden Kenya William Ruto. Tiga tokoh lain yang masuk daftar pemimpin terkorup 2024 adalah Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu; mantan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina; dan pengusaha asal India, Gautam Adani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berselang dua hari setelah organisasi jurnalis investigasi dunia mengumumkan nama-nama yang masuk daftar itu, para pendukung Jokowi ramai-ramai berkunjung ke kediamannya di Solo, Jawa Tengah. Belakangan salah satu kelompok relawan berencana melaporkan OCCRP ke ranah hukum. Tuduhannya adalah penyebaran hoaks dan pencemaran nama. Langkah hukum ini, kalau benar jadi dilakukan, sungguh tidak masuk akal.

Seperti memutar lagu lama, para pendukung Jokowi justru gencar menyebarkan hoaks dengan menyatakan OCCRP telah mencabut nama Jokowi dari deretan tokoh terkorup di dunia itu. Faktanya, organisasi wartawan investigasi dunia tersebut tidak pernah mencoret nama Jokowi dari daftar itu, apalagi menghapus tautan artikel mengenai berita tersebut.

Mereka sibuk mempertanyakan bukti-bukti yang diperoleh OCCRP untuk menempatkan Jokowi dalam deretan tokoh terkorup itu. Padahal para pemimpin korup itu masuk nominasi berdasarkan survei kualitatif secara global. Sungguh keliru bila keputusan OCCRP hanya dinilai semata-mata secara kuantitatif, apalagi menanyakan bukti material sebagaimana kebiasaan para loyalis Jokowi selama ini.

Sebaliknya, keputusan OCCRP menetapkan lima nama sebagai finalis ini justru makin mengukuhkan penilaian etis yang melampaui argumen kuantitatif. Kita tahu bahwa data kuantitatif mudah direkayasa. Sedangkan penilaian etis lahir dari kedalaman dan refleksi pengalaman. Sebab, jabatan presiden adalah jabatan publik yang tunduk pada prinsip etik negara demokrasi.

Jokowi punya segudang masalah dengan nilai-nilai antikorupsi—sebagaimana pertimbangan juri saat memasukkan namanya ke daftar nominasi. Ia membiarkan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi direvisi sedemikian rupa hingga lembaga antirasuah itu "mandul". Jokowi sebenarnya punya kesempatan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Di depan sejumlah tokoh, ia pernah mengaku tengah menimbang penerbitan perpu untuk membatalkan revisi UU KPK. Kita tahu bahwa itu semua hanya omong kosong dan perpu tersebut tak pernah terwujud.

Sebelumnya, dia juga membuka pintu untuk pencalonan polisi bermasalah sebagai pucuk pimpinan KPK. Belakangan terkuak bahwa terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK pada 2019 merupakan bagian dari skenario pelemahan KPK. Tak mengherankan bila Jokowi diam saja saat 75 pegawai KPK diberhentikan hanya karena tak lolos tes wawasan kebangsaan. Di era Jokowi, pemberantasan korupsi mati suri.

Wajar bila Indeks Persepsi Korupsi Indonesia melorot kembali ke titik ketika Jokowi baru berkuasa pada 2014. Dengan kata lain, dua periode pemerintahan Jokowi tak berkontribusi apa pun untuk pemberantasan korupsi di negeri ini. Sedangkan doxing dan peretasan kerap menimpa para aktivis yang menolak pelemahan KPK dan kritis terhadap rezim Jokowi.

Lebih dari itu, Jokowi dan para pendukungnya gagal memahami makna korupsi. Mereka tak mengerti bahwa perbuatan korupsi bukan semata-mata menggondol duit negara. Nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan, hingga praktik-praktik yang menggerus demokrasi merupakan bagian dari korupsi. Dalam konteks Indonesia, hal itu terjadi lewat dugaan kecurangan pemilu.

Di mata juri OCCRP, Jokowi merusak lembaga penyelenggara pemilu demi menguntungkan putranya, Gibran Rakabuming Raka. Di Mahkamah Konstitusi, seperti temuan Tempo, Jokowi diduga cawe-cawe sehingga lembaga itu meloloskan anaknya. Gibran, yang belum cukup umur menjadi kandidat wakil presiden menurut Undang-Undang Pemilu, bisa melaju setelah Mahkamah Konstitusi mengubah Pasal 169 huruf q.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ditengarai melakukan segala cara agar keponakannya itu bisa menjadi calon wakil presiden untuk mendampingi Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2024. Pembajakan terhadap pengadilan konstitusi melanggengkan dinasti politik dan menggerogoti demokrasi. Ketimbang sibuk mencari tahu siapa di balik OCCRP, sudah saatnya kita memulihkan demokrasi yang rontok gara-gara Jokowi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus