SEORANG anggota DPRD yang baru terpilih mencetakkan selembar surat yang disebutnya Tahadduts bin-Ni'mah: surat untuk menuturkan atau merayakan nikmat Allah. Istilah tentunya diambil dari ayat wa amma bini'mati rabbika fahaddits -- "dan akan hal nikmat dari Tuhanmu, tutur-tuturkanlah". Surat rasa syukur itu ia kirimkan kepada rekan-rekannya, kenalan-kenalannya, serta kepada sejumlah tokoh yang ia pandang perlu untuk mengetahui -- entah dalam tendensi apa -- bahwa ia sedang mensyukuri status barunya sebagai wakil rakyat resmi. Orang bersyukur bukan hanya wajar, tapi juga baik dan terpuji. Bersyukur termasuk anjuran utama Allah kepada hamba-hamba-Nya. Yang mungkin agak mengherankan adalah pada situasi dan posisi mana seseorang mengucapkan alhamdulillah dan kapan ia mengucapkan astaghfirulah atau mungkin la haula wala quwwata illa billah. Kalau saya berjualan bakpia dan lumayan laris, saya ucapkan alhamdulillah. Tapi kalau saya memperoleh beban dan amanat untuk memperjuangkan aspirasi banyak orang dalam suatu tata manajemen kekuasaan negara, saya akan cenderung mengucapkan astaghfirullah. Karena yang paling teringat oleh saya adalah kelemahan dan keterbatasan, bahkan mungkin dosa dan ketidakpantasan saya untuk sanggup memanggul amanat itu, sehingga saya merasa sangat perlu memulai tugas itu dengan memohon ampun kepada Allah. Atau saya ucapkan la haula wala quwwata ... karena betapa kuat tidaknya saya menanggung amanat penderitaan rakyat ini sangat bergantung pada kuasa Allah. Adapun kalau saya akan justru mengucapkan alhamdulillah, orang bisa akan melihat bahwa persepsi saya terhadap tugas ke-DPRD-an saya agak kurang tepat. Barangkali saya menganggap bahwa menjadi wakil rakyat adalah salah satu terminal karier pribadi saya: ujung dari suatu tahap perjuangan, dan bukan awal perjuangan. Bahwa menjadi anggota DPRD adalah semacam prestasi dagang sejarah pribadi saya, atau bahkan merupakan mata pencaharian saya, merupakan tempat bergantungnya nafkah saya sekeluarga. Ketika beberapa tahun yang lalu seorang anggota MPR/DPR dilantik, ia menyatakan, "Legalah hati saya sekarang ...." Logika saya yang mungkin naif dan lurus-lurus saja sungguh tidak bisa paham bagaimana mungkin seseorang yang pundaknya digantungi tanggung jawab sedemikian beratnya -- apalagi untuk sebuah Indonesia yang muallaf demokrasi -- justru merasa lega. Saya kagum bahwa ia tidak merasa ketakutan. Mungkin karena kita adalah bangsa yang kaya raya, namun juga sangat miskin. Kekayaan materi yang tak terbatas pun tidak menjamin bahwa kita juga kaya secara mental. Sekaya-kaya kita, keberanian kita terbatas hanya pada meminta dan mencuri, namun untuk memberi atau kehilangan, kita sangat ketakutan. Dan untuk tidak kehilangan, atau untuk mendapatkan "dunia" yang kelak kita tidak mau kehilangan, kita bersedia memperjualbelikan apa saja: kejujuran manajemen, ketertiban birokrasi, rasionalitas kekuasaan negara dan kedaulatan rakyat, kebenaran ilmiah, firman Tuhan, atau amanat orang banyak. Terkadang kita adalah perampok yang memaksakan jual beli kemungkaran itu, di saat lain kita adalah pengemis-pengemis yang menadahkan tangan untuk memperoleh arisan peluang royokan nafkah. Tetapi karena kita adalah bangsa yang religius, semua itu akhirnya kita percayai sebagai salah satu jenis kebenaran yang juga kita bungkus dengan hiasan kata alhamdulillah dan kalimat-kalimat syukur. Mungkin, karena demikian itu situasi mental manusia dewasa ini, maka pada lapis sosial tertentu tasauf dilirik orang. Memang salah satu etos tasauf adalah kesanggupan mental untuk gagah berani terhadap materi: uang, harta benda, pangkat, juga status sosial -- pada frame budaya keduniaan. Gagah berani itu maksudnya menguasai, mengatasi, berani membuang, berani kehilangan, tidak tergantung. Kemenangan manusia terhadap materi atau segala konteks ansich keduniaan disebut pekerjaan zuhud, dan pelakunya adalah seorang zahid. Banyak orang salah paham dengan menyangka bahwa menjadi zahid itu sama dengan anti-materi. Padahal sama sekali tidak. Gagah berani terhadap materi terkadang justru harus ditempuh dengan mencari uang dan benda sebanyak-banyaknya, agar kemudian seseorang bisa membuktikan bahwa ia tidak bisa dikalahkan mental dan sikap jiwanya oleh kekayaan seberapa pun. Bahwa ia tidak tergantung. Bahwa karena ia manusia maka ia menguasai, ia lebih tinggi, lebih kuat, lebih bermutu dan lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kekayaan yang diperolehnya. Hadits yang berbunyi kadal faqru an-yakuna kufron -- kefakiran itu nyaris membawa orang ke kekufuran -- berlaku tidak hanya pada kemiskinan materi. Namun terlebih-lebih pada kemiskinan mental dan lemahnya sikap jiwa terhadap materi, yang berlaku pada orang-orang yang justru bergelimang kekayaan materi, pangkat, serta segala macam hedonisme keduniaan. Orang-orang miskin semacam ini kalau "belum punya" akan mencuri atau mengemis, kalau "sudah punya" akan mendekap kekayaannya, jabatannya, kursinya, tanpa pernah mau dan mampu meninggalkannya, karena telah menyerabut jadi satu dengan darah dagingnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini