Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN janggal majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk terdakwa Susi Tur Andayani, Senin dua pekan lalu, seharusnya tak perlu terjadi. Hakim menyatakan advokat itu terbukti bersalah dan dihukum lima tahun penjara, lebih ringan dua tahun daripada tuntutan jaksa. Yang jadi masalah, hakim menggunakan pasal baru, bukan pasal yang didakwakan jaksa untuk menjerat Susi.
Dalam dakwaannya, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi menggunakan Pasal 12-c dan e Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dengan pasal itu, jaksa hendak membangun konstruksi kasus yang menempatkan Susi dan Akil Mochtar dalam satu posisi, yakni penerima suap. Alasannya bisa ditebak: vonis bersalah untuk Susi bisa jadi amunisi tambahan untuk memberatkan vonis Akil.
Rupanya, hakim punya pandangan berbeda. Konstruksi kasus yang dibangun jaksa dinilai tidak terbukti di persidangan. Karena itulah majelis hakim yang diketuai Gosyen Butar Butar menghukum Susi sebagai pemberi suap, bukan penerima. Para hakim lalu mengoreksi dakwaan jaksa dan mengenakan pasal baru, yakni Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dari sinilah polemik berawal.
Keterangan sejumlah saksi menunjukkan Susi memang memberikan uang sebesar Rp 1,5 miliar kepada Akil, untuk memuluskan peluang klien Susi memenangi sengketa pemilihan kepala daerah di Kabupaten Lebak dan Lampung Selatan. Jaksa berkukuh menuding Susi berperan aktif meminta suap, mewakili Akil. Sebaliknya, hakim menilai Susilah yang getol menyogok Akil atas nama kliennya. Putusan ultra petita majelis hakim dalam perkara ini bisa dihindari jika saja jaksa lebih teliti merumuskan alur pembuktian dan inti dakwaannya.
Pasal 12 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jelas berkaitan dengan tindakan suap kepada hakim, pegawai negeri, atau penyelenggara negara lainnya. Susi tidak masuk kriteria itu. Kalaupun jaksa yakin Susi bertindak atas nama Akil, relasi spesial kedua terdakwa harus terbukti dengan amat meyakinkan. Di sisi lain, keberanian majelis hakim untuk tetap menjatuhkan vonis bersalah pada Susi patut dipuji. Seperti yang dinyatakan dua anggota majelis hakim yang mengajukan dissenting opinion, hakim bisa saja menjatuhkan vonis bebas mengingat jaksa keliru merumuskan dakwaan. Meski kontroversial, mereka memilih mempertimbangkan rasa keadilan publik dan tetap menyatakan Susi bersalah.
Agar kisruh ini tidak menjadi yurisprudensi dalam sistem hukum kita, jaksa seharusnya segera mengajukan permohonan banding. Pemeriksaan ulang atas perkara ini di tingkat yang lebih tinggi akan memberi peluang bagi hakim untuk mempertimbangkan bukti tambahan dan memperbaiki putusan. Dalam jangka panjang, perlu pula dipikirkan upaya lebih mensinergikan kewenangan perumusan dakwaan yang ada di tangan jaksa dengan kekuasaan menjatuhkan vonis yang ada di tangan majelis hakim.
Ada baiknya berkas dakwaan jaksa diperiksa majelis hakim sebelum diajukan ke persidangan. Dengan begitu, perbedaan persepsi dalam memandang konstruksi kasus dan pasal-pasal yang dikenakan tak perlu terjadi. Prosedur konsultasi semacam itu juga penting untuk menutup kemungkinan jaksa bermain mata dengan para terdakwa.
Kerap terdengar jaksa sengaja membuat dakwaan kabur dan lemah agar majelis hakim tak punya pilihan selain membebaskan terdakwa. Kongkalikong semacam ini tak boleh dibiarkan. Jaksa dan hakim punya batasan tugas masing-masing, dan seharusnya tak bertukar peran semacam yang terjadi dalam kasus Susi Tur Andayani.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo